MASA TUA
BAGAIMANA rasanya jika masa tua harus hidup sendiri? Padahal, anak, menantu, cucu, dan sanak saudara masih lengkap serta tinggal di sekitarnya. Bagaimana rasanya jika masa tua harus melakukan segala sesuatu secara sendirian? Padahal, hampir semua keluarga hidup di sekelilingnya bahkan memiliki cukup waktu untuk sekadar membantu urusan dapur, mencuci, atau membelikan obat sakit kepala ke warung terdekat. Namun, kenyataan tak demikian. Sekalipun dikelilingi keluarga dan ada salah satu kerabat membantu, hal itu karena rasa terpaksa. Sungguh, betapa nelangsa jika masa tua harus demikian adanya. Apakah itu rekayasa? Tidak! Tidak, Kawan! Perempuan tua itu benar-benar mengalami nasib menyedihkan semacam itu di masa tuanya. Walau dekat dengan keluarga, tapi ia justru menjalani hidup sendirian dan bagai hidup sendiri. Kesendirian yang benar-benar nyata setelah suaminya meninggal dunia.
Dulu, bu Saptini—begitulah para warga memanggilnya. Nama lengkapnya adalah Widyawati Saptiningtiyas—adalah orang yang sangat kaya raya, disegani dan sangat terpandang di kampung. Bahkan para Pejabat Desa pun merasa segan padanya. Di masa kejayaan, banyak orang merasa terbantu, terutama secara materi. Setidaknya, berkat bantuan dari bu Saptini, desa tersebut tidak mengalami kesulitan jika butuh dana, termasuk dana besar sekalipun. Bu Saptini memang suka menolong serta memberi bantuan, bantuan untuk perorangan maupun bantuan ke desa. Tak heran ketika mengadakan resepsi pernikahan anaknya, ia menggelar acara budaya selama seminggu penuh. Dari pertunjukan wayang, jatilan, sampai hiburan musik. Semua digelar semalam suntuk.
Itu dulu. Dulu semasa ia kaya dan jaya.
Setelah ia ditangkap dan dipenjara atas kasus pemalsuan serta menghilangkan sertifikat tanah, semua berubah total. Satu demi satu, kelurga menjauhinya. Warga kampung yang dulu memperlakukan dirinya dengan sangat terhormat, kini hanya bertegur sapa sekadarnya. Semua tak seperti dulu, semua benar-benar berubah setelah ia jatuh miskin. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Setelah bebas dari penjara, ledakan tagihan dari sana-sini makin menjadi-jadi. Mau tak mau seluruh aset yang dulu dibanggakan harus berpindah tangan untuk menutupi utang atau tagihan-tagihan yang tiap hari datang silih berganti. Tiap hari ada saja orang datang mencari; dari menanyakan sertifikat yang tidak ada kejelasan, menagih utang, bahkan ada yang datang ingin membunuhmya. Masa tua yang seharusnya sudah hidup tenang, berkumpul dengan anak cucu serta keluarga besar, justru dihabiskan untuk kejar-kejaran dengan para penagih. Harus kucing-kucingan dengan banyak orang agar selamat dari bahaya yang sewaktu-waktu datang menimpa. Berusaha keras menghindari ancaman-ancaman dari siapa pun, termasuk Depkolektor. Pernah suatu hari ia bertengkar hebat, lebih tepatnya beradu mulut, dengan salah seorang penagih. Sepenuh keberanian dan suara tinggi ia berkata, “Saya tidak takut. Bahkan jika Anda ingin mengajak saya bertarung pun, saya berani. Ayo! Ayo kalau berani! Saya akan lawan Anda. Akan saya layani walaupun harus bersimbah darah.”
Baca Juga
Ya. Walau sudah tua, ia tak takut pada siapa pun yang ingin menantangnya; meski hanya sendiri dan seorang wanita.
Dampak dari semua itu adalah rumah sering kosong. Berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan ia tak ada di rumah. Kalaupun harus di rumah, ia harus benar-benar memastikan semua aman. Mematikan ponsel dan menutup pintu rapat-rapat jika ada di rumah. Kadang untuk menyelamatkan diri, ia pulang larut malam. Berhenti sejenak di seberang jalan guna memastikan bahwa tidak ada seorang pun menunggu di depan rumah. Apabila sudah dalam kondisi terdesak maka secara terpaksa ia berbohong sedang berada di luar rumah, padahal saat itu berada di dalam rumah. Begitu seterusnya ia menjalani hidup. Begitulah caranya menyelamatkan diri dan sembunyi.
***
“YA, seperti inilah kondisi rumah saya.” ucapnya ketika ada salah seorang datang ingin mengontrak rumah. “Maklum, saya jarang ada di rumah dan rumah ini tidak ditempati, jadi tampak tak terawat.” imbuhnya.
Setelah melakukan negosiasi harga dan kesepakatan lain terkait kontrakan, akhirnya orang tersebut berminat mengontrak rumah yang terletak bersebelahan dengan rumahnya. Setelah rumah tersebut di tempati atau dikontrak, tentu saja tampak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Dan rumah tersebut baru sekali itu dikontrakkan. Dulu begitu sepi tak berpenghuni. Setidaknya, dengan adanya orang yang mengontrak rumah, ada seseorang yang bisa diminta bantuan untuk mengangkat jemuran, mengantarkan pergi ke suatu tempat, atau sekadar membelikan obat meriang. Padahal bisa saja ia minta tolong pada anak, menantu, atau keluarga lain, tapi ia tak melakukan itu. Ia justru merasa lebih baik minta bantuan orang lain daripada keluarga sendiri.
“Saya melakoni pekerjaan seperti ini sudah bertahun-tahun. Dan saya menjalani hidup seperti ini juga sudah cukup lama, bahkan sebelum suami saya meninggal. Banyak hal yang harus saya hadapi. Dari risiko ringan sampai ingin dibunuh orang pun sering saya hadapi. Jadi, semisal ada orang yang mencari saya, katakan saja: Tidak tahu. Itu urusan pribadi saya, jadi tidak perlu ditanggapi dan tak perlu diladeni.” tuturnya sewaktu datang bertamu ke kontrakan.
“Kalaupun saya harus ganti pekerjaan, apa pekerjaan itu? Saya sudah sering gonta-ganti pekerjaan, tapi bagi saya, pekerjaan ini yang masih mampu dilakukan. Dagang? Adik saya sudah berdagang. Tokonya saja ada di samping rumah ini. Sedangkan kamu tahu sendiri, saudara saya itu tidak suka kalau disaingi. Saya tidak ingin cari masalah dengan keluarga sendiri. Menjadi petani? Tenaga saya tidak kuat jika harus ke sawah. Dulu pernah iseng menanam padi, ujung-ujungnya saya diopname seminggu di rumah sakit. Maka dari itu saya memutuskan untuk tetap berprofesi seperti ini, walau harus berhadapan dengan maut,” ucapnya menjawab pertanyaan dari Pengontrak.
Suatu hari, ia jatuh sakit. Awalnya hanya mengeluh masuk angin, dan seperti biasa ia hanya cukup minum obat dan dikeroki punggungnya. Biasanya dalam waktu sehari ia sudah sembuh, namun sakit kali ini tak seperti biasa. Ia muntah-muntah tiap beberapa menit. Buang air besar tiap beberapa menit sekali. Begitu seterusnya sampai beberapa hari. Ia tampak kurus dan pucat. Meski demikian tak ada keluarganya yang tahu jika ia sedang sakit. Ia hanya minta tolong pada Pengontrak rumah untuk diantar ke dokter. Setelah periksa, berangsur ia pulih. Setelah kondisinya sehat, ia kembali melakukan aktivitas kerja seperti biasa. Namun lagi-lagi, tubuh ringkihnya meminta hak. Istirahat yang tidak cukup, makan tak teratur, terlebih masa tidur yang kurang dan tak teratur memaksa ia harus dibawa ke rumah sakit. Pemandangan berbeda terjadi, sudah jelas-jelas ia jatuh sakit, tak seorang pun dari pihak keluarga datang menjenguknya. Jangankan menjenguk, mengetahui kabar jatuh sakit saja tidak tahu. Justru yang datang menolong adalah Pengontrak rumah dan beberapa teman yang berhasil dihubungi. Anak dan cucunya tak tampak datang. Adiknya yang hanya tinggal di bagian belakang rumah juga tak tampak datang. Ini sungguh merupakan pemandangan yang benar-benar ironis. Sangat memprihatinkan.
Satu tahun berjalan begitu cepat. Pengontrak rumah memutuskan untuk tidak memperpanjang masa kontrakan. Tak ada alasan cukup kuat mengapa harus pindah rumah. Mau tak mau, rumah itu harus kembali dihuni sepi. Entah esok mau dikontrakkan lagi atau tidak. Diwariskan atau justru akan dijual. Entahlah?

Kini, ia harus kembali menyelesaikan pekerjaan rumah sendiri. Sewaktu masih ada Pengontrak rumah, setidaknya ada yang membantu membersihkan kamar mandi. Mengangkat jemuran jika ia pergi jauh dan tak pasti jam berapa akan pulang. Membersihkan kamar, mencari tikus mati di dalam lemari, membersihkan ruang tamu atau sesekali waktu mencabut rumput di halaman rumah. Selebihnya meminta tolong melakukan sesuatu jika ia sedang ada keperluan.
***
PAGI itu, desa Timbulharjo mendadak geger. Mayat perempuan ditemukan telah membusuk di dalam kamarnya. Tubuhnya sudah dikerumini banyak belatung. Sebagian kulit tubuhnya sudah mengelupas. Menurut keterangan salah satu warga yang menemukan kali pertama menjelaskan bahwa sehari sebelum mayat ditemukan, tercium bau busuk sangat menyengat.
“Pagi itu saya hendak ke sungai. Saya selalu mencium bau tak sedap tiap kali melintas di depan rumah ini. Didorong rasa penasaran, saya mencoba mencari sumber bau tersebut. Pikir saya, siapa tahu ada tikus atau binatang lain yang mati di sekitar sini. Namun saya tak menemukan ada binatang mati di daerah sini. Akhirnya saya mengetahui sumber bau tersebut setelah berada di emper rumah ini. Awalnya saya ketuk pintu rumah, namun tidak ada sahutan. Berulang kali saya ketuk dan memanggil pemilik rumah tidak ada sahutan sama sekali, hingga akhirnya warga satu per satu berdatangan. Setelah pintu berhasil dibuka, baru diketahui bahwa ada mayat yang sudah membusuk di dalam rumah.” Begitulah kesaksian salah seorang warga atas peristiwa tersebut.
Saksi lain menambahkan bahwa beberapa hari sebelum ditemukan tewas, perempuan tua itu memang sudah tak terlihat selama beberapa hari. Biasanya, sekalipun tidak pasti ada di rumah, tetangga dekat akan melihat walau hanya sekelebat di luar atau di dalam rumah, atau mungkin bertegur sapa seperlunya saat perempuan tua tersebut duduk di emper rumah. Tapi tidak untuk beberapa hari sebelum ia ditemukan meninggal dunia.
Ya, bu Saptini telah ditemukan tewas secara mengenaskan di rumahnya sendiri. Tak ada tanda-tanda kekerasan yang mengakibatkan ia meninggal sedemikian tragis. Ia meninggal secara wajar, namun tak seorang pun mengetahui kapan napas terakhir kali meregang dari raganya. Tak ada yang tahu sebab utama mengapa ia meninggal dengan cara semacam itu. Besar kemungkinan bahwa ia sedang sakit parah namun tak seorang pun datang menjenguk serta menolong saat sakaratul maut. Barangkali, jika bau busuk tak menyengat, jasadnya tetap tak berpindah dari tempat tidur. Lebih aneh lagi adalah adiknya yang tinggal di belakang rumah tak mengetahui perihal itu. Ia justru baru mengetahui setelah ada keramaian orang yang ingin melihat jasad bu Saptini untuk terakhir kali.
Setelah dimandikan, dibalut kain kafan, dan disalati, jenazah bu Saptini dikuburkan di pemakaman umum desa.[]
Yogyakarta, 10 Maret 2015
Cerpen ini telah dipublikasikan di SUARA KARYA (28/11/2015)