DELAPAN BELAS - Anam Khoirul Anam Official -->

DELAPAN BELAS

FAJAR begitu remang. Bukit dan juga lereng dipenuhi kabut abu-abu. Senyum dan air mata mewujud jadi satu. Anugerah itu telah lahir ke dunia, namun bersamaan dengan itu duka meraja di dada. Tangis bayi itu memecah sunyi sekaligus menutup separuh senyuman. Walau azan dikumandangkan di antara kedua telinganya, namun kesedihan tak dapat berdusta. Tapat di hari Asyura—untuk kali pertama—ia menghirup napas dunia. Sewadak harap telah menanti. Namun sayang, ia lahir tanpa ditemani sang ibu.

“Nak ... sabar, ya! Kamu harus kuat menghadapi kenyataan ini. Mungkin ini sudah suratan takdir. Allah telah menetapkan umur istrimu. Sabarlah! Semoga amal ibadahnya diterima Allah Swt. Tak perlu larut dalam kesedihan. Mari ikhlaskan kepergiannya,” ujar Kiai Mahfud. “Sekarang di hadapanmu telah ada amanah baru yang harus kamu bimbing supaya kelak menjadi anak saleh.”

Ya. Meski kini telah lahir buah hatinya, namun bersamaan orang yang begitu dicintai turut pergi. Istrinya telah dipanggil oleh Sang Ilahi. Tentu saja, selepas istrinya meninggal, ia merangkap sebagai seorang ayah sekaligus seorang ibu. Hari demi hari pasca istrinya meninggal, bisikan-bisikan jahat berdatangan, tapi ia terus bertahan dan melawan. Ia terus bertahan pada pikiran positif agar tidak terjerumus ke dalam kesesatan. Lagi-lagi ia harus kuat bertahan. Ia tak mau mengulang kisah kelam orang tuanya di masa lalu. Bertahan, ya, ia harus terus bertahan walau apa pun yang terjadi.


Sepenuh hati ia rawat buah hatinya. Ia benar-benar merasakan bahwa mengurus anak tidaklah mudah. Tak hanya menyuapi, memberi susu dan meninabobokkan, tapi ia juga harus sering terjaga dari tidur karena anaknya mengompol. Pagi hari, selain harus mengasuh, ia juga harus mencuci popok anaknya. Begitulah hari demi hari ia lalui. Walau barat namun ia bahagia.

Baca Juga

“Assalamualaikum ...”

“Waalaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh. Gus Mualim?” sahut Rusli sembari menjemur popok.

“Apa kabar, Gus?”

“Alhamdulillah kabar baik, Rus.”

“Dari mana saja, Gus?”

“Dari rumah Abahmu. Lama saya tidak silaturahmi.”


“Maaf kalau aku tidak bisa melayat istrimu. Saat itu aku benar-benar tidak bisa pulang karena dinas ke luar kota. Aku benar-benar minta maaf atas semuanya.”

“Tidak apa-apa, Gus. Saya maklum.”

“Boleh saya lihat anakmu?”

“Oh, boleh. Kebetulan dia masih tidur. Mari ... silakan!”

Rusli mengajak Gus Mualim masuk ke rumah dan menunjukkan buah hatinya.

“Anakmu tampan seperti ayahnya. Siapa namanya?”

“Mahesarumi Kalilulintang Alfatimi.”

“Bagus sekali namanya.”

“Terima kasih, Gus!”

Tanpa canggung, Gus Mualim menggendong Rumi. Lazimnya seorang ayah ia kidung bayi itu. Luwes.

“Ngomong-nomong, apa tidak repot mengasuh anak sendirian?”

“Ya, sebenarnya begitu. Tapi mau bagaimana lagi?! Bisa tidak bisa, saya tetap harus berusaha mengasuhnya sebaik mungkin.”

Barangkali merasa nyaman, Rumi pun kembali tertidur pulas dalam gendongan Gus Mualim. Saking asyik menggendong Rumi, Gus Mualim tidak sadar kalau bajunya basah kena ompol. Rusli pun meminta maaf karena hal itu. “Tidak apa, Rus. Itu tandanya Rumi nyaman kugendong dan bersama denganku.”

Rusli segera mengganti popok dan menggendong putranya.

“Maaf, Rus. Bolah aku tanya sesuatu?”

“Soal apa itu, Gus?”

“Aku merasa kamu sedang ada masalah? Benar begitu?”

“Ah ... tidak ada masalah apa-apa kok, Gus?” sahut Rusli sembari menggelengkan kepala. Walau menyanggah, jawaban dan geleng kepala itu tak bisa membohongi apa yang sebenarnya bergolak di dalam dada.

“Jangan bohong! Tak perlu menyembunyikan masalah sendirian.”

“Benar, Gus. Saya tidak ada masalah apa-apa.”

“Katakan saja. Tak perlu sungkan. Insya Allah, aku akan berusaha membantu.”

Rusli hanya menggelang sembari menundukkan wajah.

“Kalau boleh aku menebak, sebenarnya kamu sedang menangung beban asmara, kan? Selain almarhumah istrimu, kamu masih memendam rasa cinta pada orang lain, kan?”

Tak ada yang bisa dibantah dari pernyataan Gus Mualim. Rusli sadar dengan siapa ia berhadapan. Ia tahu jika Gus Mualim memiliki kemampuan lebih. Ia memiliki ilmu laduni. Selain itu, Gus Mualim juga memiliki kemampuan membaca pikiran orang lain. Jika sudah demikian, tak ada yang bisa dilakukan oleh Rusli selain diam dan berusaha menyembunyikan rahasia di lipatan hatinya.

“Benar kamu mencintai Sukma?”

Mendadak Rusli terkaget-kaget. “Dari mana Panjenengan tahu kalau saya mencintainya?”

“Apa perlu kujelaskan dari mana kuketahui hal itu? Benar, kan, jika kamu mencintainya?”

Rusli semakin menundukkan wajah sembari mendekap erat tubuh mungil Rumi. Matanya tampak berkaca-kaca.

“Aku tidak sedang ingin memarahi kamu. Aku juga tidak bermaksud menghalangi atau melarangmu.”

Tampak Rusli mulai menggigil. Ia menggigil menahan tangis dan juga rasa sesak yang kian memenuhi rongga dada.

“Tapi saat ini saya tak bisa lagi mencintainya, Gus.”

“Loh, kenapa?”

“Saya merasa sudah tak pantas lagi untuknya. Saya merasa jauh di bawahnya. Saya merasa antara kami sudah ada bentang jarak. Ada jarak yang memisahkan kami. Semakin lama saya merasa tak mampu menggapai cintanya. Kudengar ia sangat alim. Mana mungkin dia mau dengan saya? Apalagi saya sudah mengkhianti dan telanjur menyakitinya.”

Mendengar bantahan itu, Gus Mualim tersenyum dingin. Ia tahu bahwa anggapan Rusli keliru besar. Ia tahu bahwa tidak seperti itu faktanya.

“Jangan salah sangka lebih dulu! Sebenarnya dia masih mencintaimu. Dia masih menunggumu. Ia berubah begitu karena ingin mengalihkan kesedihan yang ia rasakan. Ia tak mau terus-menerus diliputi kesedihan. Selain ingin mendekatkan diri pada Allah Swt., ia juga masih mengharap kedatangamu. Ia masih berharap bisa hidup denganmu.”

Rusli benar-benar tak percaya dengan perkataan Gus Mualim. Ia masih ragu dengan kabar itu. Semua masih mental dan belum masuk di akal.

“Benarkah apa yang saya dengar ini? Jangan-jangan Panjenengan sedang bercanda.”

“Dengarkan penjelasanku ini, ya. Semoga kamu percaya dengan apa yang kukatakan ini.” Gus Mualim menjeda ucapnya sejenak, “Dia sering datang ke rumah dan meminta bimbingan. Sesekali ia juga mencurahkan isi hati soal hubungannya denganmu. Saat ia tahu bahwa kamu menikah dengan almarhumah, ia benar-benar terguncang. Ia nyaris tak percaya dan hampir lepas kendali. Mungkin jika tak kuat iman ia pasti akan melakukan tindakan di luar batas. Tapi tidak. Ia ingin bertahan. Ia masih menggunakan akal sehatnya. Kalau gadis lain mungkin akan berpikir cari ganti atau akan membalas sakit hatinya dengan hal-hal tak lazim. Sekali lagi kutegaskan bahwa dia bukanlah gadis semacam itu. Kekuatan cintanya untukmu benar-benar luar biasa. Aku benar-benar kagum dengan kenyataan ini. Ternyata kisah semacam ini bukan dongeng semata. ia tetap manusia biasa yang butuh cinta dan kasih sayang. Jadi, sangat rugi jika lantas kamu sia-siakan penantian cinta dan kerinduan di jiwa ....


NB: Cerita selengkapnya bisa dibaca dalam versi buku atau cetak.


Berlangganan update artikel terbaru via email:




Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel