DELAPAN - Anam Khoirul Anam Official -->

DELAPAN

LANGKAH kaki itu menyusuri jalan setapak menuju sebuah rumah. Busana yang ia kenakan menegaskan ada karisma terpendam. Senyum di wajahnya bak matahari yang hendak merekah dari ufuk timur. Senyum yang memantik jiwa lungkrah menjadi bernyala-nyala. Ia terus berjalan menembus sembilu malam.

“Assalamualaikum ...” Ia beruluk salam pada orang-orang yang sudah berkerumun di dalam ruangan.

“Waalaikum salam ...” Serempak orang-orang yang ada di dalam ruangan menjawab salam. Melihat ada tamu datang, sebagian menggeser posisi duduk guna memberi tempat bagi tamu tersebut.


“Maaf, Gus. Saya terlambat.”

Baca Juga

“Tidak apa-apa. Kebetulan ini juga baru selesai salat, jadi tidak masalah. Yang penting kamu bisa hadir. Duduklah!”

“Terima kasih atas pemaklumannya,” ucapnya sembari mengatur posisi duduk.

Setelah jeda karena kedatangan tamu, laki-laki dalam ruangan itu pun kembali menjelaskan materi yang kemudian dilanjutkan dengan membahas rencana mendatang. Semua yang hadir tampak khusyuk mendengarkan wejangan dari orang begitu disegani.

“Saudara ini namanya Rusli. Dialah yang menggantikan ustaz Faiz mengajar qariah,” ujar Gus Mualim sembari memegang bahu Rusli.

Ini adalah kali pertama Rusli berhadapan secara khusus dengan banyak santriwati. Sebelum-sebelumnya tidak pernah demikian, kalaupun diundang menjadi qariah rata-rata yang hadir adalah bapak-bapak sekaligus ibu-ibu, selebihnya jika ada para gadis hanya beberapa orang saja. Namun tidak kali ini. Semua yang hadir adalah para gadis. Grogi. Tentu saja ia grogi. Hal yang paling dilakukan saat ini adalah tersenyum dan itu pun secara malu-malu. Ia benar-benar merasa canggung berhadapan dengan para santriwati yang telah siap menerima pengajaran qariah. “Meski masih muda, tapi kemampuannya tidak diragukan,” terang Gus Mualim. Ya, jika dilihat dari umur, Rusli tentu masih tergolong muda—masih 23 tahun, selisih 8 tahun dari ustaz yang lama.

Rusli benar-benar merasa kurang bebas bergerak, sorot mata para santriwati itu seolah menjadi sekat pembatas geraknya. Terpaku. Serba salah.


Angin segar perlahan masuk ruangan. Embusnya terasa sejuk. Di langit bulan tampak berseri-seri dan tak terhalang oleh awan. Ada suasana baru malam itu. Selain itu, ada pembaruan energi seiring waktu berjalan.

“Nama saya Fitri ...”

“Diana ...”

“Halimah ...”

“Laili ...”

Satu per satu para santriwati memperkenalkan diri. Di sebagian lain—santriwati yang sudah memperkenalkan diri maupun yang belum tiba giliran menyebutkan namanya—saling berbisik dengan teman di sampingnya.

“Eh, bukankah itu santri yang kemarin baca tilawah di acara haul Kiai Romo?”

“Ya. Benar katamu. Dia santri yang kemarin baca tilawah.”

“Ini kebetulan atau memang Gus Mualim yang meminta?”

“Ngomong-ngomong ... tampan juga, ya?”

Bisik-bisik antarsantriwati pun terhenti ketika Gus Mualim berdeham. Tapi, hal itu tidak bertahan lama, seorang santriwati mulai lagi berbisik-bisik walaupun dilakukan lebih lirih dari sebelumnya.

“Eh, berkedip. Kamu ini kalau sudah lihat yang ganteng-ganteng kok enggak mau berkedip.”

“Ingat! Kita harus menghormati seorang ustaz meskipin usianya masih muda. Jangan berpikiran ngeres begitu. Dosa. Zina ... tahu!”

“Siapa yang berpikiran ngeres? Kamu kali ... wong cuma sebatas kagum saja kok.”

Rusli bergeming dan lebih banyak menundukkan wajah. Tinggal dua orang yang belum menyebutkan nama. Debar di dada Rusli kian menjadi saat salah seorang menyebutkan namanya.

“Sania ...”

Tinggal satu orang yang belum menyebutkan namanya. Wajah itu benar-benar sudah ia kenali. Wajah itu memang sudah tak asing baginya.

“Sukma ...”

Dada Rusli terasa sesak. Ia merasa ingin batuk, tapi tidak bisa dan hanya entakan angin cukup kuat keluar dari mulutnya.

Sungguh nama yang baru saja ia dengar tersebut membuat tubuhnya sedikit gemetar. Nama itu bak badai yang mengubrak-abrik padang jiwanya. Makin dalam nama itu menyusup ke palung hati, embus napas yang keluar makin tak keruan. Detak jantungnya tak lagi senada jarum jam, lebih kencang dan memicu adrenalin melesat ke angkasa. Panas dan dingin mengalir jadi satu dalam tubuhnya. Biji-biji air mulai meleleh dari kening dan juga badannya. Ada getar tersendiri malam itu. Sebuah getar yang begitu sulit ia pahami dan terjemahkan dengan logika.

Sungguh ia tak pernah menduga jika lantas berhadapan langsung dengan gadis itu, bahkan secara langsung nama itu disebut untuknya sebagai bentuk perkenalan. Perkenalan awal yang amat mendebarkan, memesona dan begitu berkesan.

Selain untuk taaruf, kegiatan qariaah belum sepenuhnya dilakukan. Kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Bahkan menjadi aneh jika segala sesuatu pertemuan maupun pertemanan tidak diawali dengan perkenalan lebih dulu.

“Maaf, Gus. Berhubung proses belajar sudah selesai dan sudah larut malam, saya izin pamit pulang.”

“O, ya. Jangan lupa ... kegiatan qariaah dilakukan dua kali seminggu. Semua mekanisme belajar kupercayakan padamu.”

Setelah berjabat tangan dengan Gus Mualim dan berpamitan dengan para santriwati, Rusli pun segera menuju pondoknya. Sepanjang jalan perasaannya terus-menerus tak keruan. Tiap jengkal kaki, ada guncang dalam dada. Tak pelah ketenteraman jiwanya terusik. Aura nan rupawan itu telah memukau mata hati hingga pancaran memesona itu membuatnya takjub. Sungguh, setelah raut itu nyata di hadapannya, ia makin tak mampu menafsir segala rasa yang hadir dalam jiwa. Mau tak mau, ia pun pasrah—bahkan ikhlas tanpa perlawanan menerima kesunyatan itu. Sentuh sang Mahagaib telah mengoyak selaput sunyi dalam diri. Oh, inikah jatuh cinta itu? Inikah cinta pada pandangan pertama itu?

***
“RUS, kamu kenapa? Kok pucat seperti itu? Sakit?”

“Enggak apa-apa, Rul. Aku hanya kedinginan saja.”

“Ah, tenane? Tenan ora opo-opo? Kok gemigil ngono?”

“Tenan ... aku ora opo-opo.”

“Yo wes yen ora loro. Mengko yen butuh opo-opo ngomong ae karo aku, yo!”

Rusli hanya mengangguk. Meski beda kamar, Asrul adalah santri yang cukup akrab dengannya di antara santri lain. Selain berasal dari kota yang sama, hanya beda desa saja, Asrul sering memberinya nasihat-nasihat ataupun hal baik la ....


NB: Cerita selengkapnya bisa dibaca dalam versi buku atau cetak.


Berlangganan update artikel terbaru via email:




Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel