Pengertian Diksi
Ketika menulis naskah, seorang penulis pasti akan dihadapkan dengan banyak pilihan kata agar kalimat yang ditulis terasa enak serta nyaman dibaca. Meskipun ide mengalir deras, tapi secara praktik, penulis tak serta-merta bisa menulis semua yang muncul dari dalam pikiran. Kata yang lahir harus ditata sedemikian rupa agar mudah dicerna ketika dibaca. Dalam hal ini diksi sangat berperan besar terhadap kualitas tulisan. Bagaimana mungkin sebuah karya bisa dinikmati secara tulus jika tata bahasanya tak keruan?
Barangkali di antara sekian banyak penulis pemula belum memahami apa yang disebut dengan diksi. Di dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa diksi adalah dik·si n Ling pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Benar atau tidak, faktanya karya dengan pilihan kata (diksi) yang tepat sekaligus bagus juga sangat memengaruhi tulisan bahkan mampu memberi dampak luar biasa saat dibaca. Contoh, sama-sama karya dengan jenis metropop, tapi secara penyuguhan dan diksinya kurang baik, hasil yang didapatkan pun berbeda bahkan tak baik.
Efektif atau tidak sebuah kalimat tergantung bagaimana diksi diperankan. Sederhana atau bertele-tele sebuah kalimat juga tak lepas dari pilihan kata yang ditentukan oleh penulis. Disadari atau tidak, ketepatan diksi yang dipilih dalam sebuah karya menjadi salah satu faktor kelancaran ide saat dituangkan. Semakin mahir penulis memainkan diksi, tentu saja semakin memicu imajinasi pembaca. Sebaliknya, semakin semrawut diksi dituangkan dalam kalimat, bukan hanya menghambat proses kreativitas menulis, akibat yang muncul kemudian adalah kebuntuan ide. Walaupun tulisan itu bisa diselesaikan, dampak lain dari kesemrawutan tulisan adalah ditinggalkan oleh pembaca sebelum sampai titik akhir.
Idealnya, seorang penulis harus menciptakan rasa nyaman dalam karyanya agar pembaca betah berlama-lama membaca—jika perlu tak bosan untuk membaca kedua kali, ketiga kali, keempat kali, dan seterusnya. Menjaga hasrat baca adalah tugas utama penulis, selain tugas-tugas lainnya. Salah satu cara menjaga hasrat baca itu, ya, dengan meramu tulisan dengan diksi-diksi menawan. Ide tulisan bagus tanpa diimbangi dengan diksi yang memikat, hasil yang didapatkan juga takkan sejalan dengan harapan.
Bagaimana mungkin penulis bisa mahir menulis dan tepat memilih diksi kalau tak sering-sering menulis? Menulis secara terus-menerus merupakan cara terbaik melejitkan kreativitas. Ketepatan dalam pemilihan kata tak bisa diperoleh begitu saja, perlu latihan dan keseriusan.
Sering kali dijumpai pada tulisan penulis pemula perihal penguasaan diksinya. Rata-rata mereka hanya memikirkan ketebalan atau jumlah kata di dalam karyanya, lantas apa saja yang keluar dari pikiran langsung ditulis tanpa perlu mempertimbangan apakah kalimat tersebut efektif atau tidak. Sebagian besar hanya berpikir asal naskah selesai ditulis dan siap ditayangkan. Padahal tak sesederhana itu. Masih ada tahapan lebih lanjut yang perlu dituntaskan sebelum tulisan tersebut diterbitkan. Inilah salah satu di antara maksud menanak karya. Sebuah karya harus diolah sedemikian rupa sampai benar-benar matang. Setelah matang, barulah disajikan atau disuguhkan kepada pembaca. Ibarat hidangan, diksi adalah bumbu masakan. Racikannya harus benar-benar pas agar menghasilkan cita rasa yang lezat. Jangan sampai terlalu asin, atau malah kurang asin. Jangan terlalu gurih, atau malah tanpa rasa. Semua harus proporsional. Sama halnya dalam sebuah kalimat, jangan berlebihan hingga mengakibatkan kata tak tepat guna. Boros kata itu sangat menjengkelkan sekaligus menjadi sumber utama kemunculan rasa bosan. Maka dari itulah mengapa penulis harus benar-benar menguasai diksi agar tiap tulisannya berisi dan bergizi bagi pikiran semua pembaca. Jangan sampai tulisan yang dibuat malah jadi racun dan polusi bagi pikiran ... lantas ditinggalkan.