SEMBILAN
LANTUNAN ayat-ayat suci itu menyusup rongga telinga hingga merasuk ke dalam relung jiwa. Suara lembut itu mendayu merdu dalam bayati qoror. Seperti alir air dari muara hening, kejernihan yang tercipta membuat tunduk segala keangkuhan jiwa. Diam terpaku dan tanpa daya.
Malam itu, ia bersimpuh sembari menundukkan wajah. Entah, wajahnya serasa lesu dan berat ditegakkan. Perlahan air mata jatuh berlinang.
“Oh, Tuhan. Betapa daif hamba-Mu ini. Sungguh telah lalai diri ini, namun tetap belum insaf atas segala nisata dan dosa.” ucapnya dalam batin yang terasa getir.
Meski telah menatap wajah secara langsung, namun ia belum bisa melepaskan laku ilmu yang selama ini sudah dimiliki. Ia masih melakukan ritual ngerogoh sukmo. Ia sadar betul jika apa yang sedang dilakukan bukanlah perbuatan baik. Di lain sisi, ia tak mau ingkar pada diri sendiri. Ia juga tak ingin munafik. Meski seminggu sekali bertatap muka saat mengajar qariah, namun rasa ingin bertemu begitu kuat mengusik jiwa. Ada khawatir, sedih, bahkan nyeri bila dilawan. Entah ia telah kecanduan, atau karena apa? Itulah yang ia rasakan sampai saat ini. Tiap malam, sehabis menunaikan salat malam, ia sering kali menyempatkan diri menemuinya.
Pernah ia mencoba untuk tidak melakukan lelaku ngerogoh sukmo, namun apa yang terjadi adalah ia merasa janggal saat menjalani hari. Ia seperti orang linglung dan merasa ada saja yang salah tiap melakukan sesuatu. Pernah juga suatu hari ia tidak melakoni laku ilmu tersebut oleh karena ketiduran. Sebenarnya bukan tanpa alasan ia tidak melakukan lelaku ilmu tersebut, selain karena capai sehabis derep, tubuhnya meminta hak istirahat. Jika musim panen tiba, kadang waktu lebih banyak dihabiskan di sawah. Mengarit atau mengetam padi butuh tenaga kuat. Barangkali memang benar-benar sudah payah, ia terbangun saat azan Subuh dikumandangkan. Ia benar-benar lelah hingga kantuk memberat di pelupuk mata, membuatnya seolah antara hidup dan mati. Malam itu ia melewatkan salat malam dan tentu saja tidak melakukan ritual seperti biasanya.
Sangat lazim bahkan menjadi suatu hal biasa di dunia pondok pesantren—terutama di pondok Kiai Mahfud—saat panen padi tiba, semua santri akan mengisi waktu senggang dengan mencari tambahan rezeki. Selain memanen milik Pak Kiai, sebagian para santri juga derep milik tetangga ataupun warga desa lainnya. Rata-rata, para santri langsung menjual bawon ke tengkulak tanpa perlu repot menjemur gabah—walaupun diberi harga lebih murah ketimbang dijual dalam bentuk gabah kering atau berupa beras. Bagi mereka mengeringkan gabah butuh waktu lama dan para santri juga tidak memiliki lumbung.
“Astagfirullah ... jam piro saiki?” ia terperanjat dari tidur sembari mencari-cari letak jam dinding. Kali ini ia benar-benar terlambat bangun. Jarum jam tepat berada di angka 6 dan 9.
“Ah, ternyata sudah pagi. Nyenyak sekali tidurku sampai-sampai tak sadar Subuh sudah lewat. Ia merasa kecewa bahkan merasa tak terima atas kelalaiannya sendiri. Ada rasa sesal menyelinap ke dalam hati, semata-mata memang bukan karena ingin mendengar suara dari Sukma, tapi malam itu ia melewatkan Tahajud. Tak perlu mengingkari kenyataan, mendengarkan suara Sukma saat membaca Alquran hanyalah pemicu semangat. Sebelum melakoni laku ngerogoh sukma, ia memang merasa agak malas-malasan bangun malam. Baginya, Sukma adalah sahabat saat menghadap Sang Pencipta. Sekadar itu. Tak lebih.
“Rul, kenapa semalam tidak membangunkan aku?”
“Biasanya kamu bangunsendiri, toh? Tumben, enggak seperti biasanya. Kalau kuperhatikan, kamu ini aneh. Masa tidak salat Tahajud sehari saja seperti kehilangan emas segudang,” jawab Asrul sembari mencuci pakaiannya.
Ia hanya menghela napas mendengar jawaban dari Asrul. Apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur. Subuh lewat dan telah mendekati Zuhur. Di pesantren memang tidak ada paksaan melakukan Tahajud, tapi bagi siap saja yang ingin melakukan salat malam bisa minta tolong dibangunkan.
Barangkali salah satu alasan mengapa ada sesuatu yang kurang bila tidak salat malam dan melakukan lelaku tersebut adalah rasa yang hilang. Rasa yang seolah melesat tinggi ke angkasa. Rasa memasuki ruang-ruang yang tak mampu dijelaskan atau diterjemahkan dalam kata-kata. Getar rasa itu seolah mengantar roh sedemikian asyik masyuk dalam mahabah. Memang semata-mata bukan dari Sukma saja, tapi dari siapa saja yang melantunkannya. Berhubung saat ini ada seseorang yang terasa akrab serta mengisi ruang kosong di jiwanya, mau tak mau ia tetap melakukan hal itu walau sebenarnya kurang tepat. Memang cukup sulit menjelaskan alasan mengapa ia lebih khusyuk mendengarkan ayat-ayat itu dilantunkan ketimbang membaca sendiri. Padahal ia tahu persis bahwa membaca ayat-ayat Alquran pahalanya lebih baik daripada mendengarkan.
Kata orang Jawa, tresno jalaran kulino (cinta karena terbiasa)—cinta datang karena telah terbiasa. Sebab terbiasa ini pula yang mungkin membuatnya merasa ingin selalu memandang gadis itu. Di lain sisi, ada rasa menolak karena niat awal ia melakukan hal itu sekadar ingin coba-coba. Tidak! Ia berusaha keras untuk menepis hasutan yang saban hari bertubi-tubi merayu agar hati menyediakan ruang untuk gadis itu. Sungguh bukan itu tujuan utamanya. Ia hanya rindu lantunan ayat-ayat Alquran. Tak lebih. Ia tak mau tersesat oleh pemahaman yang keliru. Ia berusaha untuk tidak larut buaian hingga berujung syahwat.
Tapi ... apa yang terjadi?
Masa lalu membuat ia bersepakat untuk mengubur apa yang disebut cinta. Meski ia tak benci pada cinta, ia ingin mengubur rasa itu entah sampai kapan. Bisa jadi, trauma masa lalu itu yang ingin ia obati. Setelah ia menemukan penawar, tak menutup kemungkinan ia membuka pintu hati dan mulai menapak lembaran baru dalam cinta. Ia tak ingin menafikan diri taip kali getar cinta datang dalam kalbu. Ia hanya ingin lebih mematangkan diri sebelum benar-benar memilih seseorang sebagai kekasih sekaligus pendamping hi ....
NB: Cerita selengkapnya bisa dibaca dalam versi buku atau cetak.