SEPANJANG PERJALANAN MALAM | APOLOGI | SKEPTIS | SEBELUM SEMUA USAI
SEPANJANG PERJALANAN MALAM
SEPANJANG perjalanan malam
dari tepi waktu kucumbui sisi wajahmu
yang berbisik dari celah awan kelabu
Ada resah, ada rindu tersurat untukmu sang Puja
dari pena gelap nan sunyi
kutemui bayangmu lewat lorong tafsirku
tafsir dari imajiku: namun bukan khayal atau ilusi berahi
Ada seberkas cahaya cinta di sana
ada roh dan ada asa yang tulus
dari nurani—cinta atas pertemuan itu
hai, jiwa yang bersembunyi di balik labirin
di balik tepi masa: kilo dan juga mil
di tepi-tepi tak usai ujung jauh pangkalnya
Aku terjaga dari lelapku
ketika rindu menyapa
menyayati buluh hatiku;
tak mampu terpejam kelopak ini walau sesaat
oh, rindu yang sesak,
jadikan wewangian tangis
pada lapang dada seperti sabda alam
“antara nyata dan mimpi kau tetap ada: di sini.”
APOLOGI
KITA saling berbantah soal kebenaran itu
dan kita selalu disibukkan dengan segala kebenaran yang kita tafsir
dari segala hal yang menurut kita adalah sebuah kebenaran hakiki
Kita saling mendebatkan perihal pemahaman kita
tentang segala objek kebenaran
Kita mengelak dari cela
mengelak dari alpa
membantah cacat dari kebenaran atas diri
kita yang tak pernah mengalah atas kebenaran
“Manusia yang berpikir,” Begitulah kita
Tapi kita masih terlampau jauh
dari apa yang kita pikirkan
kita hanya berkelok dari jalan pintas
dari jalan yang pernah kita lalui
dari keterasingan yang jauh
dan, kita tetap memiliki alasan:
“Bahwa kita adalah hidup.”
SKEPTIS
AKU berdiri di antara ngarai-ngarai waktu
terhampar di hadapku lanskap tak berujung
kakiku terasa berat memijak kabut-kabut
lututku terasa lemah pada pakuan rotasi
Wajah malam suramkan asaku
tak kuasa mataku menyingsingkan matahari
yang bermimpi
karena matahari semakin membuatku resah
memahat hari
Aku mundur seribu abad dalam senja
aku tertinggal roda dari jejak kereta
keyakinan seperti tunas tak berdaun
mimpi hanya menjadi kenyataan yang buruk
karena ada rasa takut menangisi bumi.
SEBELUM SEMUA USAI
KAU bilang kau pejuang cinta
entah mengapa, dan sejak kapan?
kau bahkan lebih dari seorang pendusta atas diri
bahkan kau lebih dari seorang pengkhianat
atas nama cinta yang kau buat dalam bualan-bualan
tentang pesona cinta
Jangan katakan kau seorang pecinta
jika dalam dirimu tak ada se-zarah pun rasa
cinta tulus
pada cinta
kau hanya kan menjadi pembohong
di atas imaji dan hasrat
tentang indah cinta semu—syahwatmu
SEPANJANG perjalanan malam
dari tepi waktu kucumbui sisi wajahmu
Baca Juga
Ada resah, ada rindu tersurat untukmu sang Puja
dari pena gelap nan sunyi
kutemui bayangmu lewat lorong tafsirku
tafsir dari imajiku: namun bukan khayal atau ilusi berahi
ada roh dan ada asa yang tulus
dari nurani—cinta atas pertemuan itu
hai, jiwa yang bersembunyi di balik labirin
di balik tepi masa: kilo dan juga mil
di tepi-tepi tak usai ujung jauh pangkalnya
Aku terjaga dari lelapku
ketika rindu menyapa
menyayati buluh hatiku;
tak mampu terpejam kelopak ini walau sesaat
oh, rindu yang sesak,
jadikan wewangian tangis
pada lapang dada seperti sabda alam
“antara nyata dan mimpi kau tetap ada: di sini.”
Yogyakarta, 14 September 2005
APOLOGI
KITA saling berbantah soal kebenaran itu
dan kita selalu disibukkan dengan segala kebenaran yang kita tafsir
dari segala hal yang menurut kita adalah sebuah kebenaran hakiki
Kita saling mendebatkan perihal pemahaman kita
tentang segala objek kebenaran
Kita mengelak dari cela
mengelak dari alpa
membantah cacat dari kebenaran atas diri
kita yang tak pernah mengalah atas kebenaran
“Manusia yang berpikir,” Begitulah kita
Tapi kita masih terlampau jauh
dari apa yang kita pikirkan
kita hanya berkelok dari jalan pintas
dari jalan yang pernah kita lalui
dari keterasingan yang jauh
dan, kita tetap memiliki alasan:
“Bahwa kita adalah hidup.”
Yogyakarta, 14 September 2005
AKU berdiri di antara ngarai-ngarai waktu
terhampar di hadapku lanskap tak berujung
kakiku terasa berat memijak kabut-kabut
lututku terasa lemah pada pakuan rotasi
Wajah malam suramkan asaku
tak kuasa mataku menyingsingkan matahari
yang bermimpi
karena matahari semakin membuatku resah
memahat hari
Aku mundur seribu abad dalam senja
aku tertinggal roda dari jejak kereta
keyakinan seperti tunas tak berdaun
mimpi hanya menjadi kenyataan yang buruk
karena ada rasa takut menangisi bumi.
Yogyakarta, 14 September 2005
KAU bilang kau pejuang cinta
entah mengapa, dan sejak kapan?
kau bahkan lebih dari seorang pendusta atas diri
bahkan kau lebih dari seorang pengkhianat
atas nama cinta yang kau buat dalam bualan-bualan
tentang pesona cinta
Jangan katakan kau seorang pecinta
jika dalam dirimu tak ada se-zarah pun rasa
cinta tulus
pada cinta
kau hanya kan menjadi pembohong
di atas imaji dan hasrat
tentang indah cinta semu—syahwatmu
Puisi ini telah dipublikasikan di SEPUTAR INDONESIA (27/11/2005)