EKSTASE | APATAH | ADAGIO | FILANTROPI | PARABEL | PARADOKS
EKSTASE
KEGILAAN macam apa ini hingga segala hendak lepas kendali
sejak perjumpaan sekaligus perpisahan itu, masygul pun kikis sukacita
pikiranku berputar cepat bak gasing—namun tetap terpaku padamu
Ada suara menyeru jiwa tanpa jeda, bersahutan saban waktu
bila segala yang terpusat telah putus, kekacauan ayal menimpa
alibi takkan bisa sembunyikan kebenaran atas ragam keburukan afal
Percayalah, jalan lurus itu pasti membawamu pada hakikat keselamatan
riak hanya di permukaan, sedang ketenangan berada di kedalaman
bila keyakinan tertancap kokoh di dada, waswas hanyalah fatamorgana
APATAH
KIRAMU, manakah yang teramat rupawan antara arzak atau adiratna?
ketika celi penglihatan sampai di dasar laut, terbelamlah air
ketakjuban hati sering kali mengunci kata-kata dari alam sadar
Singkirkan gelas kaca bila oniks telah ada di genggaman
simpanlah dalam benian agar tetap aji serta terjaga sentana
para ahli akan menyimpan segala tutur daripada sembarang ujar
Naiklah ke gunung agar terang ambang langit dan daratan
bagi sebagian filsuf, tiap laku pun ucap adalah aksioma
meski tak semua tanya butuh jawaban mutlak sebagai kebenaran
ADAGIO
ALTO dari segala kantata telah mengangkasa, ketakziman pun terjaga
intonasi tanpa tulus hati hanya akan memekakkan gendang telinga
simfoni magis mengalun ritmis meruyup seluruh rasa sampai koda
Nostalgia terapung selaras genta walau sisakan larik pedih memoar
enyah durja saat berdeku agar sublim kasih tiada pudar
semoga cadik tak patah sebelum dayung mencium bibir pasir
Sayap rohani mengepak ke segala penjuru merayau renik cahaya
lekas gait kesadaran ini sebelum terperosok jauh ke cendala
ilhami tiap ucap pun laku hingga inzar terejawantah jua
FILANTROPI
JANGANLAH sekali-kali kau lempar begitu tinggi gelas ke udara
seberapa kuat tangan menangkap, pastilah ia akan pecah berserakan
beling telah siap mengoyak dan alirkan darah bila lengah
Perihal apa lagi yang ingin kau tunjukkan pada dunia?
jika hanya pertumpahan darah dan kobar kebencian pada sesama
bersiaplah saat langit mengubur jasadmu tanpa bunga dan airmata
Bukankah kebahagiaan tak pernah kekal dalam jiwa kaum pembenci?
asap hitam sarat dalam rongga dada, sirna rasa peka
hidup dalam kesunyian teramat mencekam, mati pun tetap sendirian
PARABEL
LIHATLAH rayap yang gerogoti batang kayu, berkerumun dan mukim
mereka berlindung sekaligus merusak seratnya hingga roboh tanpa daya
setelah tumbang, laun batang itu renyuk serupa remah tanah
Begitu banyak ragam kemegahan dibangun, namun kosong tiada guna
janganlah karena manis lantas abaikan pahit mengendap di dalamnya
sebelum luruh menjadi puing, mari bertanya pada diri sendiri!
Banyak orang berjalan menuju cahaya, tapi lalai gelap menguntit
kebenaran ditebar, namun ribuan anak panah hujam tubuh sendiri
Oh, sembuhkanlah akal yang sedang terjangkit ragam penyakit ini
PARADOKS
SERING kali aku bertanya, “Benarkah hatiku tak setinggi kepalaku?”
pandir begitu telak menyatire atas segala kabihatku selama ini
lantas, setelah kesadaran memulih, aku pun meraung dalam kedaifan
Aku pun bertanya pada Tuhan, “Mengapa diriku seperti ini?”
cermin tak lagi memberi jawaban selain bayangku kian menua
kudengar angin membawa pesan, “Jangan simpan ampas di dada.”
Jangan mengaduk-aduk tanah lempung itu, agar menjadi bening airmu [1]
bukankah ketika air dan tanah terpisah takkan tumbuh kehidupan?
setelah roh terlepas dari jasad, segala laku adalah perhitungan
Sajak ini telah dipublikasikan di HALUAN (07/01/2017)
KEGILAAN macam apa ini hingga segala hendak lepas kendali
sejak perjumpaan sekaligus perpisahan itu, masygul pun kikis sukacita
pikiranku berputar cepat bak gasing—namun tetap terpaku padamu
Ada suara menyeru jiwa tanpa jeda, bersahutan saban waktu
bila segala yang terpusat telah putus, kekacauan ayal menimpa
alibi takkan bisa sembunyikan kebenaran atas ragam keburukan afal
Percayalah, jalan lurus itu pasti membawamu pada hakikat keselamatan
riak hanya di permukaan, sedang ketenangan berada di kedalaman
bila keyakinan tertancap kokoh di dada, waswas hanyalah fatamorgana
Yogyakarta, 28 Juli 2016
KIRAMU, manakah yang teramat rupawan antara arzak atau adiratna?
ketika celi penglihatan sampai di dasar laut, terbelamlah air
ketakjuban hati sering kali mengunci kata-kata dari alam sadar
Singkirkan gelas kaca bila oniks telah ada di genggaman
simpanlah dalam benian agar tetap aji serta terjaga sentana
para ahli akan menyimpan segala tutur daripada sembarang ujar
Naiklah ke gunung agar terang ambang langit dan daratan
bagi sebagian filsuf, tiap laku pun ucap adalah aksioma
meski tak semua tanya butuh jawaban mutlak sebagai kebenaran
Yogyakarta, 17 September 2016
ALTO dari segala kantata telah mengangkasa, ketakziman pun terjaga
intonasi tanpa tulus hati hanya akan memekakkan gendang telinga
simfoni magis mengalun ritmis meruyup seluruh rasa sampai koda
Nostalgia terapung selaras genta walau sisakan larik pedih memoar
enyah durja saat berdeku agar sublim kasih tiada pudar
semoga cadik tak patah sebelum dayung mencium bibir pasir
Sayap rohani mengepak ke segala penjuru merayau renik cahaya
lekas gait kesadaran ini sebelum terperosok jauh ke cendala
ilhami tiap ucap pun laku hingga inzar terejawantah jua
Yogyakarta, 25 September 2016
JANGANLAH sekali-kali kau lempar begitu tinggi gelas ke udara
seberapa kuat tangan menangkap, pastilah ia akan pecah berserakan
beling telah siap mengoyak dan alirkan darah bila lengah
Perihal apa lagi yang ingin kau tunjukkan pada dunia?
jika hanya pertumpahan darah dan kobar kebencian pada sesama
bersiaplah saat langit mengubur jasadmu tanpa bunga dan airmata
Bukankah kebahagiaan tak pernah kekal dalam jiwa kaum pembenci?
asap hitam sarat dalam rongga dada, sirna rasa peka
hidup dalam kesunyian teramat mencekam, mati pun tetap sendirian
Yogyakarta, 16 November 2015
LIHATLAH rayap yang gerogoti batang kayu, berkerumun dan mukim
mereka berlindung sekaligus merusak seratnya hingga roboh tanpa daya
setelah tumbang, laun batang itu renyuk serupa remah tanah
Begitu banyak ragam kemegahan dibangun, namun kosong tiada guna
janganlah karena manis lantas abaikan pahit mengendap di dalamnya
sebelum luruh menjadi puing, mari bertanya pada diri sendiri!
Banyak orang berjalan menuju cahaya, tapi lalai gelap menguntit
kebenaran ditebar, namun ribuan anak panah hujam tubuh sendiri
Oh, sembuhkanlah akal yang sedang terjangkit ragam penyakit ini
Yogyakarta, 24 Juli 2016
SERING kali aku bertanya, “Benarkah hatiku tak setinggi kepalaku?”
pandir begitu telak menyatire atas segala kabihatku selama ini
lantas, setelah kesadaran memulih, aku pun meraung dalam kedaifan
Aku pun bertanya pada Tuhan, “Mengapa diriku seperti ini?”
cermin tak lagi memberi jawaban selain bayangku kian menua
kudengar angin membawa pesan, “Jangan simpan ampas di dada.”
Jangan mengaduk-aduk tanah lempung itu, agar menjadi bening airmu [1]
bukankah ketika air dan tanah terpisah takkan tumbuh kehidupan?
setelah roh terlepas dari jasad, segala laku adalah perhitungan
Yogyakarta, 27 Juli 2016
[1] Jalaludin Rumi.Sajak ini telah dipublikasikan di HALUAN (07/01/2017)