KEBANGKITAN
SAMPAI detik ini, belum ada seorang pun yang tahu kapan kematian datang. Tak seorang pun tahu kapan roh terpisah dari jasad. Banyak orang masih meyakini bahwa kematian adalah misteri. Mereka yang percaya pada Tuhan atau bahkan pengingkar sekalipun tak ada yang tahu dan tak ada yang mampu menghindari kematian. Semua orang masih sepakat bahwa kematian adalah mutlak kehendak Tuhan. Kematian merupakan urusan Tuhan. Semua yang hidup pasti akan mati. Tak ada yang kekal di dunia ini.
Ada beragam cerita tentang kematian di desaku. Salah satu cerita yang cukup membekas di ingatakanku adalah kematian mbah Surip. Aku masih ingat betul bagaimana ia meninggal waktu itu. Usiaku kala itu masih 15 tahun. Waktu itu, aku akan berangkat ke sekolah. Seperti biasa aku lewat jalan persawahan. Jalan itu merupakan jalur tempuh paling dekat antara rumahku dan sekolahan. Di jalan itu pula aku sering berpapasan dengan orang-orang yang ingin berangkat atau pulang dari sawah, termasuk berpapasan dengan mbah Surip. Jalan itu kadang licin jika diguyur hujan deras, lantas menjadi sangat keras jika diterpa kemarau panjang di musim panas.
Hari itu, tepatnya hari Jumat, aku sengaja berangkat lebih cepat. Bukan karena piket, ujian, atau sedang ada janji. Entah, tiba-tiba aku ingin segera ke sekolah hari itu.
“Lo, tumben budal esuk. Ora koyo biasane toh, Le?” Ibu bertanya dengan mimik heran.
“Injih, Bu. Wonten piket,” aku beralasan.
Wajar kalau ibu merasa heran padaku, sebab selama ini aku berangkat sekolah kalau waktu masuk kelas kurang dari sembilan belas menit, atau kurang setengah jam. Ibu sudah hafal betul kebiasaanku, jadi jika ada yang janggal, ia pasti langsung menanyakan hal itu. Di tengah perjalanan, aku kaget mendapati mbah Surip duduk di bawah pohon. Kulihat kepalanya tertunduk, lebih tepat ditekuk. Kupikir mungkin ia sedang beristirahat dan kelelahan karena semalam mendapat jatah irigasi. Bagi warga desa kami, sudah biasa tidur di sawah jika sedang antre irigasi, apalagi ayahku. Seminggu sekali ayah akan tidur di gubuk jika sedang menunggu giliran irigasi.
Kurasa ada yang janggal dengan mbah Surip. Ketika kusapa, ia hanya diam. Bahkan hingga tiga kali kusapa tak ada sahutan. Aku mendekat secara perlahan-lahan, takut jika gerak langkahku mengusik istirahatnya. Sampai jarak sehasta, aku tak sedikit pun mendengar ada embus napas dari dalam tubuhnya. Dengan perasaan was-was kucoba menyentuh bahunya, namun ia tetap diam. Sedikit kugoyang-goyangkan tubuhnya namun tetap tak menunjukkan tanda-tanda ia bangun tidur. Kudekatkan wajah serta menajamkan pendengaranku sekadar untuk mengetahui apakah ia masih bernapas atau tidak. Tetap tak terdengar dengkur atau embus napasnya. Sungguh betapa sangat tertkejut diriku ketika tubuh itu tiba-tiba luruh ke tanah. Sontak aku menjerit bercampur takbir, “Allahu Akbar!” Aku melonjak dan nyaris lari sedemikian kencang. Kuurangkan niat setelah sampai di pertigaan jalan. Aku kembali ke tempat di mana mbah Surip berada. Kupikir tak bijak jika meninggalkan mbah Surip dalam kondisi semacam itu. Kuyakinkan kembali diriku. Hal sama kudapatkan. Kudekati tubuh mbah Surip yang masih tergolek di tanah. Tubuh mbah Surip tetap tak bergerak, tetap dingin. Dingin yang kurasa bukan karena hawa pagi, tapi sebenar-benar tubuh yang dingin. Aku berteriak meminta tolong sekaligus meminta bantuan kepada siapa saja yang melintas saat itu. Tak lama, banyak orang datang dan segera membawa tubuh mbah Surip ke rumahnya. Hari itu, aku batal berangkat ke sekolah.
***
“MATUR NUWUN , Nak! Jika dulu kamu tidak segera menolongku, mungkin saat ini aku tidak lagi di dunia ini,” kata mbah Surip padaku.
“Sama-sama, Mbah.” jawabku.
Kejadian beberapa tahun silam memang masih terus terngiang dalam ingatanku. Walau kini aku sudah berkeluarga, tapi peristiwa itu masih cukup kuat membekas di ingatanku. Mungkin karena aku sering berkunjung ke rumah mbah Surip atau karena sering menceritakan hal itu kepada anak-anakku sehingga kenangan itu tak mudah hilang.
Kala itu, Mbah Surip dinyatakan telah meninggal. Seluruh warga pedukuhan Sumbergesang berkabung. Bukan hanya dari warga sekitar yang melayat, tapi warga kampung lain juga turut takziah. Aku tetap berada di rumah duka hingga prosesi pemakaman usai.
Sesuai adat yang sudah berlangsung di desa kami, upacara selamatan pun diselenggarakan pihak keluarga mbah Surip sebagai bentuk penghormatan kepada almarhum.
Tepat di hari ke tujuh, keluargaku mendapat undangan selamatan dari keluarga almarhum. Berhubung ayah sedang kurang sehat, mau tak mau aku berangkat sendiri. Entah sudah terlambat atau justru berangkat lebih awal, kurasa suasana desa begitu sepi. Tak tampak warga berduyun-duyun berangkat selamatan. Mendung dan lampu jalan yang kurang terang membuat suasana temaram. Suasana desa memang terasa sunyi jika selepas isya. Sebagian besar penduduk desa sudah mengunci pintu ketika magrib menjelang, beristirahat hingga subuh.
Aku merasa ada seseorang berjalan di belakang. Aku menoleh dan mendapati lelaki paruh baya membuntutiku. “Badhe selamatan, Mbah?” tanyaku. “Iyo, Le.” jawabnya singkat.
Kami berjalan tanpa banyak bercakap-cakap, bahkan sekadar saling menoleh. Setiba di rumah pemilik hajat, keanehan terjadi. Salah seorang tamu undangan menjerit histeris. Ia memekik, “Masya Allah. Allahu Akbar.” Sontak hal itu memicu kegaduhan antar sesama tamu undangan. Selain melihat ke sumber suara, semua mata seolah tertuju padaku. Tentu saja aku sedikit merasa salah tingkah diperhatikan oleh hampir seluruh tamu undangan. Kegaduhan semakin menjadi ketika banyak orang berteriak memintaku berdiri dan melihat sesosok lelaki yang duduk tak jauh dariku.
“Masya Allah!” suaraku sembari melonjak kaget. Aku melongo dan nyaris tak bisa berkata-kata. Aku gemetar dan merasa sekujur tubuh seperti rontok. Persendian terasa lemas dan membuatku susah berdiri. Aku benar-benar lemas kala itu. Pandangan terasa kabur dan nyaris gelap. Berangsur kusadari bahwa lelaki paruh baya yang duduk di dekatku adalah mbah Surip. Aku baru sadar bahwa lelaki yang berjalan bersamaku beberapa menit lalu adalah mbah Surip. Upacara selamatan pun berubah kekacauan. Ada yang merasa ngeri, berteriak histeris karena ketakutan, bahkan ada juga yang lari terkencing-kencing meninggalkan rumah hajat. Butuh waktu lama untuk meyakinkan penglihatan bahwa yang hadir saat itu adalah mbah Surip. Antara mencekam dan ketakpercayaan campuraduk menjadi satu. Setelah meyakini bahwa lelaki paruh baya itu benar-benar mbah Surip, warga yang masih tersisa mencoba mengajukan beragam pertanyaan seputar kebangkitan mbah Surip dari tanah kubur. Tentu saja pertanyaan tersebut ditengahi atau diwakili oleh pak Kiai.
“Saat itu saya hanya merasa seperti orang tidur, pak Kiai. Saya terkejut ketika terjaga mendapati ruang begitu gelap. Sekuat tenaga saya mencoba keluar dari kubang itu hingga benar-benar sampai di rumah ini. Berhubung cuaca sangat dingin, saya memutuskan mengambil baju Kang Saidi yang masih ada di jemuran untuk ganti mori di badan. Kalau mori itu tetap saya pakai, tentu orang mengira bahwa saya gentayangan. Kata sebagian orang, selama 40 hari arwah orang meninggal akan gentayangan. Mau tak mau saya harus melucuti mori itu dan ganti baju agar tidak dikira arwah gentayangan. Saya sadar masih hidup, bukan arwah gentayangan.” tutur mbah Surip mengisahkan proses kebangkitan dirinya dari tanah kubur.
“Subhanallah! Ini merupakan bagian dari kekuasaan Allah Swt. Kita harus banyak belajar serta mengambil hikmah dari peristiwa ini. Kita harus mengimani peristiwa ini. Semoga dengan kejadian ini iman kita semakin kuat serta tumbuh menjadi lebih baik. Sekarang mbah Surip sudah kembali sediakala di tengah-tengah kita,” kata pak Kiai. “Bagi bapak-bapak yang masih ingin berada di sini, selaku wakil keluarga, dipersilakan. Bagi yang ingin undur diri, tanpa mengurangi rasa hormat, dipersilakan,” imbuhnya.
Sementara diriku masih belum memercayai apa yang baru saja terjadi. Apa yang kualami benar-benar merupakan pengalaman luarbiasa dan tak terlupakan seumur hidupku. Aku yang menemukan mbah Surip meninggal, aku pula yang mendapati mbah Surip berjalan bersamaku setelah bangkit dari tanah kubur.[]
Yogyakarta, 31 Januari 2015
Cerpen ini telah dipublikasikan di SUARA KARYA (07/03/2015)