SYEKH MUSA DAN ANJINGNYA
SYEKH Musa baru saja keluar rumah pagi itu. Tiap pagi ia berangkat ke kebun atau sawah seusai memberi makan ternak, berihat ketika salat Zuhur, berangkat lagi ke sawah dan pulang sebelum salat Asar. Caping di kepalanya belum terganti walau sudah compang-camping dan usang. Sebuah cangkul menggantung di bahunya. Di tangan kanan ada sebilah arit, sedangkan di tangan kiri menenteng cerek. Sedangkan di belakang seekor anjing sedang membuntuti gerak langkahnya. Anjing itu berusia ratusan tahun. Padahal normal usia anjing secara umum di kampung tersebut paling lama antara lima sampai sepuluh tahun. Tapi tidak untuk anjing milik Syekh. Sebagian orang menganggap bahwa anjing tersebut bukan sekadar anjing biasa. Konon, anjing tersebut dahulu ditemukan oleh Buyut keluarga syekh Musa di hutan sewaktu hujan lebat. Anjing itu menggonggong secara terus menerus bersamaan dengan petir yang menyambar-nyambar. Buyut akhirnya merawat anjing itu dengan baik dan mengamanahkan secara turun-temurun kepada anak-anaknya sampai lebih dari tujuh turunan. Sebagian orang mengatakan bahwa anjing itu adalah jelmaan. Ada pula yang mengatakan sebagai malaikat dalam perwujudan lain. Dan masih banyak lagi pendapat para warga perihal keberadaan anjing tersebut hingga kini. Anehnya, anjing itu hanya mau tinggal di rumah keluarga syekh Musa. Anjing itu tidak mau pindah pemilik sekalipun ada warga yang berniat merawat secara suka rela. Tapi usaha itu gagal karena anjing tersebut kembali lagi ke rumah semula, rumah keluarga syekh Musa.
Perlakuan serta sikap warga terhadap keluarga syekh Musa juga sangat berbeda, termasuk dalam menjaga tutur kata. Warga yang berpapasan di jalan akan menundukkan pandangan sembari mengangguk penuh senyum sebagai bentuk penghormatan. Para warga begitu takzim terhadap keluarga syekh Musa. Tak ada yang tahu secara pasti mengapa keluarga syekh Musa disebut sebagai keluarga malati dan begitu disegani. Sebutan dan semua itu terjadi secara turun temurun. Keluarga syekh Musa bukan keturunan Arab, bukan pula keturunan priayi atau kalangan alim ulama. Bukan pula dari kalangan kaya raya. Keluarga syekh Musa adalah kaum biasa, kaum jelata. Berpenampilan sederhana dan apa adanya. Warga merasa bahwa syekh Musa memiliki ilmu laduni . Hal itu terbukti ketika suatu hari syekh Musa berkata pada salah seorang warga yang hendak ke sawah, “Lindungi kepalamu dengan caping!” Hanya itu yang dikatakan tanpa memberi alasan mengapa harus memakai caping ketika ke sawah. Sehari setelah itu terdengar kabar bahwa warga yang ditegur tersebut meninggal karena disambar petir. Kepala remuk dan tubuhnya hangus terbakar. Di hari yang lain seorang warga juga hanyut terbawa arus karena mengabaikan perkataan syekh Musa agar tidak mandi di sungai menjelang magrib. Ada juga anak-anak yang disembunyikan makhluk halus karena main petak umpet di waktu magrib, padahal sudah berulangkali Syekh menegur supaya tidak keluyuran di waktu petang. Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang kemudian membuat warga menuruti perkataan dari Syekh. Terkadang warga butuh menguraikan apa yang dikatakan oleh Syekh agar tak sesat laku dan sesat pikir. Entah cara semacam itu disengaja oleh Syekh, atau karena memang warga kurang sempurna menangkap serta memahami makna dari ucapan tersebut. Kata-kata yang disampaikan hanya sebatas isyarat.
Suatu hari ada yang mencoba menantang seberapa hebat kedigdayaan Syekh. “Anak muda, kuakui kamu lebih hebat dariku. Namun alangkah lebih baik urungkan saja niatmu itu. Sebab keinginanmu justru akan membuatmu celaka. Ketahuilah bahwa kebencian dimulai dari amarah. Ketika amarah tak bisa dikendalikan maka kebencian akan menutup segala pandangan kebenaran dari dalam diri sendiri. Seseorang yang tak mampu menahan amarah akan senantiasa berjalan dalam kebencian sepanjang hidupnya. Amarah adalah api dan kebencian adalah batu dalam diri manusia. Selama amarah dan kebecian ada dalam diri maka akan sulit untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan. Selamanya ia akan hidup dalam penderitaan yang dibuat oleh diri sendiri. Jangan turuti amarahmu, sebab kamu akan menjadi budak kebencian. Percayalah, Nak!” kata Syekh ketika mendapat tantangan tersebut. Pemuda itu tak peduli, ia nekat. Pemuda itu bukan hanya menantang kekuatan fisik, tapi juga ilmu pengetahuan. Warga yang turut hadir menyaksikan hanya mencibir pemuda tersebut, “Anak bau kencur! Seberapa hebat kemampuanmu hingga berani menantang Syekh. Aku yakin ilmu dan kekuatanmu belum seberapa jika dibandingkan dengan milik Syekh. Aku berani bertaruh, jika kau menang, akan aku beri kau makan seumur hidup. Tapi jika kalah, kau akan kugelandang. Akan aku arak kau keliling kampung.”
Sama sekali bukan skenario drama, pemuda itu kalah telak serta pulang dengan rasa malu karena diarak warga keliling kampung. Pemuda itu kalah dalam banyak hal, dari adu fisik hingga adu ilmu pengetahuan. Awalnya, Syekh melarang, namun kekuatan massa tak bisa dicegah. Sebulan setelah uji kemampuan, pemuda itu diketahui telah gila. Ia menggelandang sepanjang jalan.
Kehidupan Syekh memang sederhana. Rumahnya bukan dibangun dengan tembok marmer, bahkan bukan dari batu bata atau batako. Rumahnya dari gedek dan gebyok . Atapnya sebagian dari anyaman jerami. Rumah itu dihuni sembilan orang, termasuk Syekh. Banyak warga menawarkan jasa baik untuk memperbaiki rumah, namun ditolak. Syekh menolak bukan karena sombong, namun tak ingin bermegah-megah dalam menjalani hidup. “Semakin banyak harta yang kita bawa, semakin berkurang kebahagiaan yang didapatkan. Justru semakin bertambah beban yang kita tanggung dari tumpukan harta tersebut. Hidup kaya diperbolehkan asal tidak berlebihan,” ujar Syekh.
Suatu malam anjing Syekh menyalak hingga subuh. Tiap kali anjing milik Syekh menyalak, sontak melahirkan kehawatiran dalam diri para warga. Jika sudah demikian, hal itu bertanda bahwa akan terjadi peristiwa buruk. Akan terjadi bencana atau petaka. Benarlah pertanda buruk itu datang. Banjir bandang menerjang kampung tersebut. Rumah-rumah disapu habis. Warga yang mengabaikan seruan untuk naik serta mengungsi ke rumah Syekh dan justru lebih memilih menyelamatkan harta benda harus merelakan diri hanyut terseret banjir. Lagi-lagi, ketika pertanda buruk dan bencana menimpa kampung, rumah Syekh menjadi tempat pengungsian paling aman bagi para warga. Selain karena lokasi yang berada lebih tinggi dari rumah warga, rumah Syekh tak mudah tumbang diterjang angin atau ambruk digoyang gempa. Rumah itu umurnya hampir sama tua dengan kampung tersebut. Buyut syekh Musa adalah orang yang babat alas di kampung itu.
“Bapak dan ibu sekalian jangan terlalu mudah terhasut oleh takhayul. Sering kudengar jika anjing ini menyalak pasti dikaitkan dengan tanda-tanda datangnya sebuah bencana. Memang ada kalanya benar, namun jangan mudah percaya pada hal-hal semacam itu. Itu sama sekali tidak dibenarkan. Percayalah pada kuasa Tuhan! Sebab hanya Dia yang mengatur alam semesta ini. Kalaupun toh anjing ini menyalak, bisa jadi ia sedang lapar atau mungkin karena hal-hal lain,” terang Syekh sewaktu menjelaskan pada warga yang panik karena mengira akan ada bencana setelah mendengar anjing tersebut menyalak secara terus menerus. Padahal tanpa sepengetahuan warga, anjing itu sedang kelaparan, pasalnya sedari siang lupa tidak diberi atau disediakan makanan. Waktu itu keluarga Syekh bepergian dan sampai di rumah hampir subuh. Wajar jika keluarga Syekh terkejut mendapati warga sedang berkumpul di pelataran rumah dengan wajah diliputi kepanikan. “Kami kira sedang terjadi sesuatu dengan rumah kami. Ah, ternyata bapak-ibu sekalian hanya tertipu oleh rasa lapar anjing kami. Maafkan anjing kami! Maaf atas kejadian ini hingga membuat bapak dan ibu sekalian merasa terganggu,” imbuh Syekh meredam kehawatiran dari para warga. Para warga kembali ke rumah masing-masing dengan rasa lega.
Ada peristiwa lain yang benar-benar mengherankan. Pernah suatu hari seorang warga pendatang mencoba meracuni anjing milik Syekh karena dianggap mengganggu tidurnya. Warga pendatang itu secara diam-diam menaruh tulang yang sudah dilumuri racun. Secara diam-diam pula ia menaruh tulang beracun itu di dekat rumah Syekh. Ia berharap anjing itu menjilati tulang beracun setiba di rumah setelah menemani Syekh dari sawah. Namun siapa nyana jika kenyataan berbalik, justru yang terjadi adalah senjata makan tuan. Warga pendatang tersebut mati keracunan akibat ulah sendiri. Mula-mula, ia mengira sehari setelah memasang perangkap anjing milik Syekh akan makan tulang beracun lalu mati, nyatanya ia masih mendengar suara gonggongan dari rumah syekh Musa. Ia kembali memasang perangkap secara diam-diam, namun ia lupa mencuci tangan setelah itu. Setiba di rumah ia langsung menyeruput kopi buatan istri dan melahap pisang goreng kesukaannya. Racun itu bereaksi secara cepat. Ia menyerang sel-sel darah. Menyerang tubuhnya hingga racun itu mencapai puncak dan menjadi penyebab kematian bagi warga pendatang tersebut. Nyawanya tak tertolong. Ia mati dengan mulut mengeluarkan busa bercampur darah.
“Maafkan suami saya. Ia telah bertindak ceroboh. Ia telah lancang ingin meracuni anjing milik Jenengan , Syekh. Saya mewakili suami dan keluarga ingin meminta maaf atas sikap yang sudah dilakukan oleh almarhum,” ujar Salamah sembari berisak tangis meminta maaf atas kekhilafan suaminya. Ia mengetahui hal itu dari ucapan suaminya sebelum mengembuskan napas terakhir.
Syekh memaafkan sepenuh hati. Ia juga mendoakan almarhum agar mendapat ampunan dari Sang Maha Kuasa.
Begitulah karisma syekh Musa. Ada banyak kisah perihal kehidupan syekh beserta keluarga. Walau sering memberikan petuah-petuah bijak pada para warga, namun ia tidak mau mengajarkan ilmu yang dimiliki secara formal. Tak mau mengikat juga tak mau diikat. Ia lebih suka mengajarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki tanpa keterikatan waktu. Kadang ia menyampaikan pengetahuan yang dimiliki di sawah sewaktu rihat kerja. Kadang melakukan hal itu setelah menunaikan salat lima waktu di emper musala. Atau di mana saja selama masih ada kesempatan. Ia tak mau disebut sebagai guru agama. Ia tak mau dijadikan pemuka agama di kampung tersebut sekalipun wibawa, ilmu, dan pengaruhnya jauh lebih besar serta dihormati warga daripada pejabat desa setempat. Ia tak gila gelar tertentu sekalipun para warga menyebutnya dengan Syekh. Ia tak gila harta, terlebih kekuasaan. Ia ingin berdiri sama dengan para warga. Merebah sama posisi dengan para warga.[]
Yogyakarta, 11 Oktober 2014
Sajak ini telah dipublikasikan di MASTERPOEM (Edisi IV April 2016)