LIMA BELAS
SUMPAH serapah keluar dari moncong para pendukung Kiai Aziz yang merasa kecewa atas perolehan penghitungan suara dalam pemilihan kepala daerah tahun ini. Kiai Aziz kalah tipis dengan Gus Mualim—hanya 10% dari total pemilih. Mau tak mau, Kiai Aziz harus menerima kekalahan ini dengan lapang dada. Tapi, sebagai simpatisan yang fanatik tentu tidak akan terima bila jagonya kalah berlaga.
“Ini pasti ada kecurangan! Kami tidak terima. Kami minta ada penghitungan ulang.”
“Ya. Banyak sekali pelanggaran dalam pilkada kali ini, tapi pengawas tidak tegas.”
“Tidak mungkin Kiai Aziz kalah, sebab pendukungnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan kubu sebelah.”
Emosi para pendukung Kiai Aziz tak bisa dikendalikan lagi. Mereka mengamuk. Merusak apa saja yang ada di lapangan tempat pemungutan suara. Akibat ulah mereka yang sangat arogan, banyak fasilitas umum akhirnya rusak. Para pendukung Kiai Aziz benar-benar kesetanan.
“Bakar!” seru seorang laki-laki bertubuh tambun.
“Mari tegakkan keadilan dan kejujuran!” pekik seorang laki-laki sembari mengubrak-abrik kursi plasti yang semula dijadikan sebagai tempat duduk para pemungut suara.
Tentu saja situasi ini membuat panik dan takut semua orang yang hadir di lapangan.
Meski ada aparat, namun mereka tak berkutik. Usaha pencegahan gagal. Huru-hara terus terjadi. Umpatan, makian, ujaran-ujaran kebencian dilontarkan.
Diterima atau tidak, Gus Mualim tetap melaju dan segera dilantik sebagai kepala daerah. Ia telah dipilih langsung oleh perbagai lapisan masyarakat. Tentu saja keputusan itu tidak bisa lagi diubah walaupun dari kubu Kiai Aziz melakukan banding ke Mahkamah Konstitusi. Tapi upaya banding ditolak.
Tak ayal Kiai Aziz pun pingsan mengetahui perolehan suara tersebut. Ia tak bisa menerima kenyataan telah kalah dalam pemilihan kali ini.
Keributan terus berlanjut. Suasana makin memanas ketika massa membakar sebuah toko dan menjarah isinya. Keributan itu memakan korban. Tiga orang tewas dan puluhan orang luka berat dan luka ringan. Suasana makin mencekam saat para pendukung Kiai Aziz berarak-arakan ke jalan raya. Mereka meyalakan petasan dan melemparkan ke segala arah.
Kampungkuning mencekam.
Sebagai tindak lanjut—sehari setelah huru-hara terjadi—satu kompi aprat kepolisian datang menciduk beberapa orang yang dijadikan sebagai provokator. Sepuluh orang ditetapkan sebagai tersangka. Tak hanya dari kubu Kiai Aziz, tapi juga ada dari kubu Gus Mualim. Mereka harus bertanggungjawab atas perbuatan yang sudah dilakukan.
***
“ALHAMDULILLAH. Selamat, ya, Gus. Sekarang Panjenengan sudah resmi menjadi kepala daerah.”
“Alhamdulillah. Terima kasih, Man. Berkat bantuanmu juga saya berhasil jadi kepala daerah. Barangkali jika tanpa dukungan kalian semua, saya belum tentu menang.”
Sebagai bagian dari rasa syukur, Gus Mualim mengundang ribuan anak yatim piatu ke rumah. Mereka pun mendapat santunan dan juga pendidikan gratis. Sebagian anak-anak yatim yang masuk pendataan kini telah tinggal di asrama. Bukan hanya anak-anak yatim piatu, anak-anak dari keluarga tak mampu juga mendapat tunjangan serta pendidikan secara cuma-cuma.
Meski telah menjabat sebagai kepala daerah, Gus Mualim tak mau menjadi sombong atau takabur. Ia ingin mencontoh sekaligus meniru kepemimpinan para aulia—sekalipun tidak sepenuhnya sama. Ia ingin menerapkan kepemimpinan yang adil dan merata agar rakyatnya sentosa. Seperti halnya khalifah Umar r.a, yang selalu mengawasi rakyatnya langsung tanpa perantara. Ia tak mau sekadar mendengar lapoan dari orang lain. Saat terjun dan mendengar langsung keluhan itulah ia melihat, mendengar sekaligus merasakan penderitaan yang dirasakan rakyatnya kala itu. Tentu saja ketika terjun langsung dan tahu betul persoalan yang ada, ia bisa langsung ambil tindakan. Ia sadar bahwa menjadi pemimpin memiliki tanggung jawab yang berat. Ia berusaha keras untuk bisa melayani rakyat dengan sebaik mungkin tanpa berharap balasan. ia sadar bahwa rakyatnya memiliki hak sama dalam menjalani hidup.
Bukan lagi menjadi rahasia jika sebagian besar anggota dewan yang ada di parleman sering kali menunjukkan sikap kurang terpuji. Bahkan kadang semena-mena. Entah karena sudah gelap mata, haus hormat atau memang keserakahan telah penuh dalam diri sehingga empati atau simpati terhadap rakyat musnah. Seolah-olah bekerja untuk memperjuangkan rakyat, nyatanya tidak. Mereka hanya memperjuangkan diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya saja.
Gus Mualim sangat menyayangkan dan tak habis pikir, mengapa masih saja ada oknum anggota dewan yang suka berbuat amoral. Berjudi, pengedar narkotika, korupsi dan main perempuan. Lebih parah lagi sebagian besar oknum tersebut sangat paham agama dan berpendidikan tinggi. Barangkali mental mereka telah rusak sehingga melakukan penyimpangan adalah sebuah kewajaran. Tak lagi takut dosa. Seolah-olah berani melawan aturan Tuhan. Agama hanya simbol semata. Agama hanya menjadi ritual yang kehilangan esen ...
NB: Cerita selengkapnya bisa dibaca dalam versi buku atau cetak.