Perhatikan Hal Ini jika Ingin Naskah Diterima Koran/Media
Saat menerima naskah dari para penulis, biasanya redaktur atau kurator akan menganggap bahwa apa yang sedang diterima adalah karya lengkap dan sempurna. Ia akan berpikir bahwa naskah yang dihadapi saat itu merupakan hasil karya yang tak perlu koreksi terhadap kekeliruan mendasar—seperti kerapian naskah, ejaan, dan lain sebagainya. Apabila naskah sudah sempurna, redaktur tinggal fokus pada esensi naskah tersebut, bukan lagi mengurusi masalah tata letak maupun teknis dasar menulis. Jika harus ikut campur dalam hal perbaikan mendasar, tentu tugas dan tanggung jawab sebagai redaktur akan tambah banyak dan makin berat. Terlebih jika mengingat tiap jam bahkan tiap menit ada pemberitahuan email masuk dari para penulis dan harus menilai satu per satu naskah yang sudah ada di meja redaksi, sudah pasti mengurusi hal teknis dasar menulis hanya buang-buang waktu saja. Tak heran jika ada banyak naskah yang ditolak hanya karena si penulis tak teliti, tak rapi, dan tak sesuai ketentuan. Mungkin hal ini adalah perkara sepele, namun jika masuk ke wilayah profesionalitas, media dengan kapasitas mumpuni pasti enggan menerima karya yang dikerjakan secara tergesa-gesa dan tidak sempurna kematangannya.
Kadang sebagian penulis kurang menyadari hal ini. Sebagian penulis cenderung tergesa-gesa mengirim naskah sebelum memeriksa keseluruhan isinya. Padahal memeriksa berulang kali sangat dibutuhkan agar naskah benar-benar siap ditayangkan. Selain memudahkan, memeriksa ulang jauh lebih menguntungkan. Memudahkan karena jika naskah sudah diterima, pihak redaktur akan fokus pada kualitas isi tanpa perlu terganggu oleh kekeliruan ejaan di dalamnya. Menguntungkan karena semakin baik teknis menulis dan tema yang disuguhkan akan berpeluang besar diterima atau ditayangkan. Bayangkan jika hal itu adalah sebaliknya! Bisa jadi redaktur akan hilang selera baca ketika menjumpai kekeliruan ejaan. Ini masih sebatas keliru ejaan, belum lagi ke masalah-masalah lain terkait dengan naskah tersebut. Masih untung jika kekeliruan itu tak mengubah makna kata, lah, kalau kekeliruan yang terjadi lantas mengubah makna atau maksud dari kalimat tersebut, bukankah akan berakibat fatal? Misal, penulis bermaksud menulis ‘puas’ lantas keliru menulis dengan ‘buas’, bukankah dua kata ini sudah beda makna? Maka dari itu teliti sebelum kirim. Bukan hanya teliti soal kekeliruan ejaan, tapi juga dalam banyak hal. Menurut salah seorang redaktur, kekeliruan ejaan selain jorok juga menggambarkan kepribadian si penulis yang tidak cermat ketika berkarya. Bagus secara isi atau tema saja tak cukup, harus diimbangi dengan hal-hal teknis lainnya.
Selain masalah teknis menulis, sebelum naskah dikirim, penulis juga perlu memerhatikan format naskah ataupun kriteria-kriteria yang disarankan oleh masing-masing media. Penulis perlu membaca karakteristik media yang ingin dikirimi naskah—semisal anjuran jumlah kata, jenis font, format file yang dikirimkan, spasi, dan lain sebagainya. Perhatikan pula rubrik yang disediakan, jangan sampai salah kirim naskah. Media yang tak memiliki rubrik sastra, tentu takkan menerima kiriman naskah sastra, dan begitu seterusnya. Membaca rubrik juga sangat dibutuhkan agar apa yang dikirimkan tepat sasaran. Perhatikan pula tata cara pengiriman naskah dari email ke alamat redaktur. Semisal pada subjek email ditulis rubrik yang dituju yang meliputi: Judul Naskah, atau kelengkapan data lainnya—contoh; Subjek: PUISI: SAKIT YANG DIRINDUKAN | ANAM KHOIRUL ANAM | 5 HALAMAN. Lalu di badan email ditulis pengantar naskah kepada pihak redaktur yang di antaranya menyatakan bahwa naskah tersebut belum pernah ditayangkan di media mana pun.
Sumber Gambar: freepik.com |
Sangat disarankan bagi para penulis mengirim naskah pada lampiran email, bukan di badan email. Memang ada redaktur yang masih berbaik hati menerima kiriman naskah di badan email, namun rata-rata ditolak karena tak sesuai prosedur yang ditetapkan. Barangkali redaktur punya alasan kuat mengapa tak menerima naskah yang dikirim di badan email. Pertama, menyulitkan proses pemindahan data ke lembar kerja MS. Word. Kedua, menghindari kekeliruan tata letak maupun teknis tulisan asli dari pihak penulis saat dipindahkan ke lembar kerja lain di komputer redaksi. Intinya kurang efektif dan efisien jika naskah dikirim di badan email. Sedangkan jika dikirim dalam bentuk MS. Word, redaktur tinggal unduh dan mengoreksi kelayakannya. Sekali lagi, sangat disarankan mengirim naskah dalam bentuk MS. Word dengan format Rich Text Format (RTF). Mengapa harus RTF? Selain file lebih ringan saat diunduh juga aman dari virus.
Dari runtutan yang disebut di atas memang masih sebatas teknis menulis serta pengiriman naskah belaka, namun bagi redaktur hal ini memiliki dampak positif dan sangat luar biasa. Berhadapan dengan naskah yang matang dan sempurna, selain bisa lebih fokus pada penilaian, hal ini juga sangat membantu mempermudah teknis penerimaan naskah. Ketika penulis memosisikan diri sebagai profesional, tentu akan melahirkan korelasi setara dari pihak lain. Apabila penulis mampu menaklukkan masalah-masalah kecil, bukankah menuntaskan masalah-masalah lebih besar pun terasa sangat mudah?