TIGA BELAS
AKHIR-AKHIR ini dunia politik makin memanas. Kurang dari dua bulan lagi pemilihan kepala daerah akan segera dilaksanakan. Pamflet, spanduk, iklan media massa, sosial media atau sarana lain begitu gencar disebar dan ditayangkan. Partai pengusung calon pun tak kalah sibuk mencari simpatisan sekaligus menggalang suara ke seluruh pelosok desa. Masing-masing calon membentuk tim sukses. Tiap tim sukses inilah yang menjadi ujung tombak untuk membidik sekaligus menjaring simpatisan sebanyak-banyaknya. Selain menumbuhkan fanatisme pada para simpatisan, tim inilah yang juga turut menggerakkan sekaligus menyebarkan informasi kepada publik terkait calon pejabat. Semua berlomba dan menawarkan janji surga. Semua cara dilakukan untuk meraih kemenangan, tak peduli benar atau salah, asal bisa duduk di atas kursi kekuasaan. Dari cara sembunyi-sembunyi, terstruktur dan masif sampai dengan cara vulgar, semua dilakukan begitu gencar sedemikian rupa. Dosa urusan belakang, berkuasa jauh lebih utama. Persetan dengan kebersamaan dan keragaman.
“Pak Kiai, kedatangan saya kemari selain untuk silaturahmi, saya juga mohon doa restu agar dalam pemilihan nanti bisa berhasil dan meraih suara terbanyak.”
“Insya Allah. Semoga dikabulkan.”
“Amin ...”
Tiap kali pemilihan umum diselenggarakan—entah karena betul-betul ingin mendapat restu atau karena muatan politis lain. Atau mungkin karena ingin pencitraan supaya dianggap sebagai politikus yang dekat ulama, politikus religius, jujur dan bersih serta senantiasa dekat dengan orang-orang saleh—para calon pejabat maupun politikus satu per satu berkunjung ke pondok. Agar upaya itu tersebar luas dan mengesankan, tidak lupa mereka mengundang wartawan atau reporter agar diliput serta ditayangkan di media cetak maupun televisi. Praktik ini secara terang benderang terbukti ampuh untuk mendongkrak suara sekaligus mencuri perhatian, bahkan mampu menaikkan popularitas. Diakui ataupun tidak, berkunjung ke pondok dan para ulama sangat mujarab menepis stigma masyarakat atas masa lalu seseorang. Semakin sering calon atau politisi dekat dengan ulama malah menjadikan ia disanjung, dielu-elukan, dan digadang-gadang sebagai calon pemimpin idaman.
Setelah menjabat akhirnya lupa daratan. Kacang lupa pada kulitnya. Semua hanya tinggal omong kosong belaka. Aneh, bukan? Entahlah! Ah, benar-benar konyol dan sangat jenaka.
Ada juga para calon yang mendatangi para kiai dengan niat tak kalah hebat. Bukan hanya bersilaturahmi tapi juga memberi sumbangan dana fantastis. Seperti yang sudah diketahui di kalangan masyarakat, keberadaan kiai sangatlah disegani serta karismatik. Secara tak langsung dan sangat rasional kalau para politisi ingin berlomba-lomba meraih suara atau simpatisan dari pesantren. Memang sangat logis cara ini diambil, ketika seorang kiai sudah bisa dikendalikan maka para santri pun pasti ikut serta. Apalagi kebanyakan santri masih percaya bahwa menentang perintah kiai atau ulama sama artinya menentang perintah nabi—bukankah para ulama atau kiai merupakan pewaris para nabi? Pemali. Setuju atau tidak, faktanya kebanyakan santri tidak ada yang membangkang. Para santri selalu berupaya tunduk pada perintah meskipun bertentangan dengan hati nurani.
Entah daya magis apa sehingga tiap kali ada pemilihan pejabat negara, rumah Pak Kiai selalu didatangi para calon-calon pejabat tersebut. Sehari ini saja sudah ada enam calon pejabat yang bertamu. Walau beda daerah namun tujuan mereka tetap sama yakni minta doa agar dalam pemilihan nanti mendapat suara terbanyak dan menjadi pejabat.
Meski di luar musim pemilihan umum ada banyak orang yang datang membawa bingkisan, tapi menjadi sangat berbeda ketika pemilihan umum tiba. Tanpa diminta, para calon yang datang tersebut membawa bingkisan sekaligus amplop berisi uang. Sudah pasti beda antara orang biasa dengan calon pejabat ataupun para pejabat, amplop yang diberikan calon pejabat atau pejabat tersebut jauh lebih tebal dan lebih banyak. Bagi kiai yang tamak, kesempatan semacam ini tentu tidak disia-siakan. Bagi otak yang keblinger pastilah mengartikan hal itu sebagai rezeki yang tak terduga. Padahal bisa jadi cara ini masuk dalam kategori suap serta tak tulus adanya.
Dulu Pak Kiai pernah ditawari oleh suatu partai untuk ikut mencalonkan diri sebagai pejabat daerah, namun beliau menolak mentah-mentah. Selain fasilitas, partai tersebut juga menawarkan kenikmatan-kenimatan lain jika Pak Kiai mau dicalonkan. “Mengapa tidak mau, Pak Kiai? Ini kesempatan, apalagi Pak Kiai memiliki reputasi dan peluang besar untuk menang,” bujuk pengurus partai tersebut. Meski tak disampaikan langsung, namun bahasa tubuh Pak Kiai sudah cukup mewakili kata tidak atau menolak. Kelihatannya Pak Kiai tak ingin melumuri tubuh, jiwa dan pikiannya dengan noda politik. Baginya, politik adalah kepalsuan.
Suatu hari Pak Kiai memberi wejangan pada santri-santrinya, “Jika ingin bahagia banyak jalannya, namun bukan dengan cara menipu. Segala yang ada di dunia ini hanyalah sementara. Teramat sia-sia jika hidup diperbudak dunia. Apa yang sudah Allah Swt., berikan adalah amanah dan kelak pasti dimintai pertanggungjawaban.”
Selain merasa tak memiliki cukup kemampuan sekaligus kualitas yang baik dalam kancah politik, Pak Kiai juga merasa bahwa amanah terhadap para santrinya jauh lebih utama. Ia lebih memilih mengurus pondok daripada ikut campur dalam dunia politik. Ia pernah dengar bahwa politik itu kotor. Kebenaran yang tampak bukanlah kebenaran sesungguhnya. Faktanya memang demikian. Banyak calon atau bahkan partai tertentu melakukan manuver-manuver yang sangat licik, keji, bahkan teramat jahat. Beragam isu dilancarkan agar menarik massa sebanyak-banyaknya. Lebih mengerikan lagi adalah, ada oknum yang melancarkan isu seputar ras, suku, bahkan agama. Bagi oknum tersebut, isu semacam ini masih ampuh untuk memikat hati banyak orang. Mengangkat isu-isu sensitif, apalagi disangkutkan dengan isu agama, ternyata cukup manjur menggiring opini publik. Apalagi jika ada doktrin sebagai pelengkap di dalamnya, secara tak langsung pasti berpengaruh pada keyakinan seseorang. Metode ini cukup mudah merasuk sekaligus merusak hati dan pikiran, sebab seseorang akan mudah terpancing jika hal itu diusik. Jika pengaburan cara berpikir berhasil, maka kebenaran dalam hati nurani lambat laun tertutup. Puncak dari semua itu adalah perang opini antarsesama. Satu sama lain berusaha menunjukkan kekuatan masing-masing. Berdebat dan saling melontarkan ujaran secara berlebihan. Lebih menyedihkan lagi, ketika semua sudah saling beradu dan unjuk kekuatan masing-masing, kebencian demi kebencian disuarakan begitu lantang bahkan dilakukan secara terbuka. Ketika kebencian menguasai hati, kebenaran dari orang lain pun tak ada arti. Meski mata terbuka, namun buta adanya. Meski telinga masih mendengar, namun tuli adanya. semua tertutup rapat. Apa yang ada hanyalah kebenaran diri sendiri, sedangkan orang lain selalu salah. Ironis.
Pak Kiai tak ingin mengalami apa yang sudah terjadi pada pondok-pondok lain. Nyatanya, ketika seorang kiai terjun ke dunia politik—entah mengapa—lambat laun mengalami penurunan animo maupun kualitas. Hidup segan, mati tak mau. Satu per satu para santri pindah ke pesantren lain. Tak terurus, terpuruk, dan lebih fatal lagi adalah kehancuran pondok itu sendiri. Semua tak lepas dari sikap maupun perilaku kiainya yang justru sibuk mengurus politik dan kedinasan ketimbang memerhatikan pondok.
Selain itu, alasan utama mengapa Pak Kiai tak ingin terjun ke dunia politik adalah keinginan kuat mengemban amanah dari orang tuanya. Amat sayang jika pesantren yang sudah dibangun bertahun-tahun bahkan lintas generasi lantas musnah hanya karena keputusan tak tepat. Pak Kiai ingin istikamah di jalan yang sudah digariskan oleh Allah Swt.
Sebagai warga negara yang baik, Pak Kiai juga tidak mau hanya berpangku tangan. Tak juga ingin menjadi orang yang disebut sebagai golongan putih. Pak Kiai tak ingin menentang aturan negara. Apa pun itu, ia akan berusaha menaati aturan yang berlaku. Sebagai tokoh, seyogianya dapat memberikan teladan pada para santri dan juga masyarakat di sekitarnya.
Dulu, pesantren ini didirikan sewaktu Indonesia masih dijajah Belanda. Bahkan secara tak langsung pondok pesantren ini telah melahirkan pejuang-pejuang militan. Dari sini pula harakah Islam dimulai. Berawal dari pesantren ini pula nilai-nilai luhur ditanamkan. Bahkan dari pesantren ini pula lahir tokoh-tokoh tersohor di negeri ini. Maka dari itulah mengapa Pak Kiai menolak jika ditawari menjadi pejabat.
“Kenapa Pak Kiai tidak mau dicalonkan?”
“Buat apa?”
“Siapa tahu nanti kalau Pak Kiai berhasil menjadi seorang pejabat negara, kan, bisa lebih mengembangkan pesantren. Membangun pondok lebih bagus dan lebih megah lagi.”
Mendengar kata itu, Pak Kiai sontak tertawa. “Sampean tidak lihat? Tanpa mencalonkan diri menjadi pejabat, orang-orang sudah berdatangan. Malah yang datang kebanyakan pejabat—termasuk Sampean ini,” kelakar Pak Kiai.
“Tapi ...”
“Barangkali perlu saya sampaikan juga bahwa tiap hari ada saja orang datang ingin memberi bantuan untuk pengembangan pondok ini. Banyak donatur maupun investor yang silih berganti datang menawarkan kerja sama. Kalau saya mau, soal dana pengembangan pondok, insya Allah, bukan hal sulit. Jadi ... untuk apa saya mencalonkan diri?” imbuhnya sembari tersenyum manis.
“Wah, kalau saya jadi Pak Kiai, pantang menolak. Jangankan ditawari, tidak ditawari saja nekat mencalonkan diri.”
“Ya, itu kalau Sampean.”
NB: Cerita selengkapnya bisa dibaca dalam versi buku atau cetak.