RADIO - Anam Khoirul Anam Official -->

RADIO

DI kampungku, anak-anak usia 10 tahun sudah pandai mengaji, bahkan ada beberapa anak yang saking pintar mengaji bisa dua kali khatam membaca Alquran dalam kurun waktu sepekan. Lebih habat lagi, ketika bulan puasa, mereka berlomba-lomba mengkhatamkan kitab suci tersebut. Memang ada kebanggaan tersendiri ketika mampu mengkhatamkan lebih dari tiga kali selama bulan Puasa. Langgar selalu ramai dengan kegiatan agama ketika bulan puasa ataupun di bulan biasa. Ya, para orang tua di kampungku akan merasa malu kalau anak-anaknya tidak pandai mengaji, tidak alim. Memiliki anak tidak pandai ngaji merupakan aib. Orang tua yang memiliki anak berandalan akan mendapat pandangan miring meskipun tidak diperlakukan secara diskriminatif. Ada semacam pengecualian sikap terhadap orang-orang yang suul adab. Wajar jika sedari sore langgar tampak ramai suara orang mengaji atau kegiatan keagamaan. Kedisiplinan semacam itu sudah ditanamkan para orang tua pada anak-anaknya sedini mungkin agar kelak menjadi hamba saleh.

Kala itu, anak laki-laki yang tidur di rumah akan diteriaki sebagai banci dan diolok sebagai anak yang tak mau lepas dari susu ibunya. Sebagian anak berkata dengan nada mengejek, “Anak laki-laki tidur di langgar, bukan di rumah.” Lebih malu disudutkan seperti itu daripada berpenampilan lusuh dan kumuh.

Selepas mengembalakan ternak, mandi dan makan sore, biasanya mereka akan berduyun-duyun ke langgar. Sembari menunggu magrib, bermain bersama kawan sebaya di teras langgar. Setelah magrib, mereka berangkat ke pondok mbah Syarif untuk mengaji kitab kuning. Selepas kumandang azan Isya mereka kembali ke langgar, belajar, dan tidur di sana. Selepas salat Subuh mereka pulang ke rumah masing-masing dan bersiap berangkat sekolah. Begitulah rutinitas anak-anak di kampung kami.

Zaman sudah mengalami begitu banyak perubahan. Suasana semarak dari langgar laun sepi. Anak-anak yang dulu bergairah menjalankan ritus agama seolah-olah lenyap setelah tumbuh dewasa dan kerja di kota. Ada beberapa generasi tua yang masih setia salat berjamaah di langgar, lambat laun, satu per satu dari mereka lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa. Bakda Isya, Langgar menjadi sangat sepi setelah lampu dimatikan. Tak terdengar lagi senda gurau anak-anak. Tak terdengar lagi orang mengaji. Tak ada lagi suara gaduh anak-anak kejar-kejaran tau sedang petak umpet. Tak terdengar lagi amarah dari salah seorang warga yang merasa terganggu karena polah anak-anak tersebut. Semua sudah berubah dan benar-benar sepi lazimnya desa mati.

***
AKU benar-benar masygul tiap kali tidur di langgar saat mudik. Kenangan indah masa lalu dan ancaman masa depan tentang jalan hidupku terasa tumbuh jadi satu.

Seperti apa pun, ada kenangan masa kecil yang selalu kuingat dari langgar itu. Walau sekolah di kota, tiap mudik pastilah aku tidur di langgar. 

Akan aku ceritakan perihal bunyi radio yang sering kudengar tiap kali terjaga dari tidur malam di langgar itu—aku tak tahu apakah bunyi radio itu dipedulikan oleh teman sebayaku dulu atau tidak. Menjadi hal aneh serta konyol jika aku menanyakan hal itu pada mereka kala itu. Mereka pasti akan menjawab dengan nada mengejek, menganggap hal tak penting jika dipertanyakan. Maka dari itu aku selalu urung bertanya pada mereka. Bunyi yang sering kudengar adalah langgam Jawa, wayang, atau siaran berita dari RRI. Aku yakin jika asal suara itu dari rumah Mbah Warso. Bunyi radio itu akan berhenti setelah azan Subuh dikumandangkan. Aku tak tahu sejak kapan kebiasaan Mbah Warso tersebut, yang jelas aku sering mendengar suara radio sedari kecil dan saat terjaga di malam hari.

Hari itu, tepatnya hari Senin, aku mendengar kabar dari ayahku bahwa Mbah Warso meninggal dunia. Kata ayah, Mbah Warso meninggal karena jatuh saat di kamar mandi. Seminggu setelah dibawa ke rumah sakit, Mbah Warso mengembuskan napas terakhirnya. Jenazah almarhum dimakamkan sesuai agama yang dianut. Di kampung kami, hanya dia yang menjadi non muslim. Meski begitu, ia diperlakukan dengan baik tanpa diskriminasi apa pun dari warga. Ia selalu dilibatkan dalam kegiatan yang diadakan oleh warga kampung.

Sebulan sekali aku pulang untuk melepas rindu dengan keluarga sekaligus mengambil beras dan pesangon untuk kebutuhan makanan selama di rantau. Tentu saja, aku akan tidur di langgar jika mudik. Seperti biasa, aku pasti akan terjaga di tengah malam. Samar-samar kudengar suara radio yang bersumber dari rumah Mbah Warso. Sontak aku dirasuki pikiran ngeri. Aku merasa bulu kudukku berdiri. Merinding. Aku berusaha mengabaikan hal itu, namun suara itu makin jelas kudengar dan makin dekat di telingaku. Tentu saja persitiwa itu mengusik tidurku. Kulihat jam yang digantung di tiang menunjukkan pukul 02:19 WIB. Tentu saja, azan Subuh masih lama. Jika sudah demikian, butuh waktu tak sedikit untuk bisa tidur kambali sebelum Subuh benar-benar tiba. Perlu diketahui, aku adalah orang yang mudah paranoid. Apalagi jika berbau hantu, sudah pasti aku akan berpikir macam-macam yang lantas membuatku merasa ngeri sendiri. Jika sudah dirasuki pikiran semacam itu, menjadi pemberani adalah sebuah keterpaksaan.

Untuk membuktikan kebenaran pendengaranku semalam, bakda Subuh aku mengendap-endap ke samping rumah Mbah Warso. Tak kudapati tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Rumah itu semakin tak terawat sepeninggal almarhum. Banyak daun kering berserakan, terutama daun mangga, jambu dan nangka.

*** 
WALAUPUN sudah lama tinggal di kota, aku tetap ingin tidur di langgar saat mudik. Ternyata hanya aku yang tidur di sana. Sendiri dan sendirian. Dulu pamanku masih sering tidur di langgar, namun Tuhan sudah memanggilnya lantaran sakit jantung. Seiring waktu ... ah, sepi sekali dan tak lagi ada yang tidur di langgar. 

Kini langgar itu sudah mengalami banyak perubahan. Awalnya hanya dibangun dari bahan kayu dan bambu, setelah itu dibangun dengan batu bata dan berlantai ubin. Kini, langgar itu sudah dibenahi menjadi lebih baik. Tembok yang dulu retak sudah diperbaiki, dirapikan sekaligus diperindah sedemikian rupa dengan pintu ukiran, begitu pula dengan jendelanya. Lantainya sudah keramik, selain itu juga sudah dipasang pengeras suara. Sayangnya, beduk yang dulu jadi lambang kegembiraan menyambut hari-hari besar agama tidak turut diperbaiki. Malah beduk itu sekarang tidak berfungsi dan teronggok di sudut emper langgar. Barangkali sulit mendapatkan kulit sapi, atau mungkin ada alasan lain hingga tidak diperbaiki.

Ada kesedihan mendalam yang kurasakan tiap kali salat berjamaah di langgar. Dulu, larik jamaah salat bisa lebih dari lima, namun sekarang tinggal selarik dan hanya beberapa orang saja, itu pun jamaah kaum lansia yang masih diberi anugerah umur panjang. Entah ke mana generasi di bawahku? Jangankan mendengar orang mengaji, selepas salat, langgar itu berubah sepi tanpa harus menunggu Isya dan lampu mati.


Aku merasa benar-benar prihatin, namun tak bisa berbuat apa-apa. Aku sendiri merasa jauh dari kampung, terlebih lagi jauh dari langgar yang dulu menyimpan banyak kenangan.

Sampai detik ini, satu pertanyaan yang belum terjawab, yakni suara radio itu. Suara itu masih saja terdengar di telingaku saat tidur di langgar dan terjaga tengah malam. Suara radio. Ya, suara itu masih saja kudengar walau sudah ditinggal pemiliknya. Lantas, bunyi radio itu? Apakah hantu? Atau sekadar halusinasiku saja? Entahlah! Aku hanya tahu rumah Mbah Warso tak lagi dihuni, makin reot dan tak terawat.

Kuberanikan diri bertanya pada mbak Darsih yang rumahnya bersebalahan dengan rumah almarhum perihal suara radio itu. “Saya tidak mendengar suara radio kalau malam hari. Sejak Mbah Warso meninggal, saya tidak mendengar apa yang kamu maksudkan itu,” jawabnya.

“Oh, baiklah jika begitu. Terima kasih, Mbak.” pungkasku.

Untuk meyakinkan kembali apa yang kudengar, aku bertanya lagi pada kang Sarman. Jawaban serupa kudapatkan. Tak seorang pun mendengar suara radio yang bersumber dari rumah almarhum Mbah Warso.

Mungkin itu halusinasiku saja. Mungkin aku sudah terlalu akut dan masih terjangkit paranoid. Anehnya, aku tidak mengalami itu setelah kembali ke kota. Itu hanya terjadi dan kudengar saat tidur di langgar.[]
Yogyakarta, 30 Januari 2017

Cerpen ini telah dipublikasikan di MASTERPOEM (Edisi I Januari 2016)


Berlangganan update artikel terbaru via email:




Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1


Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel