OVERTURE | PERPETUASI | MANUNGGAL SUKMA | KONSERTO IMPULSIF | ANDANTE
OVERTURE
BERPULUH tahun cari pintu masuk agar daksa menjadi sentana
tiap kali singgah, tersembul perasaan amat asing dalam dada
adakah gerbang lain terbuka secara sukarela sebelum putus asa?
Lampu kota terus nyala, keramian hanya kawanan dusta jasadi
putaran waktu tak lebih sebagai tanda ganti berlabuh hari
telah jauh kaki melangkah namun mimpi belum juga tergapai
Gurat muka makin mempertegas usia walau dipoles beragam rupa
perhatikan keriput di leher itu supaya mata tidak teperdaya
barangkali banyak orang lupa bahwa sudah sampai ambang senja
PERPETUASI
HATIKU sudah pergi jauh sebelum nyawa meregang dari raga
selepas belenggu lara lucut, ia pun bebas terbang wira-wiri
jangan mencari di sini karena kau takkan temukan lagi
Kini, angkasa menjadi tempat paling sunyi daripada alam wadak
ketika avonturir hilang arah, sabitah geming sebagai penunjuk langkah
bahkan mintakulburuj dijadikan nujum atas jalan hidup sebagian orang
Bukankah tiap makhluk tidak bisa mengelak bila sakratulmaut tiba?
hanya jejak amal tertinggal hingga kelak hapus segala dosa
kematian mengantar roh menuju keabadian amat sentosa dalam surga
MANUNGGAL SUKMA
SEUMPAMA gula, kau adalah air yang larutkan bongkah jiwaku
tak ada penopang sekaligus sandaran paling kokoh selain dirimu
darimu pula kudapatkan sayap dan inayat atas semua sarau
Mestinya tiada lagi syak wasangka sengit—mari manunggal sukma
pilin gairah filantropi, lekas usir acuman benci dari dada
jika angkara menuai cerai, setan pasti girang penuh tawa
Apatah guna setitik noktah bagi debit air nan meluap?
segala kesut hanyalah ilusi semu, bila perlu segera ditulup
penyatuan karsa terus terjalin selama bibir tidak saling mengatup
KONSERTO IMPULSIF
MASUKLAH ke ruang minor sebelum tiba di jagat mayor
mari lihat betapa mahir musikus mengiring lagu sampai koda
anak panah intuisi melesat dari busur imaji secara teratur
Hiruk mesin bergema dalam petak kamar, lalu berangsur sirna
simfoni mengalun merdu, suara lain pun mental pada pintu
tiap partitur menyimpan segala hakikat makna atas bisik jiwa
Meski ceruk telinga teramat pekak bahkan tuli, teruslah gubah irama
bukankah Beethoven begitu masyhur walau hidup tanpa mendengar?
bila orkestrasi manunggal dengan melodi, madah cinta makin sentosa
ANDANTE
DENGARLAH seru dari lubuk hati ini dan jangan madar
begitu banyak risalah yang sampai kini belum usai diwedar
bila tak ada kenan, hasratku laun pudar bahkan udar
Aku telah berdiri di ambang pintu sebelum muncul fajar
jika kau izinkan, biar sejenak saja pengembaraan wadak adar
ayolah melafal elegi hingga pikiran tembus labirin secara liar!
Butuh beberapa telinga amat jeli supaya hakaik terus memendar
mari saling berhalakah penuh pasrah agar esensi tetap menjalar
mana mungkin dahaga raib tanpa menenggak air sebagai penawar?
Sajak ini telah dipublikasikan di SOLOPOS (19/03/2017)
BERPULUH tahun cari pintu masuk agar daksa menjadi sentana
tiap kali singgah, tersembul perasaan amat asing dalam dada
adakah gerbang lain terbuka secara sukarela sebelum putus asa?
Lampu kota terus nyala, keramian hanya kawanan dusta jasadi
putaran waktu tak lebih sebagai tanda ganti berlabuh hari
telah jauh kaki melangkah namun mimpi belum juga tergapai
Gurat muka makin mempertegas usia walau dipoles beragam rupa
perhatikan keriput di leher itu supaya mata tidak teperdaya
barangkali banyak orang lupa bahwa sudah sampai ambang senja
Yogyakarta, 11 Maret 2017
HATIKU sudah pergi jauh sebelum nyawa meregang dari raga
selepas belenggu lara lucut, ia pun bebas terbang wira-wiri
jangan mencari di sini karena kau takkan temukan lagi
Kini, angkasa menjadi tempat paling sunyi daripada alam wadak
ketika avonturir hilang arah, sabitah geming sebagai penunjuk langkah
bahkan mintakulburuj dijadikan nujum atas jalan hidup sebagian orang
Bukankah tiap makhluk tidak bisa mengelak bila sakratulmaut tiba?
hanya jejak amal tertinggal hingga kelak hapus segala dosa
kematian mengantar roh menuju keabadian amat sentosa dalam surga
Yogyakarta, 26 Februari 2017
SEUMPAMA gula, kau adalah air yang larutkan bongkah jiwaku
tak ada penopang sekaligus sandaran paling kokoh selain dirimu
darimu pula kudapatkan sayap dan inayat atas semua sarau
Mestinya tiada lagi syak wasangka sengit—mari manunggal sukma
pilin gairah filantropi, lekas usir acuman benci dari dada
jika angkara menuai cerai, setan pasti girang penuh tawa
Apatah guna setitik noktah bagi debit air nan meluap?
segala kesut hanyalah ilusi semu, bila perlu segera ditulup
penyatuan karsa terus terjalin selama bibir tidak saling mengatup
Yogyakarta, 07 Februari 2017
MASUKLAH ke ruang minor sebelum tiba di jagat mayor
mari lihat betapa mahir musikus mengiring lagu sampai koda
anak panah intuisi melesat dari busur imaji secara teratur
Hiruk mesin bergema dalam petak kamar, lalu berangsur sirna
simfoni mengalun merdu, suara lain pun mental pada pintu
tiap partitur menyimpan segala hakikat makna atas bisik jiwa
Meski ceruk telinga teramat pekak bahkan tuli, teruslah gubah irama
bukankah Beethoven begitu masyhur walau hidup tanpa mendengar?
bila orkestrasi manunggal dengan melodi, madah cinta makin sentosa
Yogyakarta, 09 Maret 2017
DENGARLAH seru dari lubuk hati ini dan jangan madar
begitu banyak risalah yang sampai kini belum usai diwedar
bila tak ada kenan, hasratku laun pudar bahkan udar
Aku telah berdiri di ambang pintu sebelum muncul fajar
jika kau izinkan, biar sejenak saja pengembaraan wadak adar
ayolah melafal elegi hingga pikiran tembus labirin secara liar!
Butuh beberapa telinga amat jeli supaya hakaik terus memendar
mari saling berhalakah penuh pasrah agar esensi tetap menjalar
mana mungkin dahaga raib tanpa menenggak air sebagai penawar?
Yogyakarta, 22 Februari 2017
Sajak ini telah dipublikasikan di SOLOPOS (19/03/2017)