PARAFASIA | GAIRAH BERKATA DAN BERMAKNA | CAHAYA JIWA | SNOBISME | SAYAP MAKRIFAT
PARAFASIA
TIDAKKAH engkau malu bahkan sedih atas anomali ucapmu itu?
mencipta ragam ambigu tentu tak sama dengan menebar kedunguan
ambigu akan memecah kedunguan di akal, namun tidak sebaliknya
Lidah yang bergerak lincah tanpa pengetahuan hanyalah endapan daging
laun pasti menebar bau busuk sekaligus jadi biang penyakit
berhentilah meracau, kapan saja, itu bisa menyakiti jasadmu sendiri
Air jenih yang telah dikeruhkan pasti akan kembali sediakala
kecuali jika diubah bentuk lain hingga tak lagi bersih
mencipta ragam ambigu tentu tak sama dengan menebar kedunguan
GAIRAH BERKATA DAN BERMAKNA
TERUSLAH mendaki sigai kata, kita belum sampai puncak makna
lisan pun tulisan berwicara agar sentosa serta berdaya guna
batas bukan pada bentuk luar, melainkan terletak pada adiwidia
Ahmad telah membelah bulan agar semesta jiwa lebih terang
sebelum hakikat digait dari sumur, sujudlah alkamar pun bintang
mukjizat telah mengubah liat lempung terbang bebas menjadi burung
Mari memerah susu agar jelas antara manfaat ataupun mudarat
bila fisik terus digubris, dimensi lain musnah dari makrifat
sebelum sampai titik kulminasi, jangan ikat esensi dalam belikat
CAHAYA JIWA
API dalam jiwa ini mudah taram lalu berkobar nian
ia tak akan padam, kecuali dimatikan si Penunu Jiwa
redup karena ulah daif, lantas benderang saat tersulut rahmatNya
Oh, bila sukacita ini tercerabut, pastilah hati terbakar kesedihan
janganlah memalingkan wajah saat pedih meraja dalam kujur sukma
betapa tiada arti diri bila kekasih tak memacu gelora
Jika raga tak dipedulikan lagi, ia hanyalah ampas kehidupan
sebelum semua kelam, raihlah roh ini! Bawalah pada cahaya
bila semesta jiwa penuh nyala, teranglah cinta tanpa dusta
SNOBISME
LERAK simpul kuduk agar adiwidia katarsis atas segala ahmak
sering kali makam akal tanggal sebab tak tuntas menyimak
bila kau sulut amonit bersumbu pendek pastilah lekas meledak
Janganlah lantip dan celi hanya sampai pada sebidang tembok
lesak anak panah dari tali busur pun kadang belengkok
apatah Saad [1] sunyata telah silap hingga bidik bana berbelok?
Ternak tersesat menjejak aneka jalan, tapi lupa arah balik
bukankah lebih mudah jernihkan air daripada jiwa penuh sirik?
keruh pikiran bila terus menerus diabaikan justru memicu purik
SAYAP MAKRIFAT
SEONGGOK kepala hanya akan menjadi batu bila tak bercahaya
ketika wajah menatap langit, hening merayap anak tangga semesta
gelap meledak mewujud butir api, lalu luruh merajam bebatuan
Awan berarak tumpahkan seluruh isi mangkuk di gigir waktu
jiwa yang lelap akan terjaga dalam kekosongan segala penglihatan
apa yang engkau nikmati—hai, roh—dari kefanaan raga?
Bilah pisau yang tumpul takkan mampu menghujam keras baja
ia hanya lahirkan bunyi nyaring namun menyakitkan gendang telinga
bila tiada makrifat, semesta takkan mampu dilihat walau sekejap
TIDAKKAH engkau malu bahkan sedih atas anomali ucapmu itu?
mencipta ragam ambigu tentu tak sama dengan menebar kedunguan
ambigu akan memecah kedunguan di akal, namun tidak sebaliknya
Lidah yang bergerak lincah tanpa pengetahuan hanyalah endapan daging
laun pasti menebar bau busuk sekaligus jadi biang penyakit
berhentilah meracau, kapan saja, itu bisa menyakiti jasadmu sendiri
Air jenih yang telah dikeruhkan pasti akan kembali sediakala
kecuali jika diubah bentuk lain hingga tak lagi bersih
mencipta ragam ambigu tentu tak sama dengan menebar kedunguan
Yogyakarta, 24 Juli 2016
TERUSLAH mendaki sigai kata, kita belum sampai puncak makna
lisan pun tulisan berwicara agar sentosa serta berdaya guna
batas bukan pada bentuk luar, melainkan terletak pada adiwidia
Ahmad telah membelah bulan agar semesta jiwa lebih terang
sebelum hakikat digait dari sumur, sujudlah alkamar pun bintang
mukjizat telah mengubah liat lempung terbang bebas menjadi burung
Mari memerah susu agar jelas antara manfaat ataupun mudarat
bila fisik terus digubris, dimensi lain musnah dari makrifat
sebelum sampai titik kulminasi, jangan ikat esensi dalam belikat
Yogyakarta, 11 Oktober 2016
API dalam jiwa ini mudah taram lalu berkobar nian
ia tak akan padam, kecuali dimatikan si Penunu Jiwa
redup karena ulah daif, lantas benderang saat tersulut rahmatNya
Oh, bila sukacita ini tercerabut, pastilah hati terbakar kesedihan
janganlah memalingkan wajah saat pedih meraja dalam kujur sukma
betapa tiada arti diri bila kekasih tak memacu gelora
Jika raga tak dipedulikan lagi, ia hanyalah ampas kehidupan
sebelum semua kelam, raihlah roh ini! Bawalah pada cahaya
bila semesta jiwa penuh nyala, teranglah cinta tanpa dusta
Yogyakarta, 03 Agustus 2016
LERAK simpul kuduk agar adiwidia katarsis atas segala ahmak
sering kali makam akal tanggal sebab tak tuntas menyimak
bila kau sulut amonit bersumbu pendek pastilah lekas meledak
Janganlah lantip dan celi hanya sampai pada sebidang tembok
lesak anak panah dari tali busur pun kadang belengkok
apatah Saad [1] sunyata telah silap hingga bidik bana berbelok?
Ternak tersesat menjejak aneka jalan, tapi lupa arah balik
bukankah lebih mudah jernihkan air daripada jiwa penuh sirik?
keruh pikiran bila terus menerus diabaikan justru memicu purik
Yogyakarta, 20 Desember 2016
SEONGGOK kepala hanya akan menjadi batu bila tak bercahaya
ketika wajah menatap langit, hening merayap anak tangga semesta
gelap meledak mewujud butir api, lalu luruh merajam bebatuan
Awan berarak tumpahkan seluruh isi mangkuk di gigir waktu
jiwa yang lelap akan terjaga dalam kekosongan segala penglihatan
apa yang engkau nikmati—hai, roh—dari kefanaan raga?
Bilah pisau yang tumpul takkan mampu menghujam keras baja
ia hanya lahirkan bunyi nyaring namun menyakitkan gendang telinga
bila tiada makrifat, semesta takkan mampu dilihat walau sekejap
Yogyakarta, 04 September 2015
[1] Saad bin Abi Waqqash.
Sajak ini telah dipublikasikan di FLORES SASTRA (03/05/2017)