LARAS HATI | MALKA | KATASTROFA CINTA | MEGALOMANIA | KASIDAH POKTAISME
LARAS HATI
WAJAH bulan tampak terang di langit tinggi, mari kembali
laju matahari tenggelam ke dalam perigi, isyarat ganti hari
niktigami telah merebak dan tebarkan wangi, enyahkan lara hati
Kayu basah memberi asap dan jelaga tanpa kobar api
walaupun dibakar sedemikian rupa, ia hanya hangus tanpa nyala
ia habis terbakar karena kayu lain, bukan atas dirinya
Simaklah alun laras hati, biarkan kabut jiwa terbang tinggi
usah lagi rintangi penglihatan jiwa dengan linang airmata dukacita
obituari lekaslah pergi, mari menuju dekap kekasih penuh sukacita
MALKA
SEMULA kita bersama, tiada jeda, tiada pula beda adanya
kini, sepi hati menghiasi hari—menjelajahi mimpi mati suri
pikiranku begitu ambigu pahamimu walau kutahu hakikatmu satu, Kekasihku
Seberapa lama kita bersua, berapa masa pula jeda melanda?
begitu pilu merindu hadirmu, memicu pacu cemburu terhadapmu, Kekasihku
janji suci terpatri di hati, hari demi hari mengingkari
Mantra cinta berdaya guna pada semesta jiwa para hamba
kini, esensi hayati kembali mengisi pundi hati pencari Ilahi
cintaku tertuju padamu walau jemu begitu berjibaku mengganggu rasaku
KATASTROFA CINTA
KETIKA angin keluar dari ceruk ombak, ia menderu merdu
para darwis lantunkan madah semesta, jiwa menari dalam makna
airmata berlinang bukan dari mata, khilaf kian tak terperi
Akal meraih cahaya semesta, bibir kalbu lafalkan insaf jiwa
gerak gasing memaku jejak kaki senada arah jarum jam
gemuruh rasa meledak-ledak di dada, luruh bagai gugur bunga
Oh, angin yang lahirkan bunyi lagu syahdu untuk kekasih
bagaimana rindu sampai bila angin tak bersinergi dengan seruling?
jiwa kekasih akan sunyi mencekam bila cinta tak datang
MEGALOMANIA
BERAPA banyak lagi akan kau kumpulkan segala benda dunia
apakah sampai laut mengering, bahkan sumur tak keluar air
atau hingga tanah menjadi lautan darah atas kepuasan hasrat?
Lihatlah mereka yang dikuasai nafsu dan keserakahan dalam dirinya
betapa memolok saat hidangan lezat tersaji di depan mata
apa pun akan dilahap sebelum perut kenyang terisi makanan
Jernihkan hati dan pikiran agar tak terjangkit sakit jiwa
tentu saja mata air berbeda jauh dengan limpah banjir
mata air adalah manfaat, sedangkan luap banjir adalah mudarat
KASIDAH POKTAISME
BERSANDING dan merapatlah di sisi tanpa ada kabut ragu
jarak justru akan menegaskan bisu tanpa kenal jeda waktu
sebab benci yang bertahan di hati akan mewujud belati
Oh, betapa menawan wajah nan bertabur senyum tanpa kepalsuan
bila hati berselimut dukacita, lebur saat jumpa kekasih tercinta
pagut apa lagi yang lebih pokta dari persenyawaan cinta?
Bila pikiran kalut mengeja bait puisi ini, lekaslah berhenti!
biarlah hakikat cinta itu sendiri sebagai ahli tafsir sejati
jangan paksa kelopak mata sembap karena tak tuntas membaca
Sajak ini telah dipublikasikan di RADAR BOJONEGORO (15/11/2015)
WAJAH bulan tampak terang di langit tinggi, mari kembali
laju matahari tenggelam ke dalam perigi, isyarat ganti hari
Baca Juga
Kayu basah memberi asap dan jelaga tanpa kobar api
walaupun dibakar sedemikian rupa, ia hanya hangus tanpa nyala
ia habis terbakar karena kayu lain, bukan atas dirinya
Simaklah alun laras hati, biarkan kabut jiwa terbang tinggi
obituari lekaslah pergi, mari menuju dekap kekasih penuh sukacita
Yogyakarta, 06 Oktober 2015
SEMULA kita bersama, tiada jeda, tiada pula beda adanya
kini, sepi hati menghiasi hari—menjelajahi mimpi mati suri
pikiranku begitu ambigu pahamimu walau kutahu hakikatmu satu, Kekasihku
Seberapa lama kita bersua, berapa masa pula jeda melanda?
begitu pilu merindu hadirmu, memicu pacu cemburu terhadapmu, Kekasihku
janji suci terpatri di hati, hari demi hari mengingkari
Mantra cinta berdaya guna pada semesta jiwa para hamba
kini, esensi hayati kembali mengisi pundi hati pencari Ilahi
cintaku tertuju padamu walau jemu begitu berjibaku mengganggu rasaku
Yogyakarta, 16 September 2015
KETIKA angin keluar dari ceruk ombak, ia menderu merdu
para darwis lantunkan madah semesta, jiwa menari dalam makna
airmata berlinang bukan dari mata, khilaf kian tak terperi
Akal meraih cahaya semesta, bibir kalbu lafalkan insaf jiwa
gerak gasing memaku jejak kaki senada arah jarum jam
gemuruh rasa meledak-ledak di dada, luruh bagai gugur bunga
Oh, angin yang lahirkan bunyi lagu syahdu untuk kekasih
bagaimana rindu sampai bila angin tak bersinergi dengan seruling?
jiwa kekasih akan sunyi mencekam bila cinta tak datang
Yogyakarta, 01 Juni 2015
BERAPA banyak lagi akan kau kumpulkan segala benda dunia
apakah sampai laut mengering, bahkan sumur tak keluar air
atau hingga tanah menjadi lautan darah atas kepuasan hasrat?
Lihatlah mereka yang dikuasai nafsu dan keserakahan dalam dirinya
betapa memolok saat hidangan lezat tersaji di depan mata
apa pun akan dilahap sebelum perut kenyang terisi makanan
Jernihkan hati dan pikiran agar tak terjangkit sakit jiwa
tentu saja mata air berbeda jauh dengan limpah banjir
mata air adalah manfaat, sedangkan luap banjir adalah mudarat
Yogyakarta, 28 September 2015
BERSANDING dan merapatlah di sisi tanpa ada kabut ragu
jarak justru akan menegaskan bisu tanpa kenal jeda waktu
sebab benci yang bertahan di hati akan mewujud belati
Oh, betapa menawan wajah nan bertabur senyum tanpa kepalsuan
bila hati berselimut dukacita, lebur saat jumpa kekasih tercinta
pagut apa lagi yang lebih pokta dari persenyawaan cinta?
Bila pikiran kalut mengeja bait puisi ini, lekaslah berhenti!
biarlah hakikat cinta itu sendiri sebagai ahli tafsir sejati
jangan paksa kelopak mata sembap karena tak tuntas membaca
Yogyakarta, 06 Oktober 2015
Sajak ini telah dipublikasikan di RADAR BOJONEGORO (15/11/2015)