Menulis adalah Pekerjaan Berat dan Begitu Susah
Apa benar menulis itu mudah? Kata siapa menulis itu adalah pekerjaan yang amat enak? Omong kosong kalau menulis itu mudah—tinggal duduk, menulis, selesai. Itu adalah anggapan yang menyesatkan. Menulis itu berat dan susah. Kok bisa berat dan susah, kan, tinggal duduk dan menulis? Ya, kalau dilihat dengan mata telanjang, pekerjaan menulis memang tampak gampang. Tidak perlu angkat atau angkut beban ke mana-mana. Tapi jika mengulik lebih dalam, menulis itu sebenarnya teramat berat. Praktiknya, penulis sering kali berkeluh soal menulis. Dari kegagalan menulis sampai pada penolakan dari pelbagai media, belum lagi soal honorium yang kecil dan tak segera didapat. Menulis juga butuh kerja keras, mulai dari menuangkan ide dalam bentuk tulisan, mengemas sedemikian rupa agar menarik minat pembaca, rajin kirim ke media atau menawarkan ke penerbit, mempromosikan atau memasarkan karya yang sudah dicetak dalam bentuk buku jika dicetak atas dana sendiri.
Menulis sama beratnya dengan pekerjaan lain. Seorang penulis dituntut kreatif dan inovatif. Penulis harus banyak ide. Tanpa ide kreatif, seorang penulis takkan bisa berbuat banyak. Mendapatkan ide juga susah-susah gampang. Bahkan ketika sudah mendapat ide pun tak cukup. Tidak ada jaminan jika semua berjalan mulus. Sekalipun banyak membaca, tapi tidak diimbangi daya kreatif, seorang penulis juga tidak mampu berbuat banyak. Kalaupun memaksa diri untuk terus menulis, tulisan itu kemungkinan besar berhenti di tengah jalan—apalagi jika tidak matang secara keseluruhan. Jika tidak diolah secara baik hasilnya pasti mentah. Risiko dicemooh bahkan dimaki-maki pembaca jauh lebih besar.
Melatih sekaligus memaksa menulis memang perlu, tapi terkadang menuai buntu. Hal ini tentu sangat menyebalkan, apalagi jika seorang penulis terikat kontrak penerbitan dan harus kejar setoran—tentu saja ini jauh lebih mengerikan dan tak jauh beda seperti ditagih utang. Tingkat stres maupun depresi jauh lebih tinggi.
Ujian seorang penulis juga bermacam-macam sekaligus kurang menyenangkan. Dari proses awal sampai hasil akhir pun kadang masih terus diuji. Nyali penulis harus besar. Harus berani lapar, terutama soal keuangan. Rata-rata, penulis kurang dimanjakan bahkan nyaris tak punya uang. Memang ada penulis yang kaya, tapi perbandingannya 1000 : 1. Penulis kaya juga bermula dari hidup penuh keprihatinan. Mulai dari honor kecil sampai tidak menerima penghargaan apa pun atas karyanya.
Bagi penulis yang tingkat produktivitasnya rendah, disarankan untuk cari pekerjaan lain, atau menjadikan menulis sebagai kerja sampingan. Honorium penulis itu sangat kecil, paling besar antara 10 %—15 % dari hasil buku yang laku. Kalau dalam sebulan buku hanya laku 1—10 eksemplar—kalau harga jual buku Rp.40.000,- atau mungkin malah di bawah itu lantas dikurangi 10%—penulis hanya mendapat 4.000,- (dikalikan berapa banyak buku yang laku). Oh, jika melihat hitungan semacam itu, untuk bisa kaya secara cepat tentu sangat jauh dari harapan.
Ini bukan soal pesimis, skeptis, atau agitasi picisan, tapi untuk bisa menjadi penulis benar-benar butuh kesiapan mental serta tahan banting dari bermacam ujian. Harus tabah dengan segala macam fakta di lingkungan sekitar—apalagi jika sudah mendapat selentingan melarat, seorang penulis harus benar-benar siap jika muka terasa berat dan tebal. Kalau sudah tersohor dan banyak uang, mungkin hal-hal semacam ini nyaris tidak didengar atau dijumpai. Menjadi penulis kaya dan tersohor adalah keberuntungan—walaupun untuk bisa sampai tingkatan tersebut sampai berdarah-darah. Ingar-bingar dunia penulis hanya sementara.
Segala sesuatu pasti ada hal positif dan negatif. Ada senang, ada susah. Memang hidup seorang penulis tidak melulu susah. Seorang penulis juga punya hak sekaligus merasakan hal sama yakni hidup bahagia. Bahagia saat mendapat pujian dari pembaca. Kebahagiaan seorang penulis sangat banyak. Dari rasa bahagia karena mampu menuntaskan tulisan, mendapat kabar jika tulisannya dimuat di media tertentu, mendapat honorium, atau hal-hal lain yang membahagiakan.
Jadi, sebelum memutuskan memilih profesi menulis, alangkah lebih baik mempertimbangkan secara matang keputusan tersebut. Sebagian orang berpendapat bahwa menulis hanya untuk menyalurkan hobi atau beragam argumentasi lain, tapi menyalurkan hobi saja tidak cukup jika sudah terjun dalam dunia menulis. Jika masih hidup sendiri, tak masalah memegang teguh idealisme, tapi jika sudah berumah tangga, penulis dengan produktivitas rendah justru menambah kesusahan dalam keluarga.
Masih mau menjadi seorang penulis?
Jika memang yakin dengan pilihan menjadi penulis, tetaplah teguh dan percayalah bahwa dari menulis selain bisa mendapat penghasilan tambahan juga bisa mengabadikan diri lewat karya.