SEORANG IBU DAN PUTRINYA YANG GILA
BARANGKALI inilah di antara keanehan-keanehan yang aku temukan dalam hidupku. Siang itu, aku mampir ke sebuah rumah yang sangat sederhana, bahkan jauh lebih sederhana dari rumah-rumah penduduk yang mukim di desa kami. Jika ada waktu, aku memang menyempatkan diri untuk silaturahim ke rumahnya. Sesekali waktu, aku juga membawakan beras, atau bahan makanan lainnya. Nasib hidup yang ia jalani mungkin tak jauh lebih baik dari jalan kehidupanku, sekalipun belum tentu aku jauh lebih baik darinya. Ia menjadi janda sudah hampir 10 tahun lamanya.
Setelah beruluk salam dan daun pintu terkuak lebar, sesosok perempuan paruh baya mempersilakan diriku masuk ke ruang tamu. Kami saling berbincang ringan. Laun Perempuan itu mengisahkan sesuatu padaku tentang kehidupan yang pernah ia tempuhi semasa muda atau setelah ia berkeluarga, bahkan sampai memiliki anak. Cerita yang diulang tiap kali aku datang ke rumahnya.
“Bertahun-tahun kami bertahan dalam kondisi seperti ini. Kami tak mengeluh, atau menyesali semua yang telah diberikan pada kami. Mungkin memang sudah seperti inilah jalan hidup kami. Kami sudah pasrah dengan ketentuan yang ditulis oleh Tuhan atas nasib kami,” tuturnya, mengisahkan sedikit rasa getir yang ia rasakan.
Sepuluh tahun yang lalu putranya meninggal dengan cara tragis. Ia ditemukan tewas tergantung pada pohon besar di sebuah hutan. Hingga bulan berganti tahun, belum dikatehui sebab musabab putranya meninggal dengan cara yang tak wajar seperti itu. “Sebelum kejadian itu, aku memang mendapat firasat buruk, tapi aku tak tahu firasat apakah itu. Aku menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar terjadi. Selama hidupnya, ia tak punya musuh,” ungkapnya pada kami. “Beberapa hari sebelum ia meninggal, aku tahu kalau dia sedang bertengkar hebat dengan istrinya. Apa masalah yang sedang melanda keluarganya, aku sendiri juga kurang tahu pasti, sebab dalam urusan rumah tangga, aku tak ingin ikut campur terlalu jauh dan terlalu dalam turun tangan atas masalah mereka sekali pun mereka adalah anak sekaligus bagian dari keluargaku. Aku hanya memerankan kewajiban sebagai orang tua bagi mereka tanpa harus masuk lebih jauh dalam lingkaran kehidupan pribadi mereka.”
“Tak pernah terlintas di benakku atau berpikir jika kematiannya disebabkan oleh pertengkaran rumah tangganya, karena menurutku pertengkaran dalam rumah tangga itu wajar terjadi,” lanjutnya. “Sama sekali tak terlintas di pikiranku jika ia harus pergi dengan cara seperti itu.” tampak kedua matanya berkaca-kaca.
“Aku tahu betul jika putraku cukup tangguh, kuat, pekerja keras, dan suka menolong orang lain. Selain itu, ia juga sering mengajar anak-anak mengaji di Surau tiap sore hari. Dia akan pulang ke rumah selepas isya, berkumpul dengan istrinya, lalu di seperempat malam ia kembali lagi ke Surau untuk menunaikan salat tahajjud. Hingga matahari setinggi tiga tombak, ia akan pulang dan bekerja menggarap lahan sawah atau ladangnya. Itulah keseharian yang kuketahui dari putraku, selain itu hanya merekalah yang tahu menahu persoalan biduk rumah tangganya.”
Nenek minta izin sebentar padaku untuk menengok keadaan putrinya di sebuah kamar yang terletak agak jauh dari ruang tamu.
Putrinya sedang mengalami gangguan mental. Dia seperti itu karena tindakan asusila yang dilakukan oleh seseorang yang dulu pernah singgah di kampung kami. Kabar yang kudengar dari mulut ke mulut terasa simpang-siur, bahkan semakin berkembang kabar tersebut semakin memburamkan kebenaran kabar itu sendiri. Ketika kudengar cerita dari nenak bukan lagi kronologi kasus, namun lebih pada curahan hati yang sedang melanda keluarga, terutama nasih putrinya.
Kasus itu telah dilaporkan dan sudah ditangani pihak aparat, namun karena penanganan yang sangat lambat, kasus itu menjadi kadaluwarsa dan tidak bisa dilanjutkan kembali dalam persidangan pengadilan. Lelaki biadab itu bebas dari jeratan hukum, dan begitu leluasa berkeliaran ke mana pun sesuka hati.
Atas ketakadilan yang dialami, Nenak meminta keadilan langsung pada Tuhan yakni dengan berjalan kaki ke Tanah Suci. “Kami tidak meminta keadilan atas musibah yang telah menimpa kami diperlihatkan atau dipertunjukkan di alam ini, karena kami sadar bahwa takkan sanggup ummat manusia menerima kekuatan kebenaran serta keadilan yang datang langsung dari Tuhan,” kata Nenek saat ditanya warga sepulang dari Tanah Suci; tempat di mana semua orang meyakini bahwa tak ada satu pun keinginan yang disampaikan pada Tuhan, di Tanah Suci, yang tak terkabulkan.
“Maaf jika terlalu lama menunggu.”
“Tidak apa-apa, Nek.” sahutku.
Nenek kembali mengisahkan perjalanan hidupnya padaku. “Kami telah ikhlas dengan hidup yang kami jalani saat ini. Kami yakin bahwa Tuhan tak pernah memejamkan mata untuk kami. Tuhan selalu mencukupkan segala apa yang kami butuhkan atas usaha dan doa yang terus kami panjatkan tiap waktu,” ucapnya dengan tatapan datar.
“Kami tak pernah menganggap bahwa semua peristiwa yang menimpa kami merupakan bencana atau petaka bagi keluarga kami, namun kami lebih memaknai hal itu sebagai ujian atas iman, kesabaran, dan kesungguhan hati atas cinta yang tulus kami persembahkan kepada Tuhan.”
Kemudian ia menceritakan bagaimana perjalanan menuju Tanah Suci dengan berjalan kaki. Sementara ia mencari keadilan kala itu, untuk sementara waktu putrinya ia titipkan pada sanak saudara yang bersedia membantu dan menampung. “Mereka hanya bisa membantuku dengan cara seperti itu. Bagiku, hal itu sudah lebih dari cukup daripada bantuan apa pun yang berupa materi,” kenangnya.
Butuh berbulan-bulan baginya untuk sampai ke Tanah Suci. Ia hanya membawa keyakinan membaja dalam dirinya. Barangkali karena keyakinan itulah hingga ia bisa sampai pada tujuannya.
“Suatu hari, ketika aku singgah di sebuah kota, aku berteduh dan bermalam di sebuah Masjid. Di sana aku bertemu dengan seseorang, yang kemudian memberi jalan kemudahan bagiku untuk bisa sampai ke Tanah Suci. Dia memiliki nadzar atas kelahiran putranya, “Jika aku punya anak laki-laki kelak, aku bernadzar untuk menaikkan haji seseorang. Sekarang kukira aku sudah menemukan orang yang aku maksud itu, yakni: Ibu,” begitu kata orang itu ketika kami saling bertukar kisah. Dan, alhamdulillah, akhirnya aku bisa tiba di sana dengan selamat tanpa kendala. Aku yakin bahwa itu adalah pertolongan yang diberikan oleh Tuhan padaku lewat perantara orang tersebut.”
Kisah itu cukup membuat perasaanku teraduk-aduk.
***
“DI sana aku berdoa: “Ya Allah, Tuhan Semesta Alam, Tuhan Yang Merajai seluruh alam semesta, aku datang ke tempatMu untuk memohon keadilan atas kehidupanku dan juga keluargaku. Aku telah mengikhlaskan tubuhku, batinku, perasaanku, dan juga jiwaku untuk terus berada dalam lingkaran-Mu. Aku tak pernah mengeluh melebihi batas; sekali pun sebagai manusia biasa aku tak bisa memungkiri bahwa aku akan mengeluh dan tak bisa menahan semua ujian hidup sendirian. Ketika Kau mengambil suamiku, lalu anak laki-lakiku, dan menguji hidupku dengan ketergangguan mental putriku. Aku mencoba untuk terus bersabar dan tabah menerima semua itu hanya karenaMu. Sebab kuyakin bahwa Engkau tiada pernah membiarkan hidupku dalam penderitaan. Aku menyadari bahwa Engkau sedang menguji kesiapan jiwaku untuk menerima hakikat kebahagiaan hidup itu sendiri. Aku yakni bahwa dengan cara mengambil satu demi satu apa yang ada di sisiku merupakan bagian dari ujianMu atas hidupku. Aku sadari bahwa kebahagiaanku bukan terletak pada gelimang kemewahan harta benda duniawi, bukan pada apa pun yang aku terima di dunia ini, sebab semuanya adalah titipan dariMu. Sekarang, kepasrahanku telah aku kembalikan padaMu di Tanah Suci ini. Hanya kepadaMu aku berserah diri dan berlindung dari segala malabahaya yang tampak maupun yang tak tampak.”
Beberapa hari setelah ia berdoa di dekat Kakbah, ia mendapatkan pengalaman spiritual yang membuat sekujur tubuh tercengang; antara sadar dan tak sadar.
“Siang itu, aku tengah berjalan sendiri di hamparan pasir. Di gurun sahara itu aku tak melihat tanda-tanda kehidupan, dari ujung hingga ke ujung yang kusaksikan hanyalah hamparan padang pasir. Banyak kulihat fatamurgana merayuku untuk lari mendekat. Pepohonan yang tumbuh di sana hanya meranggas tanpa sehelai daun pada cabang atau rantingnya. Bahkan ada yang tumbang memperlihatkan akar tunggangnya yang mulai lapuk. Badai pasir sering menerpaku hingga tubuhku terselimuti oleh pasir-pasir lembut.
“Jauh di depan sana aku melihat gelembung air yang menggumpal. Aku ingin meminum air itu untuk pulihkan dahaga yang mencekik kerongkonganku, namun aku ragu. “Apakah kau yakin bahwa apa yang sedang kau lihat adalah sebenarnya Air atau justru fatamurgana,” tanyaku dalam batin. “Bukankah kita seringkali tertipu oleh penglihatan kita sendiri? Bukankah dunia menipu kita lewat penglihatan awam dan telanjang kita?” terang batinku. Aku hanya diam seribu bahasa di tanah gersang itu. Hingga senja hampir tenggelam aku masih terpaku di sana sampai datanglah seorang lelaki tua dan pemuda berbusana serba putih bersih menghampiriku,” kenangnya.
Sungguh betapa sangat terkejut ia ketika mengetahui bahwa lelaki dan pemuda itu adalah suami dan anak-laki-lakinya.
“Aku sangat terkejut setelah mengetahui jika kedua orang itu adalah sosok suami dan juga putraku,” kisahnya padaku.
Lalu ia menuturkan percakapan yang terjadi di antara mereka kala itu.
“Bukankah kalian sudah tiada?”—Kutanya mereka berdua.” Ia mencoba menirukan dialog saat itu.
“Kami memang sudah tiada. Kami datang untuk membawa kabar bahagia untukmu.”
“Kabar apakah itu?”
“Doa yang telah kamu panjatkan. Keadilan yang kamu pinta telah dikabulkan.”
“Benarkah? Keadilan seperti apakah yang sudah dikabulkan atas do’aku?”
“Kamu tidak perlu tahu keadilan apakah itu, tapi keadilan yang kamu pinta saat ini sudah terjadi pada orang-orang yang telah berbuat zalim padamu dan juga keluarga kita.”
“Benarkah?”
“Ya. Tapi kamu tidak akan pernah melihat semua secara langsung atas peristiwa itu, sebab hal ini adalah merupakan kehendak Tuhan yang dirahasikan untukmu.”
“Baiklah. Aku yakin dan percaya akan hal itu sekalipun aku tak melihat secara langsung.”
“Sekarang rawatlah putri kita. Dia mungkin sudah ditakdirkan hidup seperti itu. Jalan kesembuhan baginya masih butuh waktu lama, jadi rawat ia sebagaimana mestinya. Ingatlah bahwa ia adalah amanah yang dipercayakan padamu. Jangan sia-siakan dirinya walau apa pun situasi dan kondisi yang ada. Percayalah bahwa Tuhan memiliki banyak cara untuk menyelamatkan kita dari bencana atau malabahaya.”
***
TAMPAK Nenek menitikkan bening air matanya. Laun airmata itu jatuh berlinang ke hamparan pipi yang mulai ditumbuhi kerut karena keriput. “Setelah perpisahan itu hatiku tiba-tiba perih walau ada senyum menyungging di bibirku,” kenangnya.
“Setiba di kampung ini, aku memang tidak mendengar kabar apa pun. Semua tampak seperti biasa, tak ada kejadian luar biasa, atau berita apa pun yang terjadi di kampung ini. Semua masih berjalan normal seperti biasa, bahkan tak ada kabar kematian atau kelahiran selama aku pergi hingga aku pulang dari Tanah Suci,” ungkapnya.
Kisah yang dituturkan oleh Nenek benar-benar membuka sisi lain pemahamanku dalam memaknai kehidupan.
Menginggat hari sudah hampir magrib, aku undur diri. Aku pamit.
“Jika ada waktu sering-seringlah berkunjung ke rumah ini!” pinta Nenek padaku sebelum aku benar meninggalkan pekarangan rumahnya.[]
Yogyakarta, 19 Desember 2013
Cerpen ini telah dipublikasikan di NEWS SABAH TIMES (19/01/2014)