TUJUH BELAS
SUDAH setahun Rusli mengarungi hidup berumah tangga. Entah mengapa ia belum bisa memusnahkan rasa di dadanya terhadap Sukma. Apakah ia tidak setia dengan Fatimah? Tidak! Ia tidak sedang selingkuh atau berkhianat. Ia hanya tak bisa melupakan apalagi memusnahkan Sukma dalam kehidupannya. Tampa harus membandingkan fisik, kedua perempuan itu memang benar-benar cantik. Mereka berdua juga sama-sama mengerti keadaan maupun masa lalunya. Perlu ditegaskan pula bahwa Rusli juga mencintai Fatimah, mencintai sepenuh tanggung jawab sebagai seorang suami. Namun cintanya pada Sukma benar-benar sulit dilupakan hingga kini. Rusli benar-benar dihatui rasa bimbang sekaligus rasa bersalah. Bimbang karena masih ada cinta untuk Sukma, merasa bersalah karena masih saja mencintai Sukma walau kini telah menikah dengan Fatimah.
“Mas ... a-ak-aku hamil,” kata Fatimah sembari menunjukkan test pack. Mata Fatimah tampak berkaca-kaca. Terpancar kebahagiaan di raut wajah ranum itu.
Begitulah Rusli. Meski mendapat kejutan, ia tetap berekspresi datar. Bukan berarti tidak bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah Swt., padanya. Ia hanya tak pandai mengungkapkan ekspresi dengan gerak tubuh secara berlebihan. Ia hanya mengucap syukur alhamdulillah atas kabar gembira tersebut secara apa adanya. Meski demikian, sisi nalurinya sebagai calon orang tua tetap tak bisa berdusta, ia pun menangis karena bahagia. Ia pegang bahu, memeluk dan mengakhiri dengan ciuman berulang kali di kening istrinya. Ia rengkuh istrinya hingga benar-benar terbenam dalam pelukan.
Di sisi lain, kabar tersebut memang alirkan desir bahagia, namun di lain sisi ada kehawatiran sekaligus rasa takut. Sejauh ini Rusli selalu dihantui tanda tanya. Ia selalu bertanya-tanya, apakah semua ini harus diakhiri atau dibiarkan saja hidup di dalam jiwanya? Semua telanjur terjadi. Ia tak ingin ada rahasia dalam rumah tangganya, tapi apalah daya, rasa cinta pada Sukma masih begitu kuat dalam dada. Ia tak ingin mengulang kisah cinta orang tuanya di masa lalu. Ia benar-benar bimbang.
“Mas ... maafkan aku!”
Kata-kata itu memicu hening hadir dalam kamar.
“Maaf untuk apa, Ma?”
Fatimah diam sejenak. Tampak ada ragu terpancar di wajahnya.
“Katakan saja, Ma! Ada apa?”
“Maaf jika aku sudah memutuskan hubunganmu dengan Sukma ....” ucapan itu tercekat oleh sesenggukan. Fatimah makin mengeratkan pelukan pada suaminya. Ia benar-benar diliputi cemas dan takut. “Aku benar-benar minta maaf,” lanjutnya dan semakin mengeratkan pelukan. Ia menyandarkan kepala sedemikian pasrah di bahu suaminya.
“Hukum aku jika itu bisa menghapus salah dan dosaku, Mas.” Fatimah makin tersedu-sedu. Suaranya pun tersendat-sendat. “Sebenarnya dari dulu aku sudah tahu kalau Jenengan menjalin hubungan dengannya. Banyak sudah yang kudengar dari hubungan kalian. Aku benar-benar tak mengira jika akhirnya seperti ini. Aku juga tak ada niat merebutmu darinya. Kala itu aku sadar bahwa tak mungkin mencintaimu. Jujur, sebenarnya dulu aku juga merasa jatuh cinta padamu. Tapi karena Jenengan sudah menjalin hubungan dengan Sukma, mau tak mau kupupuskan niatku mencintaimu.” Ia menyeka air matanya yang terus berlinang.
Rusli hanya mendegarkan curahan hati istrinya. Untuk saat ini ia belum bisa berkata banyak, apa yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah membelai kepala sembari terus menciumi kening istrinya. Jujur, semakin ia mendengar curahan hati dari istrinya, pilu begitu terasa mengiris ulu hati.
“Andai aku tidak egois dan ceroboh mengatakan bahwa aku suka denganmu, barangkali Abah akan berpikiran lain. Jujur saat itu aku tidak ada pilihan lain. Aku tidak cinta pada Kiai Latif. Apa yang terlintas di pikiranku hanyalah ingin hidup bersamamu. Berbulan-bulan aku pertimbangkan dan selama itu pula aku ingin melupakanmu, nyatanya tak bisa. Aku sudah berusaha istikharah, tapi aku belum mendapat jawaban. Maka dari itulah mengapa aku tak segera memberi jawaban atau kepastian atas pinangan dari Kiai Latif. Aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Berulang kali Abah menanyakan kepastian, tapi aku tak bisa menjawab. Makin hari aku merasa tertekan. Puncaknya adalah saat Kiai Latif datang ke rumah untuk memastikan keputusanku. Aku merasa tersudut kala itu, sebab sudah hampir dua tahun kugantungkan harapan orang lain. Aku tak bisa berlama-lama hidup dalam tekanan semacam itu. Akhirnya dengan setengah keberanian kukatakan bahwa aku mencintaimu, Mas.”
Tangis Fatimah makin pecah dan menjadi-jadi. Menyaksikan kejadian seperti itu, Rusli makin tak bisa berbuat banyak selain menjadi pendengar terbaik walau ada guncangan bertubi-tubi dalam jiwa.
“Andai dulu aku tak berkata begitu, mungkin Jenengan sudah hidup bahagia dengan Sukma. Aku benar-benar telah menghancurkan kebahagiaan kalian. Kejujuranku malah membuatmu harus menikahiku. Aku sadar dan tahu bahwa Jenengan menikahi diriku karena rasa terpaksa dan ingin menghormati Abah saja.”
Mendengar kata itu, Rusli menyanggah. “Sudah ... jangan berprasangka begitu. Jangan lagi mengungkit-ungkit masa lalu.”
“Aku sadar semua ini salahku. Aku merasa bahwa Mas belum bisa melupakan Sukma. Cintamu masih sangat besar untuknya. Mas masih mencintainya, kan? Mas masih berharap bisa hidup dengannya, kan?”
Cepat-cepat Rusli menutup bibir Fatimah dengan telunjuknya. Ia tatap wajah istrinya dalam-dalam. Ia usap air mata yang masih mengalir deras itu.
“Untuk menebus semua kesalahan dan juga dosaku, aku rela jika Mas menikahinya.”
Mendengar ucapan itu, emosi Rusli sedikit tersulut. “Sudah cukup! Jangan lanjutkan ucapanmu. Sekarang pikirkan saja calon anak kita yang sekarang masih dalam rahimmu. Aku tak mau memperkeruah suasana bahagia ini masalah yang sudah berlalu. Sekarang kita sudah menikah. Baru saja kita mendapat kabar bahagia, jangan mengusik kebahagiaan itu dengan kisah masa lalu. Sudahlah! Tenangkan pikiranmu. Mari jaga anugerah yang kini ada dalam kandunganmu.”
“Tidak, Mas! Hidupku tidak akan tenang sebelum menebus semua kesalahan dan dosaku. Aku tersiksa memedam semua ini. Aku tak bisa mejalani hidup dengan tenang jika terus membiarkan hal ini berlarut-larut. Mengertilah bahwa semakin hari batinku tersiksa.”
“Lalu ... apa yang kamu inginkan?”
“Kembalilah padanya! Aku rela jika hal itu membuatmu lebih bisa menikmati kebahagiaan sesungguhnya. Mungkin Mas tak bisa merasakan atau memahami perasaan wanita. Bagaimana perasaan wanita jika sudah mencintai lelaki pujaannya. Apa pun akan dilakukan. Ia rela berkorban untuk kebahagiaan orang yang begitu dicintai. Bahkan seorang wanita yang telanjur jatuh cinta tidak akan berpikir apakah ada pengkhianatan atau tidak. Pantang bagi wanita mengkhianati, kecuali jika jelas-jelas dikecewakan dan ditusuk dari belakang, ia pasti akan meradang. Ia akan memberikan seluruh hidupnya secara tulus. Seperti ibu yang begitu tulus mencintai anaknya. Sebaliknya, ketika ia disakiti, ia akan merana sepanjang masa. Barangkali saat ini kita bisa tertawa dan bahagia—apalagi saat ini aku telah mengandung—tapi, apakah Mas merasakan apa yang sedang dirasakan oleh Sukma? Kurasa tidak! Soal perasaan, laki-laki dan wanita sangat jauh beda. Wanita jauh lebih peka dan berperasaan. Sebagai sesama wanita, aku bisa merasakan apa yang kini dirasakan oleh Sukma. Aku yakin sampai saat ini Sukam pasti merasa kesakitan, merasa sakit, dan menahan rasa sakit tak terkira pada dirinya. Kumohon, Mas! Hargailah permohonanku ini.”
“Cukup! Cukup, Ma. Hentikan ucapanmu itu.”
Fatimah tak kuasa menahan tangis. Ia makin tersedu-sedu. Ia pun beranjak dan masuk ke dalam kamar. Rusli pun menyusul istrinya.
Gelap malam semakin sempunakan kegelapan dalam kamar. Isak tangis itu mulai surut seiring laju hening. Tubuh yang kini berisi janin itu tak lagi menggigil kedinginan. Orang yang begitu ia cintai telah mendekapnya begitu erat. Saking cinta dan begitu sanyang pada istrinya, tak henti ia mencium kening istrinya. Membelai rambutnya yang lurus tergerai. Sebelum benar-benar terlelap, ia cium penut istrinya sembari melafalkan doa. Kebahagiaan itu terasa lengkap ketika mimpi indah membawa seluruh lelah ke dalam taman cinta bertabur caha ....
NB: Cerita selengkapnya bisa dibaca dalam versi buku atau cetak.