LIMA - Anam Khoirul Anam Official -->

LIMA


SUDAH sepekan Rusli berada di pondok Kiai Mahfud. Selama sepekan ia pergunakan untuk berinteraksi dengan sesama santri dan juga mengaji. Mungkin orang akan mengira jika ia adalah tipikal orang angkuh, arogan, tidak memiliki kepedulian terhadap sesama, atau bersikap individualis. Tapi anggapan itu pasti terbantah sekaligus tertepis jika sudah benar-benar mengenal siapa, bagaimana sifat atau karakter sebenarnya. Jika sudah mengenal, ia sangat familier. Ia cukup lembut dan santun. Sekilas ia memang tidak mudah bergaul lebih-lebih di dukung sikap atau sifat pendiamnya. Jika belum kenal lebih mendalam, ia memang tampak cuek, kalaupun ingin bertegur sapa, ia lakukan seperlunya. Itu semua terjadi bukan karena ketidaksukaan, tapi lebih pada proses adaptasi maupun interaksi sekaligus membaca situasi dan kondisi yang ada di tempat itu, apalagi ia masih baru di situ. Jadi wajar jika ia bersikap acuh tak acuh, cuek, seperti itu. Berkumpul dengan beragam etnis tentu membutuhkan proses penyesuaian yang tak biasa, harus benar-benar matang, tahu diri, dan benar-benar bisa jaga diri antara ucapan maupun perbuatan. Keberagaman etnis yang ada semakin memperkaya wawasan dalam banyak hal, misalnya; dari sifat, perilaku, dan juga keragaman dialek yang digunakan. Ia pun mulai memerhatikan bagaimana santri yang berasal dari etnis Jawa (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat—di mana secara kultur dan dialek memiliki perbedaan), Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Maluku, Papua, dan beberapa etnis lainnya. Dari sekian banyak etnik pasti memiliki ragam budaya, sumber daya alam maupun sumber daya manusia juga sangat kaya untuk dipelajari dan sangat patut untuk diketahui. Hal mendasar yang ingin ia pelajari dan pahami sekaligus perhatikan adalah dalam hal bahasa, bahasa ibu, atau bahasa pengantar antaretnik tersebut. Memahami bahasa antaretnis sangat diperlukan, sebab dari pemahaman itulah akan terjadi komunikasi yang baik. Terkadang bermula dari salah tafsir dan salah memahami dialek akan memicu permusuhan.

Masalah komunikasi, suatu hari Rusli dibuat bingung oleh ajakan atau pertanyaan dari Sobrun santri asal Ciamis.


“Rus, geus dahar teu?”

Baca Juga

Karena merasa belum tahu artinya dan bingung mau menjawab apa, ia hanya mengangguk. Ketika pertanyaan itu diulang dan disertai dengan penjelasan, barulah Rusli memahami dan mengerti maksudnya. Kesimpulannya, ternyata tidak mudah memahami dialek orang lain, di mana orang tersebut beda etnis yang nyata-nyata bahasa dialognya beragam dan berbeda-beda. Tentunya bahasa pituturan mereka perlu dipelajari dan membiasakan diri untuk terus berlatih menirukan jika menginginkan lebih komunikatif. Menurut hematnya, seseorang yang ingin fasih menggunakan bahasa tertentu, selain belajar dan melatih diri secara terus menerus juga perlu melafalkannya. Atau jika perlu singgah cukup lama di daerah tersebut bila ingin cepat mahir.

Lambat laun Rusli pun mulai bisa beradaptasi dengan para santri maupun dengan lingkungan sekitar. Keakraban antara dirinya dengan para santri mulai ia rasakan. Setelah bisa membaur dengan sesama santri dan juga lingkungan, ia pun mendengar atau bahkan mendapat banyak cerita di dalamnya. Dari cerita keseharian, cerita masa lalu, cerita lucu, sampai dengan kisah cinta romantis. Selain itu, berangsur ia bisa beradaptasi dengan berbagai macam karakter para santri. Seyogianya ia bisa menyesuaikan diri serta menempatkan diri ketika saling berhadapan. Bersikap lunak mungkin langkah bijak yang ia pilih untuk menghadapi itu semua. Terlebih didukung dengan tabiat yang kalem, tidak suka kegaduhan, tidak suka gontok-gontokan, brutal, dan sikap-sikap kasar atau perilaku menyimpang lainnya.

Bagaimanapun setelah ia berada di pondok ada hal-hal baru yang didapatkan, termasuk kebiasaan apa saja yang dilakukan para santri. Salah satu kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama, yakni kebiasaan menggojlok. Gojlokan bagi dunia pesantren bukan menjadi sesuatu yang aneh atau asing, pasalnya bisa dipastikan saban hari ada saja yang mendapatkan hal itu. Tak pelak Rusli pun merasakannya. Menginggat bahwa hal itu adalah sesuatu yang wajar, maka ia menyikapi dengan tenang, arif bijaksana. Ia mencoba bertahan dan tidak tersulut amarah sekalipun sebenarnya menahan rasa sakit dan perih dalam diri sendiri. Ia mencoba untuk terus menetralisir sekaligus mengontrol emosi. Ia redam dengan terus merasa bahwa sampai saat itu masih sebagai santri baru, junior, sehingga segala gerundelan yang ia rasakan terbenam di dasar batin. Di sela-sela semua itu, sebenarnya ia masih mencoba mencari-cari siapakah gerangan santri yang bisa ia ajak berbagi, bertukar pikiran, pengalaman, atau saling berkisah tentang kehidupan. Sampai sejauh itu ia masih merasa sendiri, terasing, di tengah-tengah keramaian.

“Di tempat ini tidak ada yang namanya Senior atau Junior. Semua sama,” kata Hamdi ketika Rusli berbagi cerita dengannya. Kebetulan Hamdi teman satu kamar dengannya, jadi memungkinkan jika keduanya bisa saling berkomunikasi. Hanya saja sejauh ini Rusli belum benar-benar memiliki kecocokan dalam banyak hal dengan rekan sekamarnya itu.

“Jadi kamu tak perlu merasa rendah diri ketika mendapat gojlokan dari para santri. Semua itu hanya guyonan semata, selain itu tak ada maksud lain dan berlebihan. Jangan terlalu diambil hati,” terang Hamdi ketika Rusli mengutarakan ketidaksetujuannya mengenai gojlok-menggojlok antarsantri. Ia berpendapat bahwa hal itu tak ada bedanya dengan saling memperolok. Lebih-lebih dampak psikis bagi korban gojlokan, bisa jadi ia akan mengalami tekanan batin maupun trauma berkepanjangan. Bagi yang tak kuat mental pasti minder. Bukankah memperolok itu dilarang? Bukankah mereka sudah mengerti masalah itu, bahkan mungkin sudah hafal tentang ayatnya.

Tapi biarlah! Mereka yang tahu. Begitu pula sebaliknya.


Ia mendesah begitu dalam, sekelam malam yang kian larut di kedalaman suasana te ....




NB: Cerita selengkapnya bisa dibaca dalam versi buku atau cetak.


Berlangganan update artikel terbaru via email:




Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel