HIKAYAT MUSAFIR | BALADA MUSA | DI TITIK NADIR | TIDAK DI TEMPAT LAIN | MENGENANG CINTA | SAJAK 9 KATA, 3 LARIK, 3 BAIT | BUNGA MAWAR
HIKAYAT MUSAFIR
SEORANG musafir tua berjalan tertatih di depan rumah Tuhan
sejenak ia berdiri mematung di emper dengan wajah datar
tatap matanya sayu, tertuju ke arah mimbar para pengkhotbah
“Sering kali kudengar kebenaran mengalir deras dari mimbar itu,
namun kabut ragu kaburkan segala pendengaran serta pandangan kalbuku
entah karena lumpur dosa, atau perihal lain selain dosa?”
Ia menjejak dengan kaki gemetar, luruh dalam pasrah jiwa
di antara sujud, gemuruh menyesak dada bersama linang airmata
tak ada embus napas. Roh berhijrah setelah lama singgah
BALADA MUSA
DI tangan Firaun, batang kayu takkan menjadi seekor ular
jiwa-jiwa Firaun hanya ingin batang emas dan beragam perhiasan
batang kayu hanyalah muslihat para penyihir untuk kesenangan Firaun
Bagi jiwa-jiwa Musa, sihir dan mukjizat tentu sangat berbeda
sihir adalah tipuan semata, sedangkan mukjizat adalah hakikat kebenaran
para penyihir tak berdaya karena lumpuh akal dan jiwanya
Bukankah dengan mukjizat, tongkat Musa mampu membelah Laut Merah?
masih adakah ketakpercayaan atas tenggelamnya pasukan Firaun di sana?
bagi jiwa-jiwa Firaun, batang kayu bukanlah mukjizat melainkan dusta.
DI TITIK NADIR
RASA sakit itu bukan karena hantaman benda dari luar
pesakitan itu lahir dari semesta pikiran lalu keruhkan hati
lantas, bagaimana penglihatan jiwa sedemikian awas bila segala memburam?
Oh, betapa kegelapan telah memicu gerak asal langkah kaki
bila kosong meraja, mata membuta, dalam penglihatan hanya gulita
arah tak lagi ada, roboh diri terasa begitu nyata
Tajam atau tumpul, tentu, bagi penglihatan buta adalah sama
gelap dunia takkan tampakkan beragam warna ruang selain hitam
kegelapan hanya memberi rasa takut, ketidaksadaran, serta mara bahaya
TIDAK DI TEMPAT LAIN
AKU mencarimu di tiap waktu, tak kutemukan selain pergantian
tiap kali kucari dalam tanya, buntu kudapat sebagai jawaban
ia tak juga kutemukan dalam gerak kasat jasadi ini
Telah kucari hingga di ketinggian, tak juga menemu jawaban
bahkan ke segala arah kujejak, tak juga menemu jawab
selalu kosong kudapat dari tiap tanya atas keberadaan itu
Rupanya pencarianku masih sebatas kulit, bahkan paling luar saja
hakikat hanya dapat ditembus dengan makrifat, atau secara sebaliknya
pencarian jasadi hanya akan berakhir pada batas lelah raga
MENGENANG CINTA
KAU tahu, tak ada kepedihan begitu mendalam selain mengenang
cinta yang telah pergi. Ia begitu getir, begitu satire
bagai daun gugur ketika embus angin mengantar kabar kematian
Begitulah seluruh rasa jiwaku turut luruh bersama tabuh genderang
bagaimana kaki berjalan bila hati dirundung pilu tak berkesudahan?
lihatlah linang airmataku ini! Ia lebih deras dari gerimis
Tak usah menabur bunga bila kenang semakin luapkan rasa
biarlah apa yang bertahan di dada membaja sepanjang masa
kau hanya perlu tahu bahwa mengenang cinta teramat sakit.
SAJAK 9 KATA, 3 LARIK, 3 BAIT
IA lahir dari beragam luap rasa lalu mewujud kata
mengalir lembut dalam pikiran lalu luruh ke lubuk jiwa
sinergi kenyataan dan keindahan rasa imaji dalam madah menawan
Ia lahir atas perenungan mendalam dari titik nadir semesta
bukan sekadar susunan abjad tak bermakna namun petualangan rohani
mengurai segala kemelut agar lurus berjalan menuju hakikat Ilahi
Ia lahir dari cahaya nurani dan ketejaman logika insani
agar tercerah segala gelap sisi-sisi dunia dari ragam nista
ia adalah sajak 9 kata, 3 larik, 3 bait.
BUNGA MAWAR
BILA kau tak ingin tertusuk duri dari bunga mawar
usahlah mencium aroma wangi yang bertebaran di hamparan udara
kau akan lemah terkapar karena racun dan kehabisan darah
Duri hanya melunak bagi hati yang dipenuhi cinta kasih
ia adalah simbol kebahagiaan dan kesedihan bagi sepasang kekasih
aroma wangi adalah kebahagiaan, sedangkan duri adalah pedih perpisahan
Biarlah sunyi mengilhami kosong pikiran untuk menuang isi hati
bila embus datang membawa pesan, kutitipkan bait puisi untukmu
tiap tetes tinta, ada liris rindu dari palung jiwaku
Sajak ini telah dipublikasikan di MEDIA INDONESIA (07/06/2015)
SEORANG musafir tua berjalan tertatih di depan rumah Tuhan
sejenak ia berdiri mematung di emper dengan wajah datar
tatap matanya sayu, tertuju ke arah mimbar para pengkhotbah
“Sering kali kudengar kebenaran mengalir deras dari mimbar itu,
namun kabut ragu kaburkan segala pendengaran serta pandangan kalbuku
entah karena lumpur dosa, atau perihal lain selain dosa?”
Ia menjejak dengan kaki gemetar, luruh dalam pasrah jiwa
di antara sujud, gemuruh menyesak dada bersama linang airmata
tak ada embus napas. Roh berhijrah setelah lama singgah
Yogyakarta, 01 Juni 2015
DI tangan Firaun, batang kayu takkan menjadi seekor ular
jiwa-jiwa Firaun hanya ingin batang emas dan beragam perhiasan
batang kayu hanyalah muslihat para penyihir untuk kesenangan Firaun
Bagi jiwa-jiwa Musa, sihir dan mukjizat tentu sangat berbeda
sihir adalah tipuan semata, sedangkan mukjizat adalah hakikat kebenaran
para penyihir tak berdaya karena lumpuh akal dan jiwanya
Bukankah dengan mukjizat, tongkat Musa mampu membelah Laut Merah?
masih adakah ketakpercayaan atas tenggelamnya pasukan Firaun di sana?
bagi jiwa-jiwa Firaun, batang kayu bukanlah mukjizat melainkan dusta.
Yogyakarta, 25 Mei 2015
RASA sakit itu bukan karena hantaman benda dari luar
pesakitan itu lahir dari semesta pikiran lalu keruhkan hati
lantas, bagaimana penglihatan jiwa sedemikian awas bila segala memburam?
Oh, betapa kegelapan telah memicu gerak asal langkah kaki
bila kosong meraja, mata membuta, dalam penglihatan hanya gulita
arah tak lagi ada, roboh diri terasa begitu nyata
Tajam atau tumpul, tentu, bagi penglihatan buta adalah sama
gelap dunia takkan tampakkan beragam warna ruang selain hitam
kegelapan hanya memberi rasa takut, ketidaksadaran, serta mara bahaya
Yogyakarta, 01 Juni 2015
AKU mencarimu di tiap waktu, tak kutemukan selain pergantian
tiap kali kucari dalam tanya, buntu kudapat sebagai jawaban
ia tak juga kutemukan dalam gerak kasat jasadi ini
Telah kucari hingga di ketinggian, tak juga menemu jawaban
bahkan ke segala arah kujejak, tak juga menemu jawab
selalu kosong kudapat dari tiap tanya atas keberadaan itu
Rupanya pencarianku masih sebatas kulit, bahkan paling luar saja
hakikat hanya dapat ditembus dengan makrifat, atau secara sebaliknya
pencarian jasadi hanya akan berakhir pada batas lelah raga
Yogyakarta, 01 Juni 2015
KAU tahu, tak ada kepedihan begitu mendalam selain mengenang
cinta yang telah pergi. Ia begitu getir, begitu satire
bagai daun gugur ketika embus angin mengantar kabar kematian
Begitulah seluruh rasa jiwaku turut luruh bersama tabuh genderang
bagaimana kaki berjalan bila hati dirundung pilu tak berkesudahan?
lihatlah linang airmataku ini! Ia lebih deras dari gerimis
Tak usah menabur bunga bila kenang semakin luapkan rasa
biarlah apa yang bertahan di dada membaja sepanjang masa
kau hanya perlu tahu bahwa mengenang cinta teramat sakit.
Yogyakarta, 24 Mei 2015
IA lahir dari beragam luap rasa lalu mewujud kata
mengalir lembut dalam pikiran lalu luruh ke lubuk jiwa
sinergi kenyataan dan keindahan rasa imaji dalam madah menawan
Ia lahir atas perenungan mendalam dari titik nadir semesta
bukan sekadar susunan abjad tak bermakna namun petualangan rohani
mengurai segala kemelut agar lurus berjalan menuju hakikat Ilahi
Ia lahir dari cahaya nurani dan ketejaman logika insani
agar tercerah segala gelap sisi-sisi dunia dari ragam nista
ia adalah sajak 9 kata, 3 larik, 3 bait.
Yogyakarta, 25 Mei 2015
BILA kau tak ingin tertusuk duri dari bunga mawar
usahlah mencium aroma wangi yang bertebaran di hamparan udara
kau akan lemah terkapar karena racun dan kehabisan darah
Duri hanya melunak bagi hati yang dipenuhi cinta kasih
ia adalah simbol kebahagiaan dan kesedihan bagi sepasang kekasih
aroma wangi adalah kebahagiaan, sedangkan duri adalah pedih perpisahan
Biarlah sunyi mengilhami kosong pikiran untuk menuang isi hati
bila embus datang membawa pesan, kutitipkan bait puisi untukmu
tiap tetes tinta, ada liris rindu dari palung jiwaku
Yogyakarta, 24 Mei 2015
Sajak ini telah dipublikasikan di MEDIA INDONESIA (07/06/2015)