Pernikahan Itu ...
Pernikahan bukan soal aku menyukaimu dan kamu menyukaiku. Bukan pula soal setelah mengucapkan janji suci pernikahan lantas hidup bersama dalam satu atap. Pernikahan bukan sebatas aku menghubungimu dan kamu menghubungiku ketika sama-sama butuh. Bukan pula soal aku bisa mendengarmu, merasakan apa yang kamu rasa, memikul seluruh beban hidup yang datang dan pergi. Menyelesaikan masalah entah yang kuperbuat atau yang kamu perbuat. Pernikahan bukan soal urusan ranjang sekaligus mengurus rumah serta anak. Bukan pula sekadar menunaikan kewajiban memberi nafkah lahir dan batin. Pernikahan sama sekali bukan akhir dari masalah, bukan pula kemenangan atas pilihan hati di antara beragam pilihan. Bukan! Bukan itu maksud dari pernikahan.
Kalau aku menikahimu lantas tak bisa mendengarmu, merasakan apa yang kamu rasa, saling meringankan beban hidup bersama-sama. Atau, kita menikah dan menjalani hidup bersama-sama atas dasar suka sama suka, tanpa pernikahan pun kita bisa lakukan. Kita bisa lakukan semua hal sendiri-sendiri. Pernikahan bukan persoalan hidup serumah. Pernikahan bukan membebaskan batas. Bukan pula pengekangan terhadap batas. Pernikahan bukan persoalan milikmu dan milikku. Pernikahan bukan pula soal halal atau haram melakukan apa yang sebelumnya dilarang, boleh atau tidaknya segala sesuatu atas penilaian orang lain.
Pernikahan adalah perjalanan di tengah malam yang gelap gulita. Walau banyak orang di sana, kita tetap melangkah bersama menuju cahaya di ujung jalan. Tak peduli orang lain berbuat atau berkata apa di medan itu. Tak peduli seberapa sakit kaki memijak. Tak peduli seberapa buruk orang menilai. Tak peduli kesusahan hidup sering kali mengimpit. Tak peduli apa pun yang ingin mengoyak persenyawaan kita.
Bukankah semestinya, ketika aku memutuskan untuk memilihmu, apa yang tampak di mataku adalah dirimu? Seharusnya kita bisa lebih kuat dibandingkan dengan saat masih hidup sendiri. Tiada lagi jalan lain selain jalan yang kita yakini. Tak peduli ada lubang, duri, tanjakan, atau jalan menurun. Kita hanya ingin sampai pada cahaya masa depan yang ingin dituju. Aku tetap menggenggam tanganmu sebagai penunjuk jalan. Menggandengmu agar tetap mampu berjalan sekaligus tegak berdiri meniti jalan hidup. Menjadi orang paling depan saat ada ancaman. Menjadi orang pertama yang merasakan sakitmu. Menjadi orang pertama yang menyediakan bahu sebagai sandaran kepala. Menjadi orang paling hangat saat memelukmu. Menjadi orang pertama yang menghapus linang air matamu. Menjadi orang yang paling luas hati dan pikiran untuk segala kemelut. Seharusnya suara-suara dari arah kegelapan takkan memberi pengaruh apa pun bagi kehidupan kita.
Kalau aku menikahimu lantas tak bisa mendengarmu, merasakan apa yang kamu rasa, saling meringankan beban hidup bersama-sama. Atau, kita menikah dan menjalani hidup bersama-sama atas dasar suka sama suka, tanpa pernikahan pun kita bisa lakukan. Kita bisa lakukan semua hal sendiri-sendiri. Pernikahan bukan persoalan hidup serumah. Pernikahan bukan membebaskan batas. Bukan pula pengekangan terhadap batas. Pernikahan bukan persoalan milikmu dan milikku. Pernikahan bukan pula soal halal atau haram melakukan apa yang sebelumnya dilarang, boleh atau tidaknya segala sesuatu atas penilaian orang lain.
Pernikahan adalah perjalanan di tengah malam yang gelap gulita. Walau banyak orang di sana, kita tetap melangkah bersama menuju cahaya di ujung jalan. Tak peduli orang lain berbuat atau berkata apa di medan itu. Tak peduli seberapa sakit kaki memijak. Tak peduli seberapa buruk orang menilai. Tak peduli kesusahan hidup sering kali mengimpit. Tak peduli apa pun yang ingin mengoyak persenyawaan kita.
Bukankah semestinya, ketika aku memutuskan untuk memilihmu, apa yang tampak di mataku adalah dirimu? Seharusnya kita bisa lebih kuat dibandingkan dengan saat masih hidup sendiri. Tiada lagi jalan lain selain jalan yang kita yakini. Tak peduli ada lubang, duri, tanjakan, atau jalan menurun. Kita hanya ingin sampai pada cahaya masa depan yang ingin dituju. Aku tetap menggenggam tanganmu sebagai penunjuk jalan. Menggandengmu agar tetap mampu berjalan sekaligus tegak berdiri meniti jalan hidup. Menjadi orang paling depan saat ada ancaman. Menjadi orang pertama yang merasakan sakitmu. Menjadi orang pertama yang menyediakan bahu sebagai sandaran kepala. Menjadi orang paling hangat saat memelukmu. Menjadi orang pertama yang menghapus linang air matamu. Menjadi orang yang paling luas hati dan pikiran untuk segala kemelut. Seharusnya suara-suara dari arah kegelapan takkan memberi pengaruh apa pun bagi kehidupan kita.
Kalaupun ternyata harus tersandung, tertusuk duri, harus mendaki, atau naik sekaligus menuruni jalan, anggap saja sedang olahraga. Bukankah gelap hanya menyembunyikan bentuk duri, batu, genang air, atau apa saja atas penglihatan normal saat itu. Ketika kita terus berjalan aral itu sama sekali tak berarti. Seharusnya pula aku menjadi orang paling berani saat rasa takut menguasai diri. Kegelapan tetaplah kegelapan. Kegelapan takkan mampu mengubah apa pun selama kita bersepakat untuk tetap bersama. Mari terus bergandengan dan terus berjalan. Tak perlu berlari agar keseimbangan tetap terjaga hingga langkah kaki benar-benar sampai di tempat tujuan. Bukankah dengan berjalan, ketajaman dan kepekaan kaki terus terjaga selama memijak. Bukankah dengan berjalan lebih mudah membedakan antara tanah dan air. Lebih mudah membedakan kerikil, pasir, ataupun tanah. Bukankah dengan berjalan lebih memudahkan menerka genangan, ceruk, atau tepi jurang. Bukankah dengan berjalan lebih mudah menerka rumput basah atau daun-daun kering berserakan. Bukankah dengan berjalan lebih menjaga napas sekaligus energi kita agar tak cepat payah?
Kalau pernikahan hanya sekadar untuk hidup bersama—tanpa janji suci pernikahan—kita bisa melakukannya. Kalau pernikahan hanya sekadar ingin didengar dan mendengar—tanpa janji suci pernikahan—kita bisa melakukannya. Kalau pernikahan hanya sekadar memberi nafkah—tanpa janji suci pernikahan—kita bisa melakukannya. Kalau pernikahan hanya urusan ranjang, mengurus rumah dan mengasuh anak—tanpa janji suci pernikahan—kita bisa melakukannya. Pernikahan tak sebatas itu dan bukan pula melulu soal syahwat yang disalurkan secara sah. Pernikahan adalah antara dirimu dan diriku. Tentang hal-hal paling inti dari segala kesendirian yang selama ini mengusik diri. Pernikahan adalah upaya agar selaras berjalan di duniamu dan duniaku—duniaku sebagai laki-laki dan duniamu sebagai perempuan. Kita saling bicara dari sisi duniamu dan duniaku. Saling bicara tanpa ada sekat sekaligus tanpa gangguan orang lain. Menyuarakan hal-hal paling lirih yang terasa perih dalam jiwa. Berusaha keras menyembunyikan ucap dan gerak paling rahasia dari orang lain. Saling merasa dan merahasiakan apa yang kita rasa dari pendengaran maupun penglihatan orang lain. Saling merasa apa yang tidak dirasakan orang lain atas apa yang sedang kita rasa.
Pernikahan bukan sekadar menjaga gelas agar tidak pecah. Pernikahan bukan sekadar menjaga mata api agar tidak padam. Pernikahan bukan sekadar menyingkirkan duri di jalan. Pernikahan bukan sekadar menjaga air agar tidak kering atau membiarkan terus mengalir—ataupun menjaga agar tetap jernih setelah keruh—begitupun sebaliknya. Pernikahan bukan sekadar mampu mencukupi kebutuhanmu, dan kamu memenuhi kebutuhanku.
Pernikahan bukan sekadar menuruti permintaanmu ataupun mematuhi segala keinginanku. Pernikahan adalah antara dirimu dan diriku. Pernikahan adalah keseluruhan dirimu dan diriku dalam satu waktu menuju apa yang kita tuju secara utuh. Selain itu—kupikir—bukan pernikahan. Bukan kita. Bukan dirimu, juga bukan diriku. Jika faktanya begitu, kita tetap menjadi orang lain, menjadi orang asing yang secara terpaksa hidup dalam satu rumah tanpa perlu dilarang oleh siapa pun atas apa yang kita lakukan.
Kita menikah tak sedang menyelamatkan diri dari tuduhan zina. Kita menikah tak sedang menyelamatkan diri dari tuduhan amoral. Kita menikah tak sedang menutupi kenyataan jika saban waktu berjalan sendirian. Kita menikah agar kesepian yang bertahun-tahun mengancam diri berubah menjadi kebersamaan yang lebih indah. Menyatukan puing-puing kesendirian agar lahir dari rahimmu senyum bahagia yang kita sebut sebagai buah cinta. Kita menikah agar tak ada lagi waktu terbuang sia-sia sekadar uji coba mencari cinta sejati. Bukankah cinta tak perlu uji coba? Bukankah menikah bukan untuk uji coba? Kita menikah untuk menggenapkan kebahagiaan, bukan malah menambah penderitaan.
Kalau pernikahan hanya sekadar untuk hidup bersama—tanpa janji suci pernikahan—kita bisa melakukannya. Kalau pernikahan hanya sekadar ingin didengar dan mendengar—tanpa janji suci pernikahan—kita bisa melakukannya. Kalau pernikahan hanya sekadar memberi nafkah—tanpa janji suci pernikahan—kita bisa melakukannya. Kalau pernikahan hanya urusan ranjang, mengurus rumah dan mengasuh anak—tanpa janji suci pernikahan—kita bisa melakukannya. Pernikahan tak sebatas itu dan bukan pula melulu soal syahwat yang disalurkan secara sah. Pernikahan adalah antara dirimu dan diriku. Tentang hal-hal paling inti dari segala kesendirian yang selama ini mengusik diri. Pernikahan adalah upaya agar selaras berjalan di duniamu dan duniaku—duniaku sebagai laki-laki dan duniamu sebagai perempuan. Kita saling bicara dari sisi duniamu dan duniaku. Saling bicara tanpa ada sekat sekaligus tanpa gangguan orang lain. Menyuarakan hal-hal paling lirih yang terasa perih dalam jiwa. Berusaha keras menyembunyikan ucap dan gerak paling rahasia dari orang lain. Saling merasa dan merahasiakan apa yang kita rasa dari pendengaran maupun penglihatan orang lain. Saling merasa apa yang tidak dirasakan orang lain atas apa yang sedang kita rasa.
Pernikahan bukan sekadar menjaga gelas agar tidak pecah. Pernikahan bukan sekadar menjaga mata api agar tidak padam. Pernikahan bukan sekadar menyingkirkan duri di jalan. Pernikahan bukan sekadar menjaga air agar tidak kering atau membiarkan terus mengalir—ataupun menjaga agar tetap jernih setelah keruh—begitupun sebaliknya. Pernikahan bukan sekadar mampu mencukupi kebutuhanmu, dan kamu memenuhi kebutuhanku.
Pernikahan bukan sekadar menuruti permintaanmu ataupun mematuhi segala keinginanku. Pernikahan adalah antara dirimu dan diriku. Pernikahan adalah keseluruhan dirimu dan diriku dalam satu waktu menuju apa yang kita tuju secara utuh. Selain itu—kupikir—bukan pernikahan. Bukan kita. Bukan dirimu, juga bukan diriku. Jika faktanya begitu, kita tetap menjadi orang lain, menjadi orang asing yang secara terpaksa hidup dalam satu rumah tanpa perlu dilarang oleh siapa pun atas apa yang kita lakukan.
Kita menikah tak sedang menyelamatkan diri dari tuduhan zina. Kita menikah tak sedang menyelamatkan diri dari tuduhan amoral. Kita menikah tak sedang menutupi kenyataan jika saban waktu berjalan sendirian. Kita menikah agar kesepian yang bertahun-tahun mengancam diri berubah menjadi kebersamaan yang lebih indah. Menyatukan puing-puing kesendirian agar lahir dari rahimmu senyum bahagia yang kita sebut sebagai buah cinta. Kita menikah agar tak ada lagi waktu terbuang sia-sia sekadar uji coba mencari cinta sejati. Bukankah cinta tak perlu uji coba? Bukankah menikah bukan untuk uji coba? Kita menikah untuk menggenapkan kebahagiaan, bukan malah menambah penderitaan.