GERIMIS | JUMRAH | KABUT-KABUT BERGUGURAN | TADARUS
GERIMIS
I
HUJAN turun dari langit menempa keningmu yang teduh
seperti tangis malam di perbatasan fajar, basah
tangis di wajahmu lindap dalam kerudung biru
Kita getir nan lara, berjibun embun
bintik-bintik air hujan di kulitmu, menelusur sedih
menelusup tubuhmu yang berselimut darah
jenjang tubuhmu mengiggil
hangat kuku dalam dekap pelukku, malam itu
…
Kau pun tersenyum padaku
dengan untaian jemarimu yang lentik
mengelus pasi wajahku, hati berucap resah
kita hanya tersenyum pias
II
Pada gerimis senja kita berlari
di bawah daun waktu
seperti anak panah yang menghunjam sepi
kita bersembunyi di bawah atap rumah
sambil bernyanyi tentang risalah jiwa,
seperti madah-madah danau
Rasa akut tubuh kita
menjadikan kita intim; masyuk cinta
berpeluk dengan senja
bercumbu dengan gelak tawa
III
Di depan perapian kita berpeluk;
menanggalkan baju salju, hangat telanjang
pada kobaran api itu
kita tersulut asmara
Kita bercanda
dengan sepotong singkong asmara;
dalam asam mulut kita
dan, sepiring jagung bakar yang kita taburi cinta
kita pun padu dalam untaian kisah yang sekian abad telah kita hamparkan
dari tangis dan bahagia:
“Karena kita sadar bahwa itulah hakikat
kesederhanaan jiwa dalam cinta kita.”
JUMRAH
DI tengah tanah lapang
kedua tanganku mengepal, menggenggam kerikil-kerikil
kulontar debu-debu yang melekat dalam sekat rohku
terbungkus madah serapah, sirna benalu
Di tanah sahara nan lapang
kuhunjam-hunjam iblis dengan batu-batu kudus berbungkus madah
laiknya air sirnakan api
Kujernihkan roh dan ragaku dari alpa dan dina
kudekap dadaku berbait asma Agung
kuusap wajah penuh taburan embun
Aku kembali dengan membawa senyum
dari tanah Haram
seperti muara
membawa roh baru dalam endapan jiwa lusuh masa lampau.
KABUT-KABUT BERGUGURAN
KABUT-kabut berguguran semusim sendu
mengucur dari ketinggian biru bak tangis hujan
desau batu-batu, riak di lautan
mata menebar, rekat, pada titik-titik lindap
angin bertitah pada jalan hayati
dedaunan merintih terendus, sapuan badai
canda jabang bayi dalam rahimmu
berserdawa pada dahan-dahan kematian
anak-anak polos telah punah harapan
sebelum ia bisa bercerita pada cucunya
ia telah raib, tertimbun, dari bahagia
sebelum ia mengukir sejarahnya, sendiri
kematiannya bersama abu tanpa pemujaan
karena dupa jenar telah terjual oleh moyangnya,
untuk kelangsungan hidup masanya
ya, inilah hidup, jika tanpa mematikan kehidupan yang lain
maka takkan hidup
hidup dalam kehidupan
yang hidup di ambang kematian
TADARUS
I
DI tepi malam kulihat bulan
dari bingkai asma-asma Agung-Mu
kusematkan puja dan selawat
atas diri yang penuh noda
tobatku di haribaan-Mu
atas perangku pada nafsu-nafsuku yang biru
II
Kubaca suaramu dari balik tembok-tembok keangkuhanku
seperti desiran anak panah, semua menghunjam
langkahku bermuara sepi
Tuhan, dosa ini telah menjadi daging dalam ragaku,
padu hingga tak mampu kubedakan
antara diri dan dosaku
Inilah hamba yang pasrah dalam kuasa-Mu
karena diri ini bukanlah apa-apa
ya, Tuhan. Inilah pengakuanku atas nafsuku
III
Dalam tangisku,
ada air mata sesal dari perjalanan nistaku, lara
aku bergulat dengan segala hal dalam diriku:
“Tak ada perang yang lebih berat,
daripada melawan diri dan juga syahwat ini.”
I
Baca Juga
tangis di wajahmu lindap dalam kerudung biru
Kita getir nan lara, berjibun embun
bintik-bintik air hujan di kulitmu, menelusur sedih
menelusup tubuhmu yang berselimut darah
hangat kuku dalam dekap pelukku, malam itu
…
Kau pun tersenyum padaku
dengan untaian jemarimu yang lentik
mengelus pasi wajahku, hati berucap resah
kita hanya tersenyum pias
II
Pada gerimis senja kita berlari
di bawah daun waktu
seperti anak panah yang menghunjam sepi
kita bersembunyi di bawah atap rumah
sambil bernyanyi tentang risalah jiwa,
seperti madah-madah danau
Rasa akut tubuh kita
menjadikan kita intim; masyuk cinta
berpeluk dengan senja
bercumbu dengan gelak tawa
III
Di depan perapian kita berpeluk;
menanggalkan baju salju, hangat telanjang
pada kobaran api itu
kita tersulut asmara
Kita bercanda
dengan sepotong singkong asmara;
dalam asam mulut kita
dan, sepiring jagung bakar yang kita taburi cinta
kita pun padu dalam untaian kisah yang sekian abad telah kita hamparkan
dari tangis dan bahagia:
“Karena kita sadar bahwa itulah hakikat
kesederhanaan jiwa dalam cinta kita.”
Yogyakarta, 19 Oktober 2005
DI tengah tanah lapang
kedua tanganku mengepal, menggenggam kerikil-kerikil
kulontar debu-debu yang melekat dalam sekat rohku
terbungkus madah serapah, sirna benalu
Di tanah sahara nan lapang
kuhunjam-hunjam iblis dengan batu-batu kudus berbungkus madah
laiknya air sirnakan api
Kujernihkan roh dan ragaku dari alpa dan dina
kudekap dadaku berbait asma Agung
kuusap wajah penuh taburan embun
Aku kembali dengan membawa senyum
dari tanah Haram
seperti muara
membawa roh baru dalam endapan jiwa lusuh masa lampau.
Yogyakarta, 22 Oktober 2005
KABUT-kabut berguguran semusim sendu
mengucur dari ketinggian biru bak tangis hujan
desau batu-batu, riak di lautan
mata menebar, rekat, pada titik-titik lindap
angin bertitah pada jalan hayati
dedaunan merintih terendus, sapuan badai
canda jabang bayi dalam rahimmu
berserdawa pada dahan-dahan kematian
anak-anak polos telah punah harapan
sebelum ia bisa bercerita pada cucunya
ia telah raib, tertimbun, dari bahagia
sebelum ia mengukir sejarahnya, sendiri
kematiannya bersama abu tanpa pemujaan
karena dupa jenar telah terjual oleh moyangnya,
untuk kelangsungan hidup masanya
ya, inilah hidup, jika tanpa mematikan kehidupan yang lain
maka takkan hidup
hidup dalam kehidupan
yang hidup di ambang kematian
Yogyakarta, 30 September 2005
I
DI tepi malam kulihat bulan
dari bingkai asma-asma Agung-Mu
kusematkan puja dan selawat
atas diri yang penuh noda
tobatku di haribaan-Mu
atas perangku pada nafsu-nafsuku yang biru
II
Kubaca suaramu dari balik tembok-tembok keangkuhanku
seperti desiran anak panah, semua menghunjam
langkahku bermuara sepi
Tuhan, dosa ini telah menjadi daging dalam ragaku,
padu hingga tak mampu kubedakan
antara diri dan dosaku
Inilah hamba yang pasrah dalam kuasa-Mu
karena diri ini bukanlah apa-apa
ya, Tuhan. Inilah pengakuanku atas nafsuku
III
Dalam tangisku,
ada air mata sesal dari perjalanan nistaku, lara
aku bergulat dengan segala hal dalam diriku:
“Tak ada perang yang lebih berat,
daripada melawan diri dan juga syahwat ini.”
Puisi ini telah dipublikasikan di SOLOPOS (22/01/2006)