BISIK DARI LANGIT | SEPI YANG MENJALARI TUBUH RENTA | TELAGA MAKRIFAT
BISIK DARI LANGIT
KALAU kau mengerjap mata, lihatlah betapa luas alam semesta
ampas takkan terbang ke singgasana langit sebelum mewujud atom
sebongkah emas akan kurang nilainya bila masih bercampur lumpur
Dengarlah bagaimana bisik lirih nan liris datang dari langit
denting suara itu memanggil agar kau bangkit dari lumpur
sayangnya, hasrat dunia telah menulikan telinga dan butakan matamu
Air dan lumpur dapat dipisah bila mengendap sekian lama
bagaimana air akan jernih bila kenaifan tak henti mengaduk?
air keruh hanya menampakkan kilas bayang gelap dan buram
SEPI YANG MENJALARI TUBUH RENTA
BEGITU banyak sepi menjalar di sekujur tubuh kian renta,
lewat rongga telinga, satu denting suara begitu mengusik pikiran
kata-kata lenyap dari mulut, hampa menjadi-jadi di depan mata
Segalanya tiada arti, terlebih hati yang tak searah ego
apa yang didapat dari lesat anak panah sedemikian cepat,
apa yang didapat dari bujur tubuh tanpa gerak—kata?
Mari diam! Bila perlu tanpa isyarat sebagai ganti bahasa
bukankah kata tanpa daya guna hanyalah asap atas api?
barangkali di kejernihan batin akan didapat segala jawaban bijaksana.
TELAGA MAKRIFAT
BILA yang tersembunyi menyembul dari dada, akal terang bercahaya
bila ia mengalir, biji makrifat tumbuh subur di dalamnya
raihlah buah hakikat, semesta terbuka, kecuali bagi si buta
Kedalaman telaga tak bisa diukur hanya dengan penglihatan kasar
makrifat akan mengantar mata sampai ke ceruk dasar telaga
ada kala keyakinan butuh bukti, namun tak harus tampak
Bila yang tersembunyi terbuka dalam dada, mewangi semesta akal
namun bila segumpal darah telah membusuk, tentu membusuklah segala
raihlah buah hakikat, semesta terbuka, kecuali bagi si buta
Sajak ini telah dipublikasikan di NUSANTARANEWS (15/01/2017)
KALAU kau mengerjap mata, lihatlah betapa luas alam semesta
ampas takkan terbang ke singgasana langit sebelum mewujud atom
sebongkah emas akan kurang nilainya bila masih bercampur lumpur
Dengarlah bagaimana bisik lirih nan liris datang dari langit
denting suara itu memanggil agar kau bangkit dari lumpur
sayangnya, hasrat dunia telah menulikan telinga dan butakan matamu
Air dan lumpur dapat dipisah bila mengendap sekian lama
bagaimana air akan jernih bila kenaifan tak henti mengaduk?
air keruh hanya menampakkan kilas bayang gelap dan buram
Yogyakarta, 15 Juni 2015
BEGITU banyak sepi menjalar di sekujur tubuh kian renta,
lewat rongga telinga, satu denting suara begitu mengusik pikiran
kata-kata lenyap dari mulut, hampa menjadi-jadi di depan mata
Segalanya tiada arti, terlebih hati yang tak searah ego
apa yang didapat dari lesat anak panah sedemikian cepat,
apa yang didapat dari bujur tubuh tanpa gerak—kata?
Mari diam! Bila perlu tanpa isyarat sebagai ganti bahasa
bukankah kata tanpa daya guna hanyalah asap atas api?
barangkali di kejernihan batin akan didapat segala jawaban bijaksana.
Yogyakarta, 12 September 2015
BILA yang tersembunyi menyembul dari dada, akal terang bercahaya
bila ia mengalir, biji makrifat tumbuh subur di dalamnya
raihlah buah hakikat, semesta terbuka, kecuali bagi si buta
Kedalaman telaga tak bisa diukur hanya dengan penglihatan kasar
makrifat akan mengantar mata sampai ke ceruk dasar telaga
ada kala keyakinan butuh bukti, namun tak harus tampak
Bila yang tersembunyi terbuka dalam dada, mewangi semesta akal
namun bila segumpal darah telah membusuk, tentu membusuklah segala
raihlah buah hakikat, semesta terbuka, kecuali bagi si buta
Yogyakarta, 08 Juni 2015
Sajak ini telah dipublikasikan di NUSANTARANEWS (15/01/2017)