ABERASI | KULDESAK | OBSTRUEN | HERALDIK
ABERASI
SERI wajahmu muncul lagi dari balik perigi, leburlah perihku
sejak kenihilanmu, kurasa ada bias rupa tak seragam denganku
penderitaan kian meraja saat rindu ini meradang dalam jiwaku
Bila cahaya langit dan bumi sirna, Mahacahaya menyisihkan kegelapan
bukankah keberadaan aberasi akibat anortopia yang menyumpal laju akal?
tak perlu kilah sekadar membenarkan diri karena laku melenceng
Berdirilah secara ajek agar terang antara tubuh dan bayangan
bagaimanapun, pusat cahaya akan tetap berada tepat pada posisinya
lihatlah, mana yang kekal dan siapa bergerak menuju ketiadaan!
KULDESAK
SEJAK kabut menyusup pikiran, penglihatan kabur di atas marga
cahaya terlibas awan hingga gelap pun menyilap hala mata
keresahan tak hendak anjak dari segala karut-marut di jiwa
Bila raut bulan disembunyikan, masihkah kulihat seri terang wajahmu?
gegap maupun sunyi sergap diri, kepak roh menuju marjikmu
oh, janganlah sesatkan nalar ini hingga nista tingkah laku
Andai saja sempurna tafsirku terhadap isyarat, langkah takkan keliru
tiap titian mengantar hendak, namun ada pula menirus buntu
tunjukkanlah padaku hakikat sirat di antara jalan terjal berliku
OBSTRUEN
HANCURLAH segala apa yang kokoh berdiri, kecuali hanya satu
tak ada yang bisa menghindar bila mahaledak telah tiba
tersibaklah ragam rahasia tersembunyi dari balik apa yang ditutupi
Lenyap segala peduli, satu sama lain pun berdiri sendiri-sendiri
hitam takkan menjadi putih, begitu sebaliknya; tak ada rekayasa
semua yang samar menjadi benderang setelah lewati masa perhitungan
Tersibaklah ragam rahasia tersembunyi dari balik apa yang ditutupi
tak ada yang bisa menghindar bila mahaledak telah tiba
hancurlah segala apa yang kokoh berdiri, kecuali hanya satu
HERALDIK
SEGALA yang tercipta adalah makna agar manusia tiada lupa
ketika isyarat sirna dari pikiran, tersesatlah kaki saat berjalan
bukankah manusia pertama dibekali tanda sebelum ada di dunia?
Berapa banyak tanda telah kau eja dari alam semesta
berapa banyak pula segala pengetahuan itu tertampung di jiwa
satu per satu tanda lenyap dari ingatan, kenangan tersisa
Setelah kembali, apa yang kau bawa selain hanya tanda
tanda itu pula yang kelak menjadi pembeda antarsemua makhluk
berapa banyak tanda telah kau baca dan akan dibawa?
Sajak ini telah dipublikasikan di SUARA NTB (15/10/2016)
SERI wajahmu muncul lagi dari balik perigi, leburlah perihku
sejak kenihilanmu, kurasa ada bias rupa tak seragam denganku
penderitaan kian meraja saat rindu ini meradang dalam jiwaku
Bila cahaya langit dan bumi sirna, Mahacahaya menyisihkan kegelapan
bukankah keberadaan aberasi akibat anortopia yang menyumpal laju akal?
tak perlu kilah sekadar membenarkan diri karena laku melenceng
Berdirilah secara ajek agar terang antara tubuh dan bayangan
bagaimanapun, pusat cahaya akan tetap berada tepat pada posisinya
lihatlah, mana yang kekal dan siapa bergerak menuju ketiadaan!
Yogyakarta, 12 Agustus 2016
SEJAK kabut menyusup pikiran, penglihatan kabur di atas marga
cahaya terlibas awan hingga gelap pun menyilap hala mata
keresahan tak hendak anjak dari segala karut-marut di jiwa
Bila raut bulan disembunyikan, masihkah kulihat seri terang wajahmu?
gegap maupun sunyi sergap diri, kepak roh menuju marjikmu
oh, janganlah sesatkan nalar ini hingga nista tingkah laku
Andai saja sempurna tafsirku terhadap isyarat, langkah takkan keliru
tiap titian mengantar hendak, namun ada pula menirus buntu
tunjukkanlah padaku hakikat sirat di antara jalan terjal berliku
Yogyakarta, 18 Agustus 2016
HANCURLAH segala apa yang kokoh berdiri, kecuali hanya satu
tak ada yang bisa menghindar bila mahaledak telah tiba
tersibaklah ragam rahasia tersembunyi dari balik apa yang ditutupi
Lenyap segala peduli, satu sama lain pun berdiri sendiri-sendiri
hitam takkan menjadi putih, begitu sebaliknya; tak ada rekayasa
semua yang samar menjadi benderang setelah lewati masa perhitungan
Tersibaklah ragam rahasia tersembunyi dari balik apa yang ditutupi
tak ada yang bisa menghindar bila mahaledak telah tiba
hancurlah segala apa yang kokoh berdiri, kecuali hanya satu
Yogyakarta, 03 Agustus 2016
SEGALA yang tercipta adalah makna agar manusia tiada lupa
ketika isyarat sirna dari pikiran, tersesatlah kaki saat berjalan
bukankah manusia pertama dibekali tanda sebelum ada di dunia?
Berapa banyak tanda telah kau eja dari alam semesta
berapa banyak pula segala pengetahuan itu tertampung di jiwa
satu per satu tanda lenyap dari ingatan, kenangan tersisa
Setelah kembali, apa yang kau bawa selain hanya tanda
tanda itu pula yang kelak menjadi pembeda antarsemua makhluk
berapa banyak tanda telah kau baca dan akan dibawa?
Yogyakarta, 07 Oktober 2015
Sajak ini telah dipublikasikan di SUARA NTB (15/10/2016)