PRELUDE | NISTAGMUS | WAHAM | DIWAN | MAKULAT
PRELUDE
SEBELUM semua sampai di puncak makna larik puisi ini
ada banyak ragam kisah mengisi laju ruang dan waktu
semua bertutur dengan caranya sendiri agar dimengerti dan dipahami
Suka duka tumbuh jadi satu saban waktu, walau pupus
tak henti mata dan kaki berpijak di bawah matahari
mari bergegas menuju hikmat sukacita sebelum cahaya dilahap niskala!
Oh, terlalu sempit kata mewadahi hakikat dari dalam jiwa
butuh berulang kali menjelaskan agar benderang segala yang samar
teruslah terjaga agar esensi hidup terserap sukma tanpa jeda
NISTAGMUS
ISYARAT apakah ini, hai Kasihku? Ada gerak tak terkendali
secepat cahaya, mata ini ingin segera menatapmu sepenuh hati
apakah ada orang yang sedang bergunjing dari balik tirai?
Ternyata, cinta ini membuat seluruh indraku mendadak amat peka
sering kali aku dijangkiti anomali—rasa tak terkira adanya
bila terngiang suaramu, degup rindu sontak bergemuruh di dada
Benarkah gerak mata ini seruanmu atau kebetulan tak terkendali?
bila ini pesanmu, adakah sesuatu telah menyelinap di hati?
ataukah ini merupakan dampak dari laku cinta secara bertubi-tubi?
WAHAM
SEJAK kau rampas cintaku, aku bagai padi yang ditampi
ke sana kemari menyeru namamu dalam kegilaan penuh rindu
bukankah beras takkan berjumpa lagi dengan sekam setelah terkelupas?
Sejak pedih perpisahan itu, ingatan ini hanya tertuju padamu
sering kali bibir ini melantur di luar kesadaran akal
pikiranku kadang kala salah dan bertentangan dengan dunia nyata
Aku merasa begitu asing dengan diriku sendiri setelah mencintaimu
ah, lebih menakutkan jauh darimu ketimbang mengurus diriku sendiri
sejak kau rampas cintaku, aku bagai padi yang ditampi
DIWAN
MARI bangkitkan hati, lepaskan dukacita yang melilit segala rasa!
keraguan macam apa lagi yang runtuhkan asa dan cita?
tak perlu banyak tanya bila janji datang secara pasti
Musnahkan hantu tak cukup dengan mantra, butuh pula keberanian
kelebat bayang menakutkan hanya hasil halusinasi dalam laju pikiran
tentu, untuk melihat kebenaran butuh cahaya sebagai petunjuk jalan
Entakkan kaki, mari berdansa dalam sukacita, lepaskan beban pikiran
jiwa yang tenang senantiasa dirahmati dan berjalan dalam kebahagiaan
tempatkan kesedihan secara semestinya, di sana pula ada kegembiraan
MAKULAT
LANGIT taram malam ini, segala terasa majal dalam rasa
pudar laksa gemintang dari mata, halimun menyesak ruang jiwa
bayang kelam memanjang, kelambit berpusar di antara pendar cahaya
Mana mungkin jiwa akan mendapat cahaya sebelum mengenal api
bila menghalakan wajah pada gelap, kau hanyalah bias anomali
bukankah akal laun pasti mati jika hanya berdiam diri?
Oh, apakah waktumu hanya akan habis karena diam membatu?
carilah pengetahuan ke segala penjuru agar luas akal budimu
bila hanya terpaku, jangkau ilmu hanya sehasta dari tubuhmu
Sajak ini telah dipublikasikan di SOLOPOS (31/07/2016)
SEBELUM semua sampai di puncak makna larik puisi ini
ada banyak ragam kisah mengisi laju ruang dan waktu
semua bertutur dengan caranya sendiri agar dimengerti dan dipahami
Suka duka tumbuh jadi satu saban waktu, walau pupus
tak henti mata dan kaki berpijak di bawah matahari
mari bergegas menuju hikmat sukacita sebelum cahaya dilahap niskala!
Oh, terlalu sempit kata mewadahi hakikat dari dalam jiwa
butuh berulang kali menjelaskan agar benderang segala yang samar
teruslah terjaga agar esensi hidup terserap sukma tanpa jeda
Yogyakarta, 22 Juli 2016
ISYARAT apakah ini, hai Kasihku? Ada gerak tak terkendali
secepat cahaya, mata ini ingin segera menatapmu sepenuh hati
apakah ada orang yang sedang bergunjing dari balik tirai?
Ternyata, cinta ini membuat seluruh indraku mendadak amat peka
sering kali aku dijangkiti anomali—rasa tak terkira adanya
bila terngiang suaramu, degup rindu sontak bergemuruh di dada
Benarkah gerak mata ini seruanmu atau kebetulan tak terkendali?
bila ini pesanmu, adakah sesuatu telah menyelinap di hati?
ataukah ini merupakan dampak dari laku cinta secara bertubi-tubi?
Yogyakarta, 22 Juli 2016
SEJAK kau rampas cintaku, aku bagai padi yang ditampi
ke sana kemari menyeru namamu dalam kegilaan penuh rindu
bukankah beras takkan berjumpa lagi dengan sekam setelah terkelupas?
Sejak pedih perpisahan itu, ingatan ini hanya tertuju padamu
sering kali bibir ini melantur di luar kesadaran akal
pikiranku kadang kala salah dan bertentangan dengan dunia nyata
Aku merasa begitu asing dengan diriku sendiri setelah mencintaimu
ah, lebih menakutkan jauh darimu ketimbang mengurus diriku sendiri
sejak kau rampas cintaku, aku bagai padi yang ditampi
Yogyakarta, 28 Februari 2016
MARI bangkitkan hati, lepaskan dukacita yang melilit segala rasa!
keraguan macam apa lagi yang runtuhkan asa dan cita?
tak perlu banyak tanya bila janji datang secara pasti
Musnahkan hantu tak cukup dengan mantra, butuh pula keberanian
kelebat bayang menakutkan hanya hasil halusinasi dalam laju pikiran
tentu, untuk melihat kebenaran butuh cahaya sebagai petunjuk jalan
Entakkan kaki, mari berdansa dalam sukacita, lepaskan beban pikiran
jiwa yang tenang senantiasa dirahmati dan berjalan dalam kebahagiaan
tempatkan kesedihan secara semestinya, di sana pula ada kegembiraan
Yogyakarta, 01 Oktober 2015
LANGIT taram malam ini, segala terasa majal dalam rasa
pudar laksa gemintang dari mata, halimun menyesak ruang jiwa
bayang kelam memanjang, kelambit berpusar di antara pendar cahaya
Mana mungkin jiwa akan mendapat cahaya sebelum mengenal api
bila menghalakan wajah pada gelap, kau hanyalah bias anomali
bukankah akal laun pasti mati jika hanya berdiam diri?
Oh, apakah waktumu hanya akan habis karena diam membatu?
carilah pengetahuan ke segala penjuru agar luas akal budimu
bila hanya terpaku, jangkau ilmu hanya sehasta dari tubuhmu
Yogyakarta, 02 Maret 2016
Sajak ini telah dipublikasikan di SOLOPOS (31/07/2016)