LIRIS SUARA TERKECIL | MEMBURU WAKTU
LIRIS SUARA TERKECIL
MENDENGAR denting terkecil dalam diri
mendengar suara terlirih, bahkan telinga jasad tiada mampu mendengar
Jauh, jauh, dan paling jauh di dasar bumi kedirian
meredam gelegar suara langit yang terus berkilat
cahaya-cahaya mencekam. Rasa sepi duduk melingkar
sembari bersulang tetes demi tetes air mata
dalam musyawarah cinta dan kerinduan
Aku mengakar dalam tatapan iba ke arah langit
yang semakin tinggi untuk kuraih
dengan kedua tanganku yang bergetar.
MEMBURU WAKTU
SERING KALI kita saling berlarian, mengejar waktu,
atau bahkan waktu yang memburu jejak langkah kita
langkah-langkah gontai dari muara-muara rasa terpendam dalam diri,
semua mengikis segala yang tertahan di dada
Mungkin tak perlu banyak tahu tentang apa
yang tersembunyi, kita sembunyikan di sela-sela waktu
kita mengurai gemuruh di hati dalam libreto
yang kita librasikan dalam harmoni kesunyian
Kita memutar ulang lagu kesunyian nan hening
lewat gramofon atas gubahan dari masa lampau
menuju sebuah masa dalam kenang
Sesekali lengking suara itu menaiki oktaf sedemikian tinggi dan rumit,
hingga getar suara tak sanggup menggapainya
dengan suara serak kita berdendang mengeja partitur
sebagai pengantar tidur, namun belum juga kantuk merayap
dan mimpi enggan menjangkit
Imaji kembali merasuk dalam ruang nostalgia,
mengaduk rasa yang masih tertahan di jiwa
Kita terus berpeluk erat seperti malam dengan kesunyian,
kita adalah satu dalam rasa perasaan yang sama
Entah butuh waktu berapa lama lagi kita mengurai kisah,
di antara rindu-rindu tertunda dan menggebu,
padahal bulan telah meredup dan hampir tertidur
dalam pangkuan semesta
Akhirnya kamu pun menyerah di bahuku,
dalam dekap hangatku setelah kebengisan sunyi malam
menikam bola matamu dengan belati mimpi
kamu pun terluka bersimbah mimpi di hamparan pelukku
sampai pagi pulihkan segala kesadaranmu
yang semula terjangkit rasa sakit tak terkira.
Puisi ini telah dipublikasikan di THE ATJEH POST (16/09/2013)
MENDENGAR denting terkecil dalam diri
mendengar suara terlirih, bahkan telinga jasad tiada mampu mendengar
Jauh, jauh, dan paling jauh di dasar bumi kedirian
meredam gelegar suara langit yang terus berkilat
cahaya-cahaya mencekam. Rasa sepi duduk melingkar
sembari bersulang tetes demi tetes air mata
dalam musyawarah cinta dan kerinduan
Aku mengakar dalam tatapan iba ke arah langit
yang semakin tinggi untuk kuraih
dengan kedua tanganku yang bergetar.
Yogyakarta, 05 April 2013
MEMBURU WAKTU
SERING KALI kita saling berlarian, mengejar waktu,
atau bahkan waktu yang memburu jejak langkah kita
langkah-langkah gontai dari muara-muara rasa terpendam dalam diri,
semua mengikis segala yang tertahan di dada
Mungkin tak perlu banyak tahu tentang apa
yang tersembunyi, kita sembunyikan di sela-sela waktu
kita mengurai gemuruh di hati dalam libreto
yang kita librasikan dalam harmoni kesunyian
Kita memutar ulang lagu kesunyian nan hening
lewat gramofon atas gubahan dari masa lampau
menuju sebuah masa dalam kenang
Sesekali lengking suara itu menaiki oktaf sedemikian tinggi dan rumit,
hingga getar suara tak sanggup menggapainya
dengan suara serak kita berdendang mengeja partitur
sebagai pengantar tidur, namun belum juga kantuk merayap
dan mimpi enggan menjangkit
Imaji kembali merasuk dalam ruang nostalgia,
mengaduk rasa yang masih tertahan di jiwa
Kita terus berpeluk erat seperti malam dengan kesunyian,
kita adalah satu dalam rasa perasaan yang sama
Entah butuh waktu berapa lama lagi kita mengurai kisah,
di antara rindu-rindu tertunda dan menggebu,
padahal bulan telah meredup dan hampir tertidur
dalam pangkuan semesta
Akhirnya kamu pun menyerah di bahuku,
dalam dekap hangatku setelah kebengisan sunyi malam
menikam bola matamu dengan belati mimpi
kamu pun terluka bersimbah mimpi di hamparan pelukku
sampai pagi pulihkan segala kesadaranmu
yang semula terjangkit rasa sakit tak terkira.
Yogyakarta,13 Mei 2013
Puisi ini telah dipublikasikan di THE ATJEH POST (16/09/2013)