BIKSAH SEGALA AMERTA | PERGANTIAN MUSIM | SAKHAWAT | KASIDAH RESTU LANGIT | KEKASIH ABADI
BIKSAH SEGALA AMERTA
ATMA berhalakah seraya melansir perihal kabar besar atas semesta
satu sama lain serupa kubin, melontar tanya tak terkira
hakaik terbelam dari lisan sebelum tercerap ke dalam jiwa
Roh yang dibangkitkan dari alam kubur bersaf-saf tanpa kata
kecuali bagi pengucap yang dikehendaki—tanpa cela dan dusta
sukma yang terentas dari hawiah pun amerta di surga
Mari anjak ke kebun lalu memeras anggur peluruh dahaga
tak ada perkara sia-sia dari apa yang merasuki raga
penuhlah kini gelas rohani dengan sukacita serta curah cahaya
PERGANTIAN MUSIM
BANYAK hal telah terlewatkan di tiap gigir pergantian musim
hanyut dalam arus euforia massa hingga lepas batas kesadaran
evolusi berganti rupa di sela kisar napas, akal lengah
Pancarona hidup pun laun pudar, pupus sebab hukum alam
jangkau logika makin terbatas, di antara gerak bebas badan
sedangkan gelap dan terang terus bersahutan atas segala tingkah
Akar tunggang jati yang kokoh tak mudah lebur dihantam
tunas akan terus tumbuh walau batang ditebas sampai penghabisan
semoga takkan ada biji mati sebelum tumbuh dari tanah
SAKHAWAT
SAKI dari masyrik telah tiba kini dengan wajah seri
tak usah lagi menekuk wajah, karena ia bukan ajnabi
xenofobia justru menjadi hail pun jarak atas keakraban hati
Setelah mangkuk nuraga nun mumbung jambar, mari saling bersaji
loba takkan memuaskan dahaga selain rentet nafsu serta anomi
begitu terang pembagian dalam waduk itu, jangan menjejal lagi!
Apakah kau tetap mengira bahwa yang mengalir lantas berkurang?
laun belik kering dan sirnalah kesegaran bila terus menggenang
mencair sekaligus hiduplah dalam raga lain sebelum jasad tumbang
KASIDAH RESTU LANGIT
SAYUP bulan di ujung padang magrib, taram tepercik debur
manyar khusyuk mematuk biji rohani lalu berkeliaran suluh nalar
rekonstruksi hati atas obituari yang tak lekas rekahkan bibir
Bayang pekat menguntit seraya embuskan rayu agar sesat jalan
asing pun menyalak begitu nyinyir di antara montase dukacarita
lansirlah masygul ini agar belenggu sayap bebas menghalakan arasy
Meski batu bergeming, mata air terus mengalir hingga dermaga
bagaimana bila hulul tak terejawantah saat hidup pun mati?
betapa nelangsa bila pintu terkunci rapat sepulang dari mengembara
KEKASIH ABADI
SIAPA lagi yang bisa mengganti makammu dari hati ini?
kita telah bersetia hidup semati; takkan ada cinta lain
aku mau hidup bersamamu tanpa jeda pun lekang jiwa
Sejak mencintaimu, aku meracam dan tak peduli hitungan waktu
telah kutetak rasa ini untukmu, sebab kaulah kekasih abadi
aku mau hidup bersamamu meski napas tercerabut dari raga
Tiap gulir masa, hasrat untuk menyandingmu tiada pernah pudar
meski ada selisih mencerai, kucoba tepis agar tetap bersatu
aku tetap mau hidup bersamamu hingga kelak di surga
Sajak ini telah dipublikasikan di SOLOPOS (11/12/2016)
ATMA berhalakah seraya melansir perihal kabar besar atas semesta
satu sama lain serupa kubin, melontar tanya tak terkira
hakaik terbelam dari lisan sebelum tercerap ke dalam jiwa
Roh yang dibangkitkan dari alam kubur bersaf-saf tanpa kata
kecuali bagi pengucap yang dikehendaki—tanpa cela dan dusta
sukma yang terentas dari hawiah pun amerta di surga
Mari anjak ke kebun lalu memeras anggur peluruh dahaga
tak ada perkara sia-sia dari apa yang merasuki raga
penuhlah kini gelas rohani dengan sukacita serta curah cahaya
Yogyakarta, 24 November 2016
BANYAK hal telah terlewatkan di tiap gigir pergantian musim
hanyut dalam arus euforia massa hingga lepas batas kesadaran
evolusi berganti rupa di sela kisar napas, akal lengah
Pancarona hidup pun laun pudar, pupus sebab hukum alam
jangkau logika makin terbatas, di antara gerak bebas badan
sedangkan gelap dan terang terus bersahutan atas segala tingkah
Akar tunggang jati yang kokoh tak mudah lebur dihantam
tunas akan terus tumbuh walau batang ditebas sampai penghabisan
semoga takkan ada biji mati sebelum tumbuh dari tanah
Yogyakarta, 17 Oktober 2016
SAKI dari masyrik telah tiba kini dengan wajah seri
tak usah lagi menekuk wajah, karena ia bukan ajnabi
xenofobia justru menjadi hail pun jarak atas keakraban hati
Setelah mangkuk nuraga nun mumbung jambar, mari saling bersaji
loba takkan memuaskan dahaga selain rentet nafsu serta anomi
begitu terang pembagian dalam waduk itu, jangan menjejal lagi!
Apakah kau tetap mengira bahwa yang mengalir lantas berkurang?
laun belik kering dan sirnalah kesegaran bila terus menggenang
mencair sekaligus hiduplah dalam raga lain sebelum jasad tumbang
Yogyakarta, 27 September 2016
SAYUP bulan di ujung padang magrib, taram tepercik debur
manyar khusyuk mematuk biji rohani lalu berkeliaran suluh nalar
rekonstruksi hati atas obituari yang tak lekas rekahkan bibir
Bayang pekat menguntit seraya embuskan rayu agar sesat jalan
asing pun menyalak begitu nyinyir di antara montase dukacarita
lansirlah masygul ini agar belenggu sayap bebas menghalakan arasy
Meski batu bergeming, mata air terus mengalir hingga dermaga
bagaimana bila hulul tak terejawantah saat hidup pun mati?
betapa nelangsa bila pintu terkunci rapat sepulang dari mengembara
Yogyakarta, 19 September 2016
SIAPA lagi yang bisa mengganti makammu dari hati ini?
kita telah bersetia hidup semati; takkan ada cinta lain
aku mau hidup bersamamu tanpa jeda pun lekang jiwa
Sejak mencintaimu, aku meracam dan tak peduli hitungan waktu
telah kutetak rasa ini untukmu, sebab kaulah kekasih abadi
aku mau hidup bersamamu meski napas tercerabut dari raga
Tiap gulir masa, hasrat untuk menyandingmu tiada pernah pudar
meski ada selisih mencerai, kucoba tepis agar tetap bersatu
aku tetap mau hidup bersamamu hingga kelak di surga
Yogyakarta, 26 Agustus 2016
Sajak ini telah dipublikasikan di SOLOPOS (11/12/2016)