SEPULUH
PIKIRAN perempuan itu makin gelisah. Entah ada firasat apa hingga ia sedemikian waswas. Ia merasa ada hal buruk sedang terjadi. Semakin kuat menepis rasa itu justru makin bertubi-tubi kehadirannya.
“Ada apa gerangan hari ini? Mengapa aku berdebar-debar terus?” batinnya.
Beragam cara ia lakukan untuk mengalihkan perhatian, tapi tetap gagal. Ia benar-benar tak nyaman hari itu. Ia beranjak dari dipan lalu berjalan menuju ke ruang tamu. Usia merenggut separuh kekuatan tubuhnya hingga langkah kaki pun jadi tertatih-tatih.
Di ruang tamu, ia melihat suaminya tengah asyik menikmati tembakau lewat cangklong. Di atas kursi goyang suaminya menatap dunia luar lewat kolong jendela. Beberapa kali tampak asap mengepul ke udara, tersaput ke luar, lalu lenyap terbawa angin.
“Pak, perasaanku enggak enak hari ini.”
“Memang ada apa toh, Bu?”
“Aku kok tiba-tiba merasa waswas. Ono opo, yo, Pak?”
“Ah, ibu iki ono-ono ae. Ngopo waswas? Wong koyone dino iki, yo, ora ono opo-opo?”
“Tapi aku nderedeg (berdebar-debar) terus awit isuk. Ojo-ojo ono opo-opo karo anake dewe? Aku kepikiran terus karo Tabah.”
“Ah, ibu ini. Kok mikire adoh tenan. Tapi yen diamat-amati, kok, Tabah pirang-pirang dino ora endang omah kene. Ojo-ojo wonge loro?”
“Emboh, Pak. Iso ugo pancen loro. Tapi nek loro kok ora kabar-kabar. Biasane ono opo ae wonge mesti ngabari.” Ia menjeda ucapan sejenak untuk menghela napas. “Cobo saiki ayo rono ae. Aku yo wes suwe ora ketemu karo putuku.”
Mereka pun berkemas dan segera berangkat.
***
BUTUH waktu satu setengah jam untuk sampai di rumah Pak Tabah, putra pertama mereka, dengan berjalan kaki. Setiba di pekarangan, tak tampak ada aktivitas di dalam rumah tersebut. Lengang. Hanya terdengar tetes air dari talang ke dalam ember yang mulai penuh.
Biasanya, jika mereka berkunjung akan tampak aktivitas di dalam maupun di luar rumah. Setidaknya mereka akan melihat putra atau menantunya menimang bayi di emper. Namun tidak kali ini. Suasana lengang, bahkan pintu dan jendela ditutup. Ke mana mereka? Itu yang tebersit di dalam benak.
Belum lama berdiri di emper rumah, mereka mendengar langkah kaki menuju daun pintu. Pintu terbuka dari dalam. Tampak menantunya menyambut dari dalam ruang. “Si Mbak kalih Bapak. Monggo pinarak mlebet.” Rukmilah mempersilakan mertuanya masuk ke rumah.
“Sehat kabeh toh, Nduk?” tanya Bu Miatun.
“Alhamdulillah sehat, Bu.”
“Bojomu nang endi, Mi?” tanya Pak Bari.
“Ngapunten, Pak. Sampun tigang dinten niki deren wasul.”
“Lah, menyang ngendi?”
“Kirangan. Kulo enggih mboten sumerep.”
“Opo ora kondo karo awakmu yen arep lungo menyang ngendi?”
Saling diam.
Rasa waswas makin mengguncang jiwa Bu Miatun dan Pak Bari. Kekhawatiran itu makin menjadi-jadi setelah mendengar bahwa Rukmilah juga tidak mendapat kabar selama tiga hari ini. Walau tetap cemas, hal itu sedikit terlipur ketika mereka menimang cucu pertamanya.
“Yo wes, Nduk. Bapak lan Ibu pamit disik. Engko nek bojomu wes mulih ndang kabari, yo!”
“Keseso mawon, Pak ... Bu?”
“Iyo, Nduk. Saiki arep kondangan.”
“Oh, inggih, Pak. Sumonggo nderekaken.”
Sepanjang perjalanan pulang, hati Bu Miatun tetam tak tenteram. Semakin jauh meninggalkan rumah anaknya, apa yang ia rasa makin tak keruan.
“Duh, Gusti. Mugo-mugo ora ono opo-opo karo anakku.”
***
HARI itu, desa Sangkalpati geger oleh karena telah ditemukan mayat menggantung di sebuah pohon beringin. Meski diketahui jenis kelaminnya, namun tidak ada yang tahu identitas mayat tersebut. Barangkali sudah terlalu lama, kulit mayat tersebut ada yang sudah mengelupas. Bau busuk menyebar ke mana-mana. Selain itu lalat-lalat berhamburan setelah mengerubungi jasad tersebut. Bahkan ada organ yang hampir copot. Hal ini tentu sedikit menyulitkan proses identifikasi. Terlebih para warga sama sekali tak mengenal dan merasa bahwa mayat itu bukan penduduk setempat.
“Mayat ini bukan warga kami, Pak.” kata Pak RT saat memberi keterangan pada polisi.
Di antara kerumunan warga ada yang berbisik-bisik. Mereka baru saja pulang dari kerja. Merasa penasaran, mereka berhenti sejenak untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
“Apa kamu yakin?” ujarnya.
“Ya, aku yakin. Aku sangat kenal dengan baju itu.”
“Eh, di mana-mana yang namanya baju atau kain banyak kesamaan. Belum tentu orang ini yang kamu maksud.”
“Memang. Sekilas aku juga kenal ciri-ciri fisiknya. Coba ingat baik-baik! Kalau tidak salah dia adalah guru ngaji di desa kita, kan?”
Kedua orang itu terus berbisik-bisik tanpa peduli kerumunan orang yang sedang menyaksikan proses identifikasi yang dilakukan tim polisi.
“Sebentar ... sepertinya benar apa katamu, Man. Tapi apa mungkin? Bukankah di desa kita, ia dikenal sangat baik, ramah, dan suka menolong? Bahkan menurut saya, dia cukup alim.” ia mencoba meyakinkan diri.
“Orang baik itu dilihat dari mana dulu? Belum tentu apa yang kita lihat baik di luar, sama baiknya dengan apa yang ada di dalam. Bisa jadi di luar tampak alim, tapi di dalam justru sebaliknya—hancur-hancuran.”
“He, kok malah berkata yang tidak-tidak. Bukan mendoakan ... malah mencibir.”
“Maaf ...”
Laun, tempat kejadian perkara tersebut makin ramai. Tim kepolisian sudah memasukkan jasad itu ke dalam tas mayat dan mengangkutnya dengan mobil jenazah.
“Apa perlu kita lapor ke polisi?”
“Sepertinya kita jangan langsung lapor. Jika kita sudah yakin bahwa mayat itu adalah guru ngaji di desa kita, sebaiknya kita cari alamat dan memberi tahu pihak keluarganya.”
“Ya. Lebih baik begitu. Ayo kita cari alamat rumahnya.”
Kedua orang itu segera pulang.
Setiba di rumah masing-masing, keduanya segera mencari informasi terkait alamat rumah guru ngaji yang sudah meninggal ter ....
NB: Cerita selengkapnya bisa dibaca dalam versi buku atau cetak.