ENAM BELAS
SUDAH terlalu lama Kiai Latif menunggu keputusan dari Fatimah. Hampir setengah tahun ia menunggu namun belum ada kepastian sama sekali. Lambat laun kesabarannya juga menipis bahkan mungkin telah habis. Sepenuh keyakinan ia pun datang ke Kampungkuning guna menemuai Kiai Mahfud, orang tua Fatimah. Selain silaturahmi, ia juga menyampaikan maksud kedatangannya bertamu.
“Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada Panjenengan, seyogianya hal semacam ini kita bicarakan dengan yang bersangkutan. Saya kira ini bukan masalah sepele. Ini masalah masa depan—terutama bagi Fatimah,” kata Kiai mahfud menanggapi maksud kedatangan Kiai Latif. “Jika Fatimah mau dan berjodoh, sebagai orang tua, kami hanya bisa memberi doa restu saja. Bahkan jika memang Fatimah mau menikah dengan Panjenengan, kami pun merasa beruntung. Tapi, kita juga sudah sama-sama tahu bahwa seorang gadis memiliki hak untuk menerima atau menolak pinangan. Alangkah lebih baik jika yang memberi putusan adalah Fatimah langsung.”
Mimik Kiai Latif tampak meredup. Pancaran wajah yang semula berseri-seri kini berangsur surut. Jauh di dasar hati, tebersit kekecewaan. Senyum yang tersungging tak lagi sama sediakala.
“Baiklah, Pak Kiai. Saya tidak akan memaksa Fatimah memberikan jawaban secara terburu-buru. Biarlah atas kerelaan Fatimah sendiri memberikan jawaban atas niat baik saya ini.”
Menunggu dan terus menunggu adalah hal yang bisa dilakukan Kiai Latif sampai benar-benar ada jawaban dari Fatimah. Menunggu memang sangat membosankan sekaligus melelahkan. Bahkan bersabar dalam menunggu sesuatu tak kalah gigih dengan melawan musuh di medan perang. Terus ... atau mundur. Berhasil ... atau malah gagal.
Sebagai orang tua, sebenarnya Kiai Mahfud merasa senang menerima pinangan dari Kiai Latif. Selain sudah jelas bibit, bebet, dan bobotnya, siapa yang tak kenal dengan Kiai Latif? Di kalangan masyarakatnya, Kiai Latif dikenal dermawan dan rendah hati. Bagi masyarakatnya, Kiai Latif juga sangat karismatik. Di lain sisi, sebagai orang tua, Kiai Mahfud juga harus bersikap adil pada putrinya. Semua harus diperhatikan serta dipertimbangkan. Tentu saja semua tak lepas dari ketetapan Allah Swt. Jika Ia berkehendak, maka semua pasti terjadi. Jika Ia tak berkehendak, maka semua tidak akan pernah terjadi.
Apa yang dialami oleh Kiai Mahfud saat ini mengingatkan kembali pada memoar waktu muda dulu. Sewaktu di pondok, ia punya teman—Mirah namanya—meski tidak akrab dan hanya bertemu jika ada perlu. Setidaknya, pertemanan itu tak luput dari saling berbagi kisah hidup. Mirah sering menceritakan masalah yang sedang dihadapi, terutama soal keinginan orang tuanya yang hendak menikahkannya. Orang tua Mirah memaksa agar mau menerima lamaran dari guru ngajinya. Jauh dari dalam hati, Mira sama sekali tak suka pada laki-laki itu. Entah karena takut kualat atau tak ingin durhaka pada orang tua, Mirah akhirnya menerima lamaran tersebut. Rumah tangga Mirah tak bertahan lama, hanya seumur jagung. Ia tak mendapatkan kebahagiaan lazimnya seorang istri. Lahir batinnya terluka. Ternyata baru diketahui bahwa suami Mirah sudah punya tiga istri dan Mirah merupakan istri keempat. Selama menikah, Mirah tak mendapat kepuasan lahir maupun batin. Ia dicampakkan setelah malam pertama dilakukan. Karena tidak mendapatkan nafkah secara semestinya, ia meminta cerai. Ia meminta dikembalikan kepada orang tuanya. Proses cerai pun tak berjalan mulus. Suami Mirah tak kooperatif saat sidang perceraian dilakukan. Suaminya banyak alasan dan pergi keluar kota dengan istri-istrinya yang lain. Ia malah dijadikan pembantu di rumah itu. Mirah ingin kabur, tapi takut jika dimarahi orang tuanya. Sejauh ini orang tuanya hanya tahu bahwa kondisi rumah tangga yang dibina selama ini aman dan baik-baik saja. Ia ingin mengakhiri penderitaannya dengan cara bunuh diri, tapi gagal karena kepergok orang lain. Tuhan pun mendengar doanya, ia pun dikembalikan pada orang tuanya walau dilakukan dengan cara tak baik.
Berbekal dari pengalaman yang dilihat dan didengar sampai saat ini, Kiai Mahfud tak ingin gegabah. Ia tak mau mempertaruhkan masa depan putrinya dengan risiko-risiko tak diharapkan. Tidak bisa semua disamaratakan, tidak semua orang—terutama Kiai—berperilaku buruk. Meski tidak tahu persis, tapi ia yakin kalau Kiai Latif adalah orang baik. Ia juga yakin bahwa rumah tangga yang dibangun atas dasar cinta akan senantiasa menhadirkan kebahagiaan. Meski tinggal di bawah kolong jembatan, keceriaan dan juga kebahagiaan pasti selimuti hati. Hidup dalam kecukupan ataupun kekurangan, selama cinta kasih masih ada di dada, maka kebahagiaan senantiasa meraja. Tapi, ketika tak ada rasa cinta apalagi dipaksa atau merasa terpaksa sudah pasti derita yang menimpa. Cinta karena dusta sudah pasti membuat hidup merana. Walau tinggal di istana, tapi terasa dipenja ....
NB: Cerita selengkapnya bisa dibaca dalam versi buku atau cetak.