SILAP
TERLALU banyak peristiwa memilukan kulihat di desaku. Kasus pencurian atau perampokan kian hari semakin merajalela. Pemerkosaan, perselingkuhan, bahkan pembunuhan nyaris terjadi tiap hari. Kriminalitas seakan menjadi hal biasa terjadi di desaku akhir-akhir ini. Entah tanda-tanda apa itu?
Desaku sedang sakit. Tentu saja, apa yang sekarang terjadi jauh berbeda dengan 10 tahun silam. Kehangatan antarwarga cukup harmonis dan dinamis. Satu sama lain saling tolong menolong dalam kebaikan. Tak ada tanda-tanda perpecahan. Semua rukun dan damai. Entah apa yang memicu perubahan interaksi sosial di desaku kini. Akhir-akhir ini banyak orang begitu mudah tersulut emosi. Ada yang menyebut orang-orang di desaku kini ibarat bom bersumbu pendek. Mudah tersulut emosi dan akhirnya meledaklah ucapan tak keruan hingga tak pelak timbul permusuhan. Tak sedikit pula orang yang begitu mudah menuduh orang lain tanpa perlu tabayun.
Sebelum aku memutuskan pergi ke Kalimantan tahun 2001, kondisi desa masih baik-baik saja. Siapa nyana jika desaku berubah suram dan dipenuhi onar. Menuding aparat desa karena tidak becus memimpin dan mengembalikan stabilitas desa seperti sediakala, rasanya tak tepat. “Sudah ada upaya pencegahan, namun sulit untuk dikembalikan dan dihentikan, Zul.” Begitu keterangan pak Lurah saat kutanya ikhwal kaos yang sudah terjadi di desa. Semua telanjur terjadi dan sulit untuk bisa dikendalikan serta dikembalikan dalam waktu singkat.
Kabar buruk yang menimpa desaku memang sudah kudengar sejak lama, namun aku belum sepenuhnya yakin dengan kabar angin yang kuketahui saat itu. Kukira hal itu hanyalah lelucon dan sesuatu yang mustahil terjadi. Selain dari orang tuaku, beberapa orang yang masih berteman baik denganku juga turut andil memberi informasi menyangkut perkembangan desa padaku. Aku tetap belum memercayai kabar miring itu sebelum benar-benar menyaksikan sendiri. Nyatanya, dugaanku meleset. Apa yang kuyakini selama ini berseberangan dengan fakta yang ada. Kaos itu kini benar-benar terjadi. Sekarang desaku berubah menyeramkan. Banyak orang makin nekat melakukan tindak kejahatan. Orang yang dulu kukenal kalem kini berubah beringas, bahkan tak pandang bulu. Apa pun dilakukan demi mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
Mau tak mau, kondisi semacam itu memaksaku dan keluargaku pindah ke desa lain untuk menyelamatkan diri. Dan itu pula alasanku mengapa harus pulang kampung sebelum masa kerja habis. Pascakaos itu, entah esok kami akan kembali lagi ke desa atau bahkan tidak sama sekali?
“Kau tahu, banyak muda mudi dari desamu yang mulai terang-terangan berbuat amoral? Mabuk-mabukan, berzina, dan kelayapan saban malam. Ada juga yang suka balapan liar sekaligus melakukan tindak kriminal,” kata Maulana saat aku mampir ke rumahnya. Dia adalah teman sekolah sekaligus teman kerja sewaktu di Jakarta dulu. Ia memutuskan pulang kampung lebih cepat dan membuka usaha sendiri di rumah. Sedangkan aku tetap bekerja dan terus menjadi pekerja hingga mendapat tawaran kerja di Kalimantan.
Kabar terbaru yang kudengar dari desaku, si Kalimah telah membuang bayi hasil hubungan gelapnya ke sungai. Dulu dia adalah gadis lugu, bahkan sekadar berkumpul dengan teman sebaya saja ia malu bukan main. Ia tak banyak bergaul, lebih suka di rumah. Namun setelah ia kerja di kota, semua berubah. Ia tampil modis serta berbusana serba seksi.
“Kau tahu, anaknya Bu Murni—yang dulu tampak alim dan pandai mengaji—sekarang jadi pengedar narkoba. Seminggu yang lalu ia dijebloskan ke penjara. Kukira kau sudah tahu kasus-kasus terbaru di desamu tanpa kuberitahu lebih lanjut,” paparnya.
Aku menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan. Kurasa ada gumpalan menyesak di rongga dadaku. Ingin rasanya kulepas gumpalan itu ke awang-awang namun gumpalan itu tetap bertahan dan enggan beranjak dari dada.
Nyaris tak kudengar kabar menggembirakan dari desaku beberapa tahun terakhir ini. Tak lagi kudengar kabar bahwa desa kami berhasil meraih juara perlombaan tertentu. Dulu desa kami pernah dinobatkan sebagai desa paling bersih dan paling produktif dalam banyak bidang, terutama di bidang peternakan dan pertanian. Tak kudengar lagi muda mudi dari desa kami meraih gelar juara beragam lomba antardesa, kecamatan, bahkan tingkat provinsi. Sekarang sepi dan terganti dengan kenyataan pahit sekaligus menyayat hati.
“Kalau aparat desa saja tak mampu memperbaiki kaos tersebut, apalagi aku? Tentu berat bahkan akan mustahil terjadi adanya perubahan di dalamnya,” sanggahku sangat pesimis saat menjawab pertanyaan dari Maulana.
“Lantas apa kau akan diam dan membiarkan begitu saja desamu dengan kondisi semacam itu?”
“Tentu saja tidak! Desa itu adalah tanah kelahiranku. Tapi, apatah dayaku dengan kenyataan semacam itu?”
Kami sama-sama diam.
Hari sudah larut malam. Aku harus segera pulang. Walaupun Maulana memintaku untuk menginap, aku tak bisa meninggalkan orang tuaku di rumah. Meski mereka bisa jaga diri, tapi sergap binatang buas yang lapar bisa datang kapan saja. Rumah tempat kami singgah saat ini sangat dekat dengan hutan. Konon, ada salah seorang warga yang diterkam harimau saat buang hajat ke sungai. Semua harus waspada dan jaga diri. Meski sudah membuat pagar bambu sepanjang desa, kekuatan pagar tersebut masih sangat mudah diterobos binatang apa pun. Binatang yang lebih sering ditangkap warga adalah ular. Biasanya ular-ular tersebut masuk ke pekarangan, bahkan ada yang menyelinap ke dalam kandang lalu memangsa ayam atau unggas milik warga.
Di tempat tinggal sekarang, kami membuka lahan baru untuk bercocok tanam demi mempertahankan hidup. Sesekali kami menjual sayuran atau hasil panen cocok tanam ke pasar. Cara itulah yang bisa kami lakukan untuk mendapat penghasilan.
Sudah sebulan kami menempati rumah tersebut. Selama sebulan itu kami mendapati banyak kejadian tak terduga. Pekan pertama, Bapak sering melihat hantu bergayutan di pohon beringin tak jauh dari pekarangan rumah. Sedangkan Ibu sering menjerit histeris saat melihat ular masuk atau menyelinap di dapur. Kalau aku punya cerita berbeda, aku sering digoda perempuan yang sedang mencuci di kali. Anehnya, tiap kali ke sungai, aku pasti bertemu atau berpapasan dengannya. Tiap kali berpapasan dengannya, pikiran jalang menggodaku. Hal yang paling menggoda adalah saat ia basah kuyup dan sisa-sisa air masih menelusuri bagian dada atas yang tak terlindungi kemban. Rambutnya yang lurus dan basah semakin membuatku terpesona. Ketika berpapasan denganku, ia tersenyum tipis dengan tatap mata berbinar-binar. Ah, jangan teruskan! Meskipun aku belum tahu namanya—aku yakin dia bukan hantu—kutahu ia adalah anak tetangga yang rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah tempat tinggal kami.
“Hati-hati kalau ke sungai, Le! Kata Kang Somad, banyak makhluk halus menampakkan diri. Bahkan ada pula yang menampakkan diri saat siang hari,” ujar Ibu sewaktu aku ingin ke sungai untuk buang hajat.
Barangkali saking tak percaya dengan hal-hal semacam itu, aku hanya menyahut dengan jawaban singkat, “Iya, Bu.”
Ah, masa iya ada penampakan di siang hari. Kata Pak Ustaz, hantu tidak berani menampakkan diri di siang bolong, lebih-lebih pasti takut jika dibacakan ayat-ayat suci. Kalaupun benar menampakkan diri di malam hari—sepanjang aku tinggal di rumah itu—aku juga belum pernah menjumpainya.
***
SIANG itu, Kang Somad mampir ke rumah. Sebenarnya ia juga pendatang, hanya saja ia sudah puluhan tahun tinggal di desa ini. Ia menceritakan banyak ikhwal tentang warga maupun desa ini.
Pada satu titik tertentu ia bercerita tragedi yang terjadi di desa ini, “Lima tahun lalu, ada warga sini yang tewas karena dibunuh. Rumahnya dijarah lalu dibakar.” tuturnya sembari menunjuk ke arah jurang dan pohon beringin. Menurutnya, mayat-mayat itu diperlakukan secara tak wajar. Ya, telunjuk Kang Somad menujuk ke pohon itu, pohon yang kata Bapak sering ada penampakan. Sekali lagi kutegaskan bahwa aku tak mudah percaya begitu saja jika tidak melihat langsung dengan kedua mata ini.
Lanjut Kang Somad, keluarga yang tewas itu dulu merupakan orang paling kaya di desa. Sebenarnya keluarga tersebut sangat baik, ramah dan suka menolong siapa saja. Anak gadis semata wayangnya selain cantik juga berpendidikan tinggi. Sayangnya, setelah menamatkan pendidikan, gadis itu tidak mendapat pekerjaan. Dari cerita Kang Somad pula, gadis itu sudah melamar kerja ke mana-mana, namun nasib baik tak kunjung berpihak. Sesering ia melamar kerja, sesering itu pula ia mendapat penolakan. Ia sendiri enggan melanjutkan bisnis keluarganya dengan dalih ingin mandiri. Padahal jika mau, ia bisa saja menempati posisi lebih baik selain menjadi seorang karyawati. Sayangnya, sebelum benar-benar bisa mewujudkan harapan, ajal sudah lebih dulu menjemput.
“Banyak orang menyukainya, namun pihak keluarga tidak menyetujui. Padahal pemuda yang ingin melamar jelas-jelas dari kalangan orang kaya. Entah apa alasannya hingga menolak lamaran dari orang-orang tersebut,” ungkap Kang Somad dengan nada berat.
Kang Somad pun menduga-duga kalau kematian seluruh keluarga tersebut tak lepas dari masalah cinta, dendam, atau karena sakit hati. Atau bisa jadi karena memang murni perampokan. Sampai detik ini belum terungkap apa motifnya. Setelah melalui proses penyelidikan, pihak aparat memberi kesimpulan bahwa hal itu terjadi karena perampokan.
Aku pun menyela cerita dari Kang Somad, “Aku mau tanya, Kang. Gadis yang sering mencuci di sungai itu siapa, ya? Kang Somad tahu?”
“Gadis?” jawabnya.
“Iya, Kang. Tiap kali ke sungai aku sering berpapasan atau mendapati ia sedang mencuci di sana.”
“Oh, itu Laksmi. Dia anak Pak Sadirin. Itu rumahnya …” sembari menunjuk ke sebuah rumah.
Ada sesuatu yang mengganjal setelah nama itu disebut. “Sepertinya, bukan dia yang kumaksud, Kang.”
“Lantas siapa lagi? Di sini banyak gadis, hanya saja yang sering mencuci di kali, ya, si Laksmi.”
“Bukan, Kang!” sanggahku. “Kalau si Laksmi, aku tahu. Tapi yang kumaksudkan gadis lain. Dia berambut lurus panjang, tinggi, kulit sawo matang, dan punya lesung pipi.”
Kulihat Kang Somad mengeryitkan jidatnya. Kukira ia sedang memikirkan sesuatu. Lalu ia melontarkan pertanyaan padaku, “Kapan kamu terakhir kali bertemu dengannya?”
“Kemarin siang waktu aku ke kali. Dan … oh, iya. Tadi sepulang dari kali aku juga berpapasan dengannya, kira-kira sepuluh menit sebelum Kang Somad mampir ke rumah.”
Mendengar penuturanku, Kang Somad seperti berusaha mengingat-ingat sesuatu. “Rambut lurus panjang? Tinggi? Kulit sawo matang, dan … punya lesung pipi?” Ia balik bertanya seolah memastikan sesuatu. “Seingatku, gadis yang memiliki tanda-tanda semacam itu si Maya, anak Pak Yadi.”
Aku pun menambahkan keterangan, “Dia tinggal di sana, Kang.”
“Di mana?” sahutnya sembari menolehkan wajah sejurus dengan arah telunjukku.
“Di sana!” kuulangi ucapanku tanpa mengubah arah telunjuk.
Kang Somad malah berekspresi heran. Berulang kali ia bertanya letak rumah yang kutunjukkan, “Rumah yang mana, Zul? Aku tak melihat rumah yang kamu maksudkan. Aku hanya melihat semak-semak,” Ia berkilah. “Ah, kamu jangan bercanda. Di sana tak ada rumah selain semak-semak bekas rumah Pak Yadi yang dibumihanguskan para perampok.”
Ada sesuatu yang mencekik kerongkonganku. Entah penglihatanku yang kurang baik, atau bagaimana sehingga rumah yang kumaksud tetap tak dilihat oleh Kang Somad walaupun sudah kutunjukkan berulang kali. Kang Somad pun pamit setelah memberi penjelasan lebih panjang lebar terkait gadis yang sering kujumpai di sungai itu. Sebelum pamit ia berpesan agar aku segera melupakan apa yang sudah terjadi selama ini.
“Jadi …”
Renik berkeliaran dan beterbangan di sekelilingku. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang dan tubuhku pelan-pelan bergetar sedemikian hebat. Semua yang kulihat pun berubah gelap.
Yogyakarta, 13 November 2016
Cerpen ini telah dipublikasikan di MASTERPOEM (Edisi V Desember 2016)