SEBELAS
JIKA Anda ingin bepergian ke Jawa Timur dari mana saja dan sudah tiba di terminal Kertonegoro, sempatkan sekali saja untuk istirahat sejenak—meski sekadar buang penat. Coba lihat ke arah gunung Lawu yang berdiri kokoh. Resapi betapa hawa dingin senantiasa sejukkan jiwa. Bila Anda menatap lebih jauh ke dataran tinggi di antara bentang langit, panorama itu tentu akan memesona penglihatan Anda.
Di sela waktu, barangkali Anda bisa menyempatkan diri untuk menapaki lereng atau lembah-lembah yang masih dipenuhi rumput hijau. Bila hiruk pikuk kota menyisihkan penglihatan dan pendengaran dari suara alam, cobalah untuk bermalam di perkampungan yang masih terjaga dari dampak modernitas. Sebuah kampung yang masih dihuni oleh orang-orang yang belum terkontaminasi hegemoni. Bahkan bisa jadi pola pikir yang ada masih jauh tertinggal sepuluh kali lipat dari penduduk kota. Bahkan Anda mungkin akan beranggapan bahwa orang-orang kampung ini sangatlah lugu—walaupun tidak sepenuhnya benar demikian.
Mungkin Anda akan dibuat heran dengan sikap ataupun perlakuan yang diberikan oleh tiap warga yang dijumpai sepanjang jalan. Terlebih bila Anda berkenan mampir, sudah pasti diperlakukan bak raja yang dihormati dan disegani. Keramahan dan kesahajaan masih begitu kuat melekat. Meski ala kadarnya, Anda pasti dijamu sebegitu rupa. Tak perlu takut lapar atau haus, karena tiap waktu Anda pasti akan ditawari makan dan minum walaupun baru saja selesai makan. Ini bukan basa-basi, hasil panen sangat banyak tersimpan dalam lumbung.
Bukan untuk membandingkan, namun sikap sederhana semacam ini bisa jadi jarang Anda jumpai di kota. Entah mengapa kadang terlintas di benak, mengapa orang kota cenderung oportunisme, individualis, bahkan terkesan angkuh. Entah mengapa bisa demikian?
Di lain sisi, ada hal-hal yang cukup menyayat hati dari kehidupan orang kampung atau desa. Sumber penghasilan utama adalah dari sawah, ladang atau kebun. Jika hasil panen melimpah, di situlah pundi-pundi keuangan bertambah, tapi jika ludes diserang hama atau terkena dampak bencana, kerugian jelas terpampang di depan mata. Sekuat tenaga mereka mengolah lahan agar mendapat penghasilan demi kesejahteraan hidup. Siang—malam dicurahkan untuk menggarap lahan. Biaya dikucurkan untuk beli pupuk dan lain sebagainya sekadar untuk membasmi hama. Terkadang memang ada keluhan oleh permainan oknum-oknum tertentu. Harga pupuk dinaikkan sedemikian rupa sehingga nyaris tak terjangkau oleh para petani. Setelah masa panen tiba, harga gabah ataupun hasil bumi lain turun drastis—bahkan tak sebanding dengan modal yang dikeluarkan ketika masa tanam. Jika sudah begitu, petani bisa apa? Mentok hanya menggerutu.
Kebutuhan hidup yang terus menanjak membuat kepala makin pusing, belum lagi jika ada ‘sumbangan’ manten atau yang lainnya, membuat tekanan hidup semakin berat. Faktanya, sumbangan manten atau yang lain nyaris ada tiap hari. Sebagian ada yang menyumbang dengan uang, sebagian yang lain menyumbang dengan bahan pokok; seperti beras, kelapa, mi, minyak goreng, dan lain sebagainya. Semua memang ada sisi lebih dan kurangnya. Di kota, perputaran uang memang jauh lebih mudah ketimbang di desa. Sebaliknya di desa, perputaran uang selain kecil juga tak seperti di kota. Jika di desa tidak terlalu sulit cari bahan dasar makanan—bahkan tinggal petik atau memanen di lahan sendiri—sebaliknya di kota yang semua harus beli.
Sudahlah! Lupakan perbedaan itu. Mari menikmati sisi lainnya saja. Menikmati hal-hal lain yang begitu indah didengar, dilihat dan dirasakan.
Percayalah bahwa perlakuan istimewa semacam ini hanya Anda rasakan saat berkunjung ke desa. Bahkan Anda akan dimanjakan lazimnya seorang raja atau presiden.
Syukur-syukur jika Anda berkenan bermalam di sana. Selepas salat Isya, Anda mungkin tidak akan mendengar ingar-bingar seperti di kota. Sunyi dan hanya kerik jangkrik atau kicau burung malam yang terdengar jelas menyusuri malam. Malam akan terasa sangat panjang, begitu pula dengan waktu di siang hari. Secara hitungan memang masih sama yakni 24 jam, tapi di desa perputaran waktu terasa mulur.
Kurang lebih demikian itulah kehidupan di desa.
Singgahlah sejanak di desa Kedungwangi, Kawan! Ya, di desa itulah aku dilahirkan dari rahim ibuku. Di desa itu pula aku mengenal dunia. Berawal dari desa itu pula aku mulai menulis kisah tentang perjalanan hidupku. Di desa itu pula aku dididik agar tumbuh menjadi manusia berguna. Manusia yang bisa diharapkan dan diandalkan. Berawal dari desa itu pula, segala getir dan pahit kutelan hingga merasuk serta mengalir dalam darahku.
Barangkali oleh karena dilahirkan di daerah pegunungan, maka sangat wajar jika aku menyukai nuansa asri, lengang dan damai. Meski demikian, sekuat apa pun tubuhku, kadang tak mampu melawan cuaca ekstrem. Jika musim hujan tiba, hawa dingin begitu akut hingga menusuk ke tulang. Persendian terasa ngilu. Sebaliknya, saat kemarau tiba, tanah terasa keras bahkan bisa menyayat telapak kaki. Saat pancaroba, angin besar sering kali membuat waswas. Langit tampak gelap dan terasa mencekam.
Dulu, saat umurku sekitar tujuh tahun, hari-hari terasa mengasyikkan. Aku dan beberapa teman sepermainan lebih suka menghabiskan hari demi hari dengan penuh sukacita. Selepas sekolah dan belajar, biasanya kami berkumpul di suatu tempat untuk bermain di antaranya: perang-perangan, dam-daman, gobak sodor, egrang, betengan, petak umpat, congklak, sepak bola, kasti, dan aneka permainan tradisional lainnya.
Terkadang dalam permainan perang-perangan tersebut, aku memerankan sebagai tokoh atau pahlawan, bahkan sebagai musuh. Meski senjata yang kami gunakan hanyalah sebatang kayu atau pelepah pisang tanpa amunisi. Supaya meyakinkan, maka kami membuat desing dari mulut kami masing-masing, “Dor ... dor ... dor! Kena kau.” Bagi yang terkena tembakan sontak pura-pura terkapar di atas tanah. Dari permainan ini, aku selalu berpikir tentang sebuah ajaran hidup yang harus bijak terhadap kemenangan dan juga kekalahan secara ikhlas. Selain itu, permainan ini juga mengajarkan tentang sebuah proses perjuangan sekaligus memainkan strategi agar terhindar dari marabahaya atau serangan-serangan tak terduga. Hal inilah yang lantas membuatku bercita-cita sebagai angkatan perang. Aku ingin menegakkan kebenaran di muka bumi. Aku ingin menumpas bandit-bandit yang semena-mena merampas hak orang lemah. Terlintas di benakku tentang film-film heroik atau berita tentang penangkapan penjahat. Lewat layar televisi hitam putih dengan kotak dari tripleks itulah aku mendapat tontonan. Kadang jika daya aki hampir habis, selain tidak menyala sempurna, tampak layar bergerak-gerak tak beraturan. Untuk menghemat daya, televisi menyala jika ada acara berita atau hiburan tertentu saja, selebihnya televisi tidak dinyalakan. Kala itu belum ada banyak tayangan ataupun saluran—hanya saluran televisi nasional.
Keceriaan inilah yang membuat hari demi hari kami tak membosankan. “Nanti kalau kamu sudah besar mau jadi apa, Rus?” tanya Mahfur.
“Aku mau jadi ABRI,” jawabku.
“Kalau kamu?”
“Aku ingin jadi pilot.”
Begitulah sekilas masa kecilku. Masa yang masih jauh dari hedonisme. Sebuah masa yang jauh beda jika dibandingkan dengan era anak-anak zaman sekarang. Rata-rata anak-anak zaman sekarang sudah mengenal play station, game center, internet, handphone, dan semua-mua yang berbau kecanggihan teknologi maupun multimedia lainnya. Jika melihat perkembangan zaman sekarang, kurasa segala permainan masa kecil dulu hilang tanpa bekas. Kenyataan ini pula yang membuatku merasa rindu dan ingin mengulangnya. Mengulang kejar-kejaran dengan teman-teman saat hujan turun. Mencari buah-buahan yang jatuh di kebun tetangga karena embus angin kencang. Setelah dewasa, aku justru berpikir, “Sudahkah kumanfaatkan secara baik sebelum tiba mas ....
NB: Cerita selengkapnya bisa dibaca dalam versi buku atau cetak.