TRAGEDI SUATU MALAM | DUA DIMENSI | SEMESTINYA KITA I | SEMESTINYA KITA II | BULUH PERINDU | MASA TUA - Anam Khoirul Anam Official -->

TRAGEDI SUATU MALAM | DUA DIMENSI | SEMESTINYA KITA I | SEMESTINYA KITA II | BULUH PERINDU | MASA TUA

TRAGEDI SUATU MALAM
PADA suatu malam yang hening, ketika rembulan menggantung di temaram langit, di antara ranting-ranting ranggas dan tua, beberapa ekor hering bertengger dengan sorot tajam. Sesekali ia mematuk dahan membersihkan sisa darah di paruhnya sehabis memangsa bagkai binatang yang lolos dari buruan. Binatang itu tewas setelah bersusah payah melawan luka di tubuhnya yang kian parah. Ia berusaha melawan maut. Ia terkapar setelah gagal mencabut anak panah yang tembus ke jantungnya.

Alam sekitar yang melihat seperti tak mampu berbuat apa-apa selain memandang dengan penuh rasa iba. Hanya rerumputan hijau yang menyediakan diri sebagai tempat peristirahatan terakhir baginya. Kesedihan itu semakin menjadi-jadi setelah hering datang dan menyantap habis seluruh dagingnya—menyisakan tulang belulang berserakan. 

Sayangnya, tragedi itu belum terhenti sampai di situ. Sekawanan anjing datang lalu membawa tulang belulang itu ke segala penjuru, di sudut-sudut bumi. Alam raya menundukkan wajahnya sebagai ungkapan dukacita.

Binatang itu adalah domba yang hampir saja melahirkan anaknya. Tak sebatas itu, ia juga meninggalkan ketiga anaknya di hutan belantara untuk mencari makan sesaat sebelum menyerah pada takdir—entah kini bagaimana nasibnya setelah ia tewas secara tragis. Entah, apakah anak-anaknya dijarah para pemburu, atau justru bisa menyelematkan diri masing-masing. Ia hanya ingat seruan pada anak-anaknya untuk segera lari dan menyelamatkan diri ke dalam hutan.
Yogyakarta, 29 Mei 2013

DUA DIMENSI
BAGAIMANA kamu akan memberi makna
atau arti dalam menjalani hidup bila berjalan secara kosong
bukankah gelas itu takkan pernah memulihkan dahaga
bila tanpa ada air di dalamnya?

Tentu setetes air takkan pernah ada
bila sumbernya telah mengering
mata air sama sekali tak terpengaruh oleh cuaca,
sebab ia bisa muncul kapan saja bahkan ada di mana saja,
hanya kerakusan yang hentikan alir air
bukan karena tak ada, melainkan dihentikan

Jika saja kamu mencari, pasti akan menemukan
ia berada di tempat yang jauh
mungkin harus mematahkan tulang belulangmu
sebagai tebusan dan penyadaran

Apa yang tereguk olehmu bisa jadi merupakan rentetan kehidupan
dari inti terkecil, lalu sampai pada dirimu, dan akhirnya kembali
pada muasal kehidupan sebenarnya

Apakah kelak kamu akan sampai pada hakikat keberadaan,
atau justru akan hidup dalam ketiadaan?
sibaklah ke dalam lubuk terdalam jiwamu!
setidaknya kamu akan menemukan
antara yang keruh dan yang jernih
kamu juga akan menemukan sosok dirimu
atau justru orang lain yang hidup dalam dirimu.
Yogyakarta, 29 Mei 2013

SEMESTINYA KITA I
HATI adalah cahaya yang akan menerangi
bentuk-bentuk pemikiran abstrak
ia takkan menyamarkan mawar dari kegelapan,
sebab aroma itu takkan pernah berdusta
bagi penciuman yang tajam
ia juga takkan mengubah madu menjadi air tawar,
terkecuali racun yang telah larut di dalamnya,
maka kebinasaan hanya menjadi milik mereka yang telah mereguknya
ia juga takkan mencelupkan jemari tangannya yang telah berlumur tanah
ke dalam bejana berisi air jernih,
sebab takkan ada seorang pun mengambil manfaat darinya

Seorang penderma takkan mengambil kembali hartanya,
terlebih menjarah kembali dari tangan fakir-miskin,
sebab sama artinya ia menghujamkan pedang ke dadanya,
terkecuali bagi mereka yang terus menyebut kebaikan itu pada orang lain
bermaksud menyombongkan diri,
mereka tak lebih seperti hering pemakan bangkai

Keyakinan itu tidak ada dalam kata-kata,
tidak pula dalam pikiran-pikiran,
tapi pada hati, jiwa, yang diwujudkan dalam tindakan sebenarnya
bagaimana mungkin kuda disebut keledai walau wujudnya serupa?
kuda memiliki kecerdasan, ketangguhan, dan memiliki wibawa,
sedangkan keledai adalah sebaliknya
dan itulah perumpamaan antara mereka yang benar-benar mencintai
dan mereka yang hanya sekadar ingin mencari pelampiasan
atas kepuasan hasrat nafsu binal
Yogyakarta, 29 Mei 2013

SEMESTINYA KITA II
SEMESTINYA jiwa kita melebihi luasnya samudra,
dan hati kita melebihi dalamnya lautan
semestinya pula pikiran kita melebihi luasnya jagad raya,
dan kita menjadi bagian di dalamnya,
maka kita akan menjadi manusia seutuhnya
seperti apa yang diinginkan oleh Tuhan

Kita adalah kehidupan yang telah Tuhan ciptakan
untuk menjadi pemimpin bagi diri sendiri dan bagi semesta
bagaimana mungkin alam semesta ini jatuh
dan berada dalam genggaman mereka yang jiwanya dangkal
terlebih pikirannya terbatas pada ruang
—di dalamnya sarat nafsu keserakahan?
pastilah laju kehidupan akan dipenuhi prahara

Akan ada banyak darah tertumpah
untuk memenuhi kepuasan semu itu
akan ada banyak air mata menggenang
hingga kaki penuh dengan simbah darah
bercampur keringat

Jiwa-jiwa kejam akan senantiasa menebarkan benih kebencian
di ladang, sawah, atau tanah lainnya agar tumbuh jelmaan iblis
hingga kelak akan sulit membedakan antara manusia dan setan jahanam.
Yogyakarta, 29 Mei 2013

BULUH PERINDU
BULUH perindu mengalir lewat lorong senyap
serasa memugar kembali serpihan tawar di titik nadir
suara-suara lirih itu berubah menjadi rusuh dan gaduh
laju pikir yang keruh tak mampu tertepis
sebab derapnya begitu deras menghujani lantai kesendirian
yang terus diringkus sepi

Burung-burung imajiner terbang berkeliaran
di langit-langit pikiran lalu mematuk dinding-dinding kepala
hingga menghasilkan harmoni yang sangat kacau balau

Kiranya ini bukan mozaik yang mempercantik lubang-lubang
pada dinding hati ketika sedang dilahap rindu berbalut asmara
ini bukan pula kisah romantika antar sejoli yang dikecam
karena jalinan cintanya dianggap sundal
tapi ini adalah bunga sundal yang senantiasa
semerbakkan aroma wangi ketika malam menjelang

Buluh perindu itu telah memilin riang hati
dalam keliman rasa yang terhampar bak renda para pujangga
di antara kemabukan bait syairnya pada sang kekasih.
Yogyakarta, 06 Juni 2013

MASA TUA
BAGAIMANA jika tubuh ini mulai menyurut kekuatannya,
meringkih, dan mulai terjangkit penyakit. Bisa jadi tak banyak hal
yang akan diperbuat selain hanya duduk di atas kursi roda,
atau bertumpu pada sebatang kayu untuk menuntun, memapah, jejak langkah
bahkan mungkin satu demi satu semua akan memisah,
berkurang atau bahkan menjauh, termasuk rasa dan perhatian

Tidak! Tak ada yang salah dalam hal ini,
termasuk kehendak Tuhan atas diri ini,
sebab memang inilah kenyataan di hari tua,
di mana semua akan kembali pada masa-masa kesendirian
dan mengandalkan kemampuan diri sendiri

Sanak saudara, anak, dan lainnya memiliki urusan masih-masing
yang wajib ditunaikan. Alangkah tak pantas memberatkan mereka
yang sebenarnya masih merasakan beban berat menuju masa depan

Inilah masa tua, di mana hari-hari akan terlewati
dengan melawan sunyi hingga maut datang menjemput

Biarlah jasad ini akan kembali ke asalnya dalam rupa sepantasnya.
Yogyakarta, 06 Juni 2013

Puisi ini telah dipublikasikan di WAWASANEWS (08/07/2013)


Berlangganan update artikel terbaru via email:




Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1


Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel