Kontemplasi: Bagian I
AKU benar-benar belum memahami secara penuh tubuhku sendiri. Mengapa aku bergerak—walaupun kusadari yang bergerak adalah fisikku—tapi, benarkah tubuhku yang bergerak? Adakah kekuatan lain yang turut menggerakkan? Benarkah yang bergerak adalah rohku? Apa benar pula kehendak dalam diriku yang membuat semua bergerak? Apakah gerak tersebut atas kehendak yang didorong pikiran, gerak atas kinerja tertentu dari dalam diriku, atau ada energi lain yang turut menggerakkan?
Gerak ini kupahami sebab diberi tahu dan dilatih sedari kecil sehingga menjadi pengetahuan serta kebiasaan. Ketika aku dilahirkan, aku mulai diajak bicara walau belum bisa berbalas dialog. Laun mulai tengkurap, merangkak, diajari berjalan, makan, minum, dan lain sebagainya. Mereka memberi tahu jika berjalan harus tegap berdiri dengan kedua kaki. Mereka memberi tahu jika memegang menggunakan tangan. Mereka memberi tahu adab baik dan menegur jika melakukan hal-hal buruk. Mengingatkan bahwa melakukan sesuatu dimulai serta menggunakan tangan kanan, sedangkan bagian kiri kurang pantas dipandang untuk hal-hal tertentu. Mereka mengajarkan tata krama dari bertutur hingga berperilaku. Waktu demi waktu pelajaran hidup ditanamkan dalam diriku.
Namun setelah beranjak dewasa, sering kali ada reaksi lain dari dalam diriku. Ada kesepakatan maupun penolakan, "Aku tak menyukai itu, dan aku menginginkan kebebasan." Atau, “Aku suka hal ini, dan aku merasa dibelenggu.” Ya, akalku mulai bekerja serta memilah antara mana yang aku suka dan mana yang tidak kusukai.
Pelan-pelan kurenungkan tiap apa yang kulihat, dengar, dan rasakan. Mengapa harus ada aturan yang mewajibkan diriku berjalan secara teratur dalam aturan tertentu. Mengapa aku harus jaga diri serta jaga sikap. Mengapa aku harus menahan diri saat berucap. Aku mulai merenungkan itu. Benarkah semua itu bertujuan agar tidak terjadi benturan? Benarkah semua itu demi keselamatan serta tak saling melukai—terutama melukai diriku sendiri. Apakah memang benar begitu? Ibarat bola, semakin keras ia dilempar ke dinding, semakin keras pula memantul pada diri sendiri. Bisa saja meleset, tapi tak menutup kemungkinan mengenai tubuh sendiri. Aku pun mulai berpikir, mengapa hidup harus begini ataupun begitu?
Di lain sisi, mengapa orang hidup harus ditanamkan nilai agama dalam dirinya? Apakah lantas dengan berpegang teguh pada agama lantas selamat dari malabahaya atau sentosa. Apakah setelah berpegang teguh pada agama lantas sejahtera dan tidak ada goncangan lahir dan batin? Dari semua yang pernah kudengar dan baca, agama menjadikan seseorang lebih terarah, tak mudah goyah dan tentunya mendapat limpah kebahagiaan dari Tuhan.
Aku terus memikirkan itu sepanjang waktu sebagai bentuk pemahaman sekaligus pembelajaran dalam menjalani hidup. Apa yang tampak kemudian memang jelas berbeda—antara si pemeluk taat ataupun bagi yang tidak taat. Soal baik buruk seseorang dalam beragama merupakan urusan pribadi masing-masing. Hati orang tidak ada yang tahu. Bahkan tidak ada yang tahu apakah amal ibadah diterima atau malah sebaliknya, tak ada yang tahu selain hanya Tuhan. Orang hanya menilai dan melihat sisi luar saja. Meski agama menunjukkan jalan yang lurus, bisa saja penganutnya berbelok-belok saat berjalan. Ada yang terjerumus, ada pula yang hanyut dibawa arus.
Ketika orang menganggapku dewasa, bukan lagi tumbuh kembang fisik yang dinilai, melainkan sikap, ucap, dan perilaku dariku. Ketika aku berbuat baik, setidaknya orang beranggapan bahwa diriku adalah orang baik. Sebaliknya, jika aku suul adab, tentu orang akan menilaiku dengan pandangan buruk. Memang begitulah hidup dalam kemajemukan, hidup dalam interaksi sosial. Terkadang sudah berbuat baik masih saja dinilai buruk, apalagi kalau berbuat buruk? Begitu banyak penilaian orang terhadap satu tindakan ataupun ucapan. Apakah salah menilai seseorang dari tampilan luar? Memang sebagian orang masih menilai dari tampilan fisik—bahkan masih menjadikan fisik sebagai persyaratan tertentu untuk urusan tertentu. Tapi, apakah dalam kemajemukan pikir, bentuk fisik masih berlaku? Mungkin. Tapi, biasanya fisik cenderung dijadikan ledekan jika kehabisan bahan. Ya, kadang ketika sudah berhadapan dengan kemajemukan pemikiran, seolah fisik sekadar jadi wadah semata. Faktanya, ketika sudut pandang berseberangan, benturan pun terjadi. Saling adu argumen untuk mencari siapa yang paling baik dan benar pasti terjadi. Sudut pandang yang keliru akan dianggap sebagai sesuatu yang salah—bahkan jika sudah terjangkit benci—beda pendapat berarti perlu dijauhi. Jika seseorang sejalan dengan pemikiran sekaligus keinginan berarti ia adalah kawan yang perlu dipertahankan. Uniknya, ketika seseorang tak sepaham sontak dituduh bodoh. Lebih luar biasa lagi, ketika orang mampu menjabarkan segala sesuatu sontak disebut cerdas. Bagaimana ini bisa terjadi? Sudahkah semua dilihat dari semua sisi? Barangkali seseorang memiliki banyak kemampuan karena didukung oleh banyak faktor internal maupun eksternal. Bisa juga karena memang mendapat anugerah dari Tuhan. Bukankah semua bisa saja terjadi di dunia ini?
Ah, makin jauh memikirkan perilaku antarmanusia, semakin memicu ketertarikan untuk berpikir keras. Selain itu, hati juga dituntut untuk membersihkan polusi pikiran atas fakta-fakta yang terjadi.
Faktanya, di balik semua apa yang tampak, tidak ada yang tahu kebenaran sesungguhnya. Memang lebih mudah menerka apa yang tampak ketimbang sebaliknya. Mengetahui apa yang terhampar, namun abai dengan apa yang tersembunyi.
Aku berkaca. Aku bertanya, “Siapakah diriku? Benarkah ini aku?”