HIKAYAT SUATU MUSIM | BILA ESOK AKAN KEMBALI
HIKAYAT SUATU MUSIM
TENTANG gurungurun yang sering kau kisahkan,
tentang badai atau tentang pohonpohon kering
ludes dilahap musim kemarau
yang sedemikian bengis mengikis dedaunan
atau tentang musafir yang tersesat
di belantara tandus, atau bahkan tentang jejak-jejak pasir
yang tersaput semilir angin di kala kita terdampar di bawah semesta
Barangkali tentang gemintang di antariksa
yang berpijar di antara temaram rembulan
lalu kabut berjalan lamban mengitari
kelepar sayap punguk pada dahan kering
sedangkan kesunyian merayap
seolah berdansa dalam diam
walau lengking suara alam bersenandung
menguntai bait syair dari kesendirian jiwa
tetap saja suara itu membisu dalam sembilu
Adakah perhelatan cinta berbalut rindu itu
senantiasa ringkas misteri tak terjangkau
menjadi perihal sederhana bagi nalar
menguak apa yang diselimuti tabir
hingga segala nyata bagi nalar
Tentunya, membutuhkan jiwamu
dan juga jiwaku dalam satu kesepakatan
memahami segala dalam satu ungkapan
membahasakan dalam penafsiran rinci
berdialog dalam monolog keheningan
BILA ESOK AKAN KEMBALI
SESEKALI waktu aku bersemayam di kesunyianmu yang tak berujung
Sesekali pula kusaksikan ulas senyum di raut wajahmu bercadar kabut
namun dalam sekejap runtuh bersama deras derai air matamu
Bahkan kini hangat dekap itu tawar rasanya dalam selimut akut
kau menyusut dalam kemuraman memoar sedangkan aku terus bangkit di sisimu
meski kutahu rapuhku kian tak terperi dan ringkih segalaku dalam rasamu
Kini segalanya lindap dalam kebisuan kau jadi kilas bayang di langit benakku
sedangkan aku semakin terkibas jauh dari hadapmu, bahkan dari segalamu
laun kau dan aku hilang dari pelupuk embus napas dan juga getar jantungmu
tak lagi syahdu terdengung di telingaku
Wahai kau yang kini menghilang bila esok kita kan jumpa kembali
usap linang air matamu jangan lagi ada dusta menganiaya
dan rengkuh aku hingga tak lagi ada detak itu berdenyut di jantungku.
TENTANG gurungurun yang sering kau kisahkan,
tentang badai atau tentang pohonpohon kering
Baca Juga
atau tentang musafir yang tersesat
di belantara tandus, atau bahkan tentang jejak-jejak pasir
yang tersaput semilir angin di kala kita terdampar di bawah semesta
Barangkali tentang gemintang di antariksa
lalu kabut berjalan lamban mengitari
kelepar sayap punguk pada dahan kering
sedangkan kesunyian merayap
seolah berdansa dalam diam
walau lengking suara alam bersenandung
menguntai bait syair dari kesendirian jiwa
tetap saja suara itu membisu dalam sembilu
Adakah perhelatan cinta berbalut rindu itu
senantiasa ringkas misteri tak terjangkau
menjadi perihal sederhana bagi nalar
menguak apa yang diselimuti tabir
hingga segala nyata bagi nalar
Tentunya, membutuhkan jiwamu
dan juga jiwaku dalam satu kesepakatan
memahami segala dalam satu ungkapan
membahasakan dalam penafsiran rinci
berdialog dalam monolog keheningan
Yogyakarta, 28 April 2011
SESEKALI waktu aku bersemayam di kesunyianmu yang tak berujung
Sesekali pula kusaksikan ulas senyum di raut wajahmu bercadar kabut
namun dalam sekejap runtuh bersama deras derai air matamu
Bahkan kini hangat dekap itu tawar rasanya dalam selimut akut
kau menyusut dalam kemuraman memoar sedangkan aku terus bangkit di sisimu
meski kutahu rapuhku kian tak terperi dan ringkih segalaku dalam rasamu
Kini segalanya lindap dalam kebisuan kau jadi kilas bayang di langit benakku
sedangkan aku semakin terkibas jauh dari hadapmu, bahkan dari segalamu
laun kau dan aku hilang dari pelupuk embus napas dan juga getar jantungmu
tak lagi syahdu terdengung di telingaku
Wahai kau yang kini menghilang bila esok kita kan jumpa kembali
usap linang air matamu jangan lagi ada dusta menganiaya
dan rengkuh aku hingga tak lagi ada detak itu berdenyut di jantungku.
Puisi ini telah dipublikasikan di JAWA POS (15/04/2012)