GARIZAH | MENDEDAH SUNYI | RESONANSI KEMATIAN
GARIZAH
LONGOKLAH ceruk hati sebelum cahaya melesak ke dimensi akal
kawanan semut tiada silap mencecap mana gulali ataupun mineral
bagaimana lambu melaju cepat bila mengapung di selat dangkal?
Kata-kata takkan mati hanya karena bibir mengatup begitu rapat
ajal hanya melarai roh dari jasad, bukan sari kalimat
apatah ketika segala kitab dilenyapkan lantas musnah pula hakikat?
Mari lecut sakhawat dalam dada hingga asmaraloka kian amerta
meski kapas sudah meyumpal telinga dan tali sebagai mahkota
terus tabuh genderang rindu agar esok bergema madah cinta!
MENDEDAH SUNYI
MAJAL kini segala ketajaman makna atas imaji dalam diri
karut begitu sarat dalam pikiran sepanjang siang dan malam
ke mana hendak sembunyi bila pelipur justru tiarap kini?
Oh, anak panah telah melesat meski tak tepat sasaran
ia hanya mendedah bentang udara, lalu sengap dalam sunyi
apa yang tersisa adalah gerundel dalam batin tak keruan
Gairah mengeram hingga lafal pun terbata saat meluah kata
pintu membekap lesak cahaya sekaligus lipat bias bayang esensi
hidup tapi mati jauh lebih mengerikan dari tragedi Troya
RESONANSI KEMATIAN
ARCA ditatah atas ragam rupa, laun luruh terkikis masa
pun asteroid nan jauh timbul tenggelam di ujung mata
sungguh telah ditinggalkan segala sekutu yang dipuja dulu kala
Percuma kobar api membakar diri bila sumarah capai kulminasi
hanya nyala dan kepul membubung, lantas majal lumat diri
murad menuntun si murid agar sentosa hingga sabana maknawi
Agas berkerumun di kujur jasad sampai tanah berlumur darah
lebur hala bayang, terbelam bersama angin di antara zarah
cercah bak mata kapak mendedah jagat, kelindan dalam madah
Sajak ini telah dipublikasikan di MEDIA INDONESIA (05/02/2017)
LONGOKLAH ceruk hati sebelum cahaya melesak ke dimensi akal
kawanan semut tiada silap mencecap mana gulali ataupun mineral
bagaimana lambu melaju cepat bila mengapung di selat dangkal?
Kata-kata takkan mati hanya karena bibir mengatup begitu rapat
ajal hanya melarai roh dari jasad, bukan sari kalimat
apatah ketika segala kitab dilenyapkan lantas musnah pula hakikat?
Mari lecut sakhawat dalam dada hingga asmaraloka kian amerta
meski kapas sudah meyumpal telinga dan tali sebagai mahkota
terus tabuh genderang rindu agar esok bergema madah cinta!
Yogyakarta, 20 Januari 2017
MAJAL kini segala ketajaman makna atas imaji dalam diri
karut begitu sarat dalam pikiran sepanjang siang dan malam
ke mana hendak sembunyi bila pelipur justru tiarap kini?
Oh, anak panah telah melesat meski tak tepat sasaran
ia hanya mendedah bentang udara, lalu sengap dalam sunyi
apa yang tersisa adalah gerundel dalam batin tak keruan
Gairah mengeram hingga lafal pun terbata saat meluah kata
pintu membekap lesak cahaya sekaligus lipat bias bayang esensi
hidup tapi mati jauh lebih mengerikan dari tragedi Troya
Yogyakarta, 20 November 2016
ARCA ditatah atas ragam rupa, laun luruh terkikis masa
pun asteroid nan jauh timbul tenggelam di ujung mata
sungguh telah ditinggalkan segala sekutu yang dipuja dulu kala
Percuma kobar api membakar diri bila sumarah capai kulminasi
hanya nyala dan kepul membubung, lantas majal lumat diri
murad menuntun si murid agar sentosa hingga sabana maknawi
Agas berkerumun di kujur jasad sampai tanah berlumur darah
lebur hala bayang, terbelam bersama angin di antara zarah
cercah bak mata kapak mendedah jagat, kelindan dalam madah
Yogyakarta, 26 September 2016
Sajak ini telah dipublikasikan di MEDIA INDONESIA (05/02/2017)