DIAM ADALAH KEMATIAN TAK BERKESUDAHAN | LELAKI DALAM KESENDIRIAN | BAHTERA - Anam Khoirul Anam Official -->

DIAM ADALAH KEMATIAN TAK BERKESUDAHAN | LELAKI DALAM KESENDIRIAN | BAHTERA

DIAM ADALAH KEMATIAN TAK BERKESUDAHAN
DIAM adalah kematian tak berkesudahan. Ia terus berjalan di rimba hutan. Penuh hantu-hantu dan duri-duri tajam. Ia memekik penuh kengerian. Sorot matanya merah menyala, tajam dan beringas.

Diam adalah kematian tanpa ada awal bahkan khatam. Ia mengalir bukan sebagai air. Ia menusuk bukan sebagai benda tajam. Ia mampu menghujam sepi bahkan dalam gelak. Ia mampu tumpahkan air mata tanpa bisa menyeka.

Diam adalah kematian tanpa melepas roh dari jasad. Ia bersenyawa tanpa rupa. Ia bukan cuaca namun menyisakan dampak. Ia bukan musim yang menggugurkan atau menumbuhkan.

Diam adalah kematian tanpa kata kasihan. Ia bukan badai namun memorak-poranda segala benda. Apa yang berdiri tegar, luruh dalam kepasrahan. Ia berjalan dengan bekas mendalam.

Diam adalah kematian dalam rasa cemburu. Ia bukan benda namun begitu padat menyumpal rongga-rongga rasa dan juga ruang di dada. Ia bukan benih api namun bisa padam dan menyala kapan saja.

Diam adalah antara dirimu dan diriku dalam kematian tak berkesudahan.
Yogyakarta, 03 Februari 2015

LELAKI DALAM KESENDIRIAN
SEBAGAIMANA engkau menepis angin, itulah rindu yang kuterima darimu. Kuat atau lembut sama-sama gagal kutepis. Ia menyusup lewat pori, lantas menjelma kabut di antara ngarai kesendirian. Ia berjalan lamban di antara bebatuan hingga lahir madah kutukan bagi lembah-lembah sunyi. Rumput merumpun, menghimpun sinergi bersusun. Demikian itulah rasa perasaanku padamu.

Aku bukan Daud bersuara merdu juga melunakkan besi. Bila rindu begitu menggebu-gebu, rasa malu begitu kuat pupuskan luap itu untukmu. Rasa itu bak putri malu bila engkau sentuh. Aku tiada daya dan tak berdaya. Hanya menepi meratapi diri sebagai pengecut yang telah mencintaimu.

Aku bukanlah Yusuf berparas tampan. Tentu saja bukan pesona lahir dan rohani yang membuatku menjadi pecundang atas kata-kata cinta, namun kesepian dan kesendirian memaksaku untuk mencari pasangan. Bukan soal lahir dalam kesendirian dan mati dalam kesendirian, namun jiwaku butuh isi. Jiwaku butuh belaian, sentuhan magis dari rasa cintamu agar kukenal ragam rasa itu benar-benar ada di dada. Bila tanpa lawan sebagai pasangan, apalah arti cinta? Mungkin aku mampu bertahan sendiri, namun pemberontakan akan terjadi dan meruntuhkan segala kedirian dalam diriku sendiri.

Lebih tepat, aku adalah lelaki yang berjalan sendirian di kegelapan. Aku mencarimu untuk hidup bersama sebagai cahaya. Cahaya untukmu dan cahaya untukku agar terus berjalan bersama menuju masa-masa mendatang.
Yogyakarta, 04 Februari 2015

BAHTERA
BAHTERA Nuh hanya diisi oleh jiwa-jiwa percaya
bila tiada percaya, tentu akan tewas tenggelam bersama Kan’an
tentu dasar kebenaran yang mengangkat kesadaran akal
kebenaran itulah yang membawa jiwa-jiwa dalam keselamatan

Tanpa keyakinan, batang kayu takkan menjadi perahu
tanpa keyakinan, dahan takkan menjadi dayung
tanpa keyakinan, 80 jiwa takkan sampai ke Araat
tanpa keyakinan, bumi hanyalah hamparan fosil

Lantas jiwa-jiwa ingkar hanya mengendon dalam fana
apakah jiwa-jiwa itu abadi? bahagia dalam fana adalah ilusi
ilusi tak pernah abadi dan mudah terganti dalam sekejap
mata yang mengerjap, terjaga di antara muslihat dan percaya
Yogyakarta, 05 Februari 2015

Puisi ini telah dipublikasikan di PIKIRAN RAKYAT (17/05/2015)


Berlangganan update artikel terbaru via email:




Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1


Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel