WAKTU BERCINTA BELUM USAI | DAUN YANG LURUH DI PANGKUAN | MADAH SI GILA
WAKTU BERCINTA BELUM USAI
PERLIHATKAN padaku merah pipimu yang terhalang cadar saga itu
tentu hatiku akan kegirangan tak terkira, takjub dalam pesona
batu bisu di bibirku akan melecut ke segala penjuru
Sejak kita saling jatuh cinta, jagat serasa penuh bunga
bibir kita senantiasa basah kuyup oleh madah rindu bertalu-talu
dada kita terasa begitu sesak aroma wangi bunga asmara
Kita saling bertemu, namun tiada kata usai atau jemu
serasa hilang waktu, hilang pula bulan menawan saat bersamamu
waktu bercinta belum usai walau ajal tiba memisah raga
DAUN YANG LURUH DI PANGKUAN
GERISIK menarik lelap imaji di gigir sunyi batang hari
dari jauh angin berlabuh hanyutkan lelah tubuh sedari subuh
rona cahaya mengintip separuh di tepi laut kuyu membiru
Daun yang luruh di pangkuanku adalah lirih lagu sendu
kilas bayang kian tirus jauh, tangan tak sampai menggapai
entah sampai kapan waktu berkata tepat mengantar kabar pulang
Gaok bukanlah kabar kematian, bukan pula sebagai isyarat kedatangan
pohon jati adalah saksi kapan kau pergi dan kembali
di sini, sering kali kududuk menanti sembari menghitung hari
MADAH SI GILA
ADAKAH kegilaan hidup melebihi orang yang sedang jatuh cinta?
para pecinta telah menyibak selaput gelap penghalang sorot matanya
sepanjang waktu, para pecinta bersukaria luapkan segala rasa jiwa
Musim bunga telah tiba, seiring waktu buah ranum masak
pengecapan para pecinta sedemikian legit di antara rasa pahit
penyair, dari bibirmu gubah kata memesona sukma bak bernyawa
Guncangan apalagi yang akan gugurkan bunga sukacita di dada?
diamlah! Selain kata-kata cinta, suara hanya akan menjadi luka
kebahagiaan para pecinta hanyalah bersama kekasih tercinta tanpa jeda
Sajak ini telah dipublikasikan di SUARA MERDEKA (09/10/2016)
PERLIHATKAN padaku merah pipimu yang terhalang cadar saga itu
tentu hatiku akan kegirangan tak terkira, takjub dalam pesona
batu bisu di bibirku akan melecut ke segala penjuru
Sejak kita saling jatuh cinta, jagat serasa penuh bunga
bibir kita senantiasa basah kuyup oleh madah rindu bertalu-talu
dada kita terasa begitu sesak aroma wangi bunga asmara
Kita saling bertemu, namun tiada kata usai atau jemu
serasa hilang waktu, hilang pula bulan menawan saat bersamamu
waktu bercinta belum usai walau ajal tiba memisah raga
Yogyakarta, 09 Juni 2015
GERISIK menarik lelap imaji di gigir sunyi batang hari
dari jauh angin berlabuh hanyutkan lelah tubuh sedari subuh
rona cahaya mengintip separuh di tepi laut kuyu membiru
Daun yang luruh di pangkuanku adalah lirih lagu sendu
kilas bayang kian tirus jauh, tangan tak sampai menggapai
entah sampai kapan waktu berkata tepat mengantar kabar pulang
Gaok bukanlah kabar kematian, bukan pula sebagai isyarat kedatangan
pohon jati adalah saksi kapan kau pergi dan kembali
di sini, sering kali kududuk menanti sembari menghitung hari
Yogyakarta, 17 Juni 2015
ADAKAH kegilaan hidup melebihi orang yang sedang jatuh cinta?
para pecinta telah menyibak selaput gelap penghalang sorot matanya
sepanjang waktu, para pecinta bersukaria luapkan segala rasa jiwa
Musim bunga telah tiba, seiring waktu buah ranum masak
pengecapan para pecinta sedemikian legit di antara rasa pahit
penyair, dari bibirmu gubah kata memesona sukma bak bernyawa
Guncangan apalagi yang akan gugurkan bunga sukacita di dada?
diamlah! Selain kata-kata cinta, suara hanya akan menjadi luka
kebahagiaan para pecinta hanyalah bersama kekasih tercinta tanpa jeda
Yogyakarta, 17 Juni 2015
Sajak ini telah dipublikasikan di SUARA MERDEKA (09/10/2016)