ANOMALI - Anam Khoirul Anam Official -->

ANOMALI

TIBA-TIBA saja kau menyelinap masuk dalam mimpiku. Aku tak ingin gegabah ambil kesimpulan bahwa hal itu merupakan isyarat baik, bahkan tak sanggup menganggap hal itu sebagai tanda buruk. Apa pun bisa terjadi dalam perjalanan waktu. Namun, aku benar-benar tak pernah menduga bila rentang waktu membuatmu kembali hadir dalam ingatan dan mimpiku. Tentu saja dalam hal itu bukan soal bertemu atau tak bertemu, melainkan perkara kebenaran rasa abadi dalam dada. Barangkali rindu yang mengendap di bawah sadar telah menguap; letupan tentangmu, lantas menyebut dan mewujud bayangmu lagi.

Semua berlangsung begitu cepat dan terjadi secara tiba-tiba malam itu. Kukira semua telah memudar, ternyata tidak. Jeda tidak membuatmu tiada, justru semakin mengada.

Berulang kali kukatakan padamu bahwa cukup begini saja antara kita. Pertemuan hanya akan hancurkan segala bentuk imaji. Semakin tak ada pertemuan, semakin sempurna segala rasa yang dirasa. Pertemuan hanya akan menjadi pengikat segala gerak antara kita. Semakin sering kita bertemu maka akan semakin membuat aturan-aturan mengikat antara kita. Tanpa pertemuan, tentu kau bebas. Kau boleh dan bisa hidup bersama siapa pun, leluasa melakukan apa saja, tak perlu hidup dalam satu atap hingga kau merasa diawasi dan dibatasi. Percayalah bahwa seluruh rasa dalam perasaanku selalu tertuju padamu. Hanya saja perlu kutegaskan bahwa rasa perasaan itu bukan lazimnya cinta antar sejoli. Namun lebih pada keakraban emosional. Tak kurang, tak lebih.

Ini bukan soal bertepuk sebelah tangan, atau gagal dalam berhubungan. Bukan, bukan itu, Din! Bukankah sudah kukatakan berulang kali bahwa pertemuan justru akan hancurkan segalanya. Bukan hanya hancurkan hubungan, namun akan hancur pula antara diriku dan dirimu. Berapa banyak hubungan hancur berantakan setelah pertemuan? Berapa banyak rasa rindu dan cinta justru begitu abadi tanpa ada pertemuan? Berapa banyak hubungan bisa terus erat walau tanpa jamah tangan? Aku cukup bahagia dengan keadaan semacam ini, Din. Sekadar menatapmu tanpa menyentuhmu. Bagiku, itu adalah penderitaan yang terasa begitu nikmat. Masygul yang terasa hangat. Ini bukan soal absurd atau logis, ini hanya anomali dalam dunia nyata. Jangan pula kau pahami hal ini hanyalah cinta dalam hati, sebab dari awal aku tak menaruh hati karena rasa syahwati.

Sebut saja apa yang kau lihat dan rasakan adalah anomali. Kata itu cukup mewakili keganjilan-keganjilan yang ada antara kita, terutama untuk diriku sendiri.

Apakah kau telah lupa akan pertemuan kita dalam labirin itu, Din? Kita sudah berpuluh-puluh kali melakukan percakapan. Bahkan aku telah lupa sudah berapa tahun kita bersama. Kita saling berbagi rasa, berbagi cerita, termasuk berbagi rasa pahit yang sudah kita telan saat menjalani kehidupan. Bukankah kita sudah saling berjumpa walau tanpa kehadiran jasad sebagai penegas, bahkan sampai detik ini kita tak pernah bersanding dalam pertemuan. Kita hanya bertemu di dunia maya. Aku telah melihat rona wajahmu, begitu pun denganmu terhadapku. Tentu saja rentang jarak dan keperluan kita masing-masing yang membuat kita takkan bertemu. Kau dengan duniamu, dan aku dengan duniaku. Kau pernah bilang padaku bahwa kita bisa bertemu kapan saja jika kau sedang pergi ke Yogya, namun aku menolak semua itu. Tentu saja alasanku tetap sama seperti yang sudah kujelaskan padamu tiap kali kau ajukan permintaan itu.

Din, begitu lama kita tak bertatap muka. Ya, tentu saja kau tampak baik-baik saja dan selalu sehat. Seringkali aku melihatmu bebergian hingga ke daratan Eropa. Terakhir kulihat dirimu begitu sibuk di negeri Seribu Satu Malam. Bisnis kopi yang kau geluti memang mengharuskan dirimu menjadi perempuan petualang. Aku masih sempat berbincang denganmu walau hanya beberapa menit saja sewaktu kau di Maroko. Bagiku itu sudah lebih dari cukup. Dari percakapan singkat itu pula kau tahu bahwa diriku sudah membina keluarga. Saat kau bertanya kabarku, aku baru dikaruniai seorang putri. Kau minta maaf karena tak mengetahui kabar pernikahan atau pun kelahiran putriku. Kini aku sudah dikaruniai dua orang putri. Tentu saja kabar terbaru itu belum sampai di telingamu saat ini. Beberapa hari terakhir kulihat kau begitu sibuk, saking sibuk dengan beragam urusanmu, kau harus rihat selama beberapa pekan di rumah. “Jika aku tak membalas sapaanmu, berarti aku sedang sibuk.” pesanmu yang masih kuingat betul hingga kini. Benarlah, bahwa tiap kali kukirim pesan untukmu, kau hanya melihatnya tanpa memberi balasan. Aku benar-benar maklum dan sebenar-sebenarnya sadar diri bahwa ada batas yang tak bisa dilanggar. Hal itu pula yang membuatku selalu saja urung niat bila ingin meneleponmu. Aku tak ingin mengganggumu. Kau pasti sibuk dan tak ingin diganggu hanya untuk obrolan tak penting. Bahkan untuk membicarakan hal penting pun aku hanya mampu menulis lewat pesan, sebuah pesan yang kadang kau balas dan kadang hanya kau lihat tanpa balas.

Sungguh, Din. Kehadiranmu dalam mimpiku malam itu benar-benar membuatku terusik. Walau hanya beberapa menit kehadiran bayangmu dalam mimpiku, diriku serasa terbawa kembali ke masa-masa yang sudah terlewati bersamamu. Bagi sebagian orang barangkali akan menganggap bahwa itu hanya mimpi; bunga tidur yang belum tentu benar adanya. Bagiku, walau hanya mimpi, tetaplah memiliki arti tersendiri.

Bukankah di satu titik tertentu kita pernah merasakan kebahagiaan yang sama. Di satu titik tertentu pula kita merasakan kesunyian yang sama. Hal itulah yang membuatmu terasa begitu berbeda, berbeda dari sekian banyak orang yang pernah kukenal. Aku mengenalmu sebagai perempuan yang tangguh. Perempuan yang tak mudah menangis hanya karena ditinggal seorang lelaki. Percerian tak membuatmu lemah, justru membuatmu semakin kuat.

“Sekarang yang aku pikirkan dan kulakukan adalah membesarkan anak-anakku dengan segala kemampuanku,” ucapmu kala itu. Kata-kata yang begitu membekas di ingatanku.

“Itulah yang membuatku bangga sekaligus bahagia telah mengenalmu, Din. Selain mandiri, kau adalah sosok ibu yang sangat luar biasa,” ucapku.

“Luar biasa atau tidak, memang begitulah peran seorang ibu. Ada suami atau tanpa suami, memang begitulah tugas seorang ibu,” terangmu, mengakhiri percakapan.

Ya, aku tahu. Kau pasti akan melakukan apa saja untuk keluargamu. Melakukan hal terbaik untuk kebahagiaan hidupmu dan juga keluargamu.

Di lain sisi, seringkali kau mengeluh perihal insomnia yang menjangkitimu. Jika aku terjaga tengah malam dan mendapatimu belum tidur pastilah jawabanmu akan selalu sama, “Lagi-lagi aku insomnia.”

Aku tak perlu banyak tanya bila kau sudah berkata demikian.   

Jika insomnia sudah menyerangmu, semalam suntuk kau takkan tidur. Beberapa gelas kopi pasti akan habis kau reguk. “Semakin banyak kau minum kopi, maka pengaruh kafein akan terus membuatmu terjaga,” ucapku. Namun kau tak peduli, kau tetap melakukan hal sama jika sudah insomnia. Kadang aku menemanimu sampai subuh, kadang hanya beberapa jam saja. Kau sudah tahu betul siapa diriku, aku tak pernah kuat jika harus begadang. Terlebih sekarang ditambah mengurus keluarga, aku semakin tak kuat jika harus berjaga hingga malam buta. Dari situlah kemudian aku menyebutmu sebagai Ratu Kopi. Semakin sering kau insomnia, sudah pasti waktu istirahatmu berkurang. Semalaman tak tidur, lalu selepas azan subuh harus berangkat kerja dan pulang kurang lebih pukul 21.00 WIB. Sungguh membayangkan saja, jika itu harus kuhadapi, pasti aku tak mampu. Maka dari itulah mengapa aku sering memujimu sebagai perempuan tangguh dan luar biasa. Tangguh sebagai pribadi perempuan sekaligus tangguh sebagai seorang ibu.

Sesekali rindu meletup-letup di dada. Barangkali karena kondisi serta situasi sudah berbeda, pertemuan itu tak lagi seperti dulu. Aku tak lagi seperti dulu, begitu pula denganmu. Bukan hanya cerita, menulis satu bait puisi saja saat ini nyaris tak ada lagi di antara kita. Entah kau sudah melupakanku, atau karena hal lain, namun aku masih tetap mengingatmu. Mengingat serpih kenangan di masa silam. Ingatanku masih tetap sama walau dengan kondisi serta perasaan berbeda.

Walau tak pernah bersentuh secara jasad. Namun ada begitu banyak jejak kenang tersimpan. Kau bukan rahasia dan bukan untuk dirahasiakan. Perlu kau tahu bahwa semakin banyak pesan kukirim padamu, sama halnya aku menitipkan bom waktu di tanganmu. Sekali saja kau membalas pesanku, kebahagiaan akan meledak-ledak dalam diriku. Sudah tentu akan ada banyak bunga bertaburan jika kau membalas pesan yang kukirimkan. Perlu kau tahu bahwa dalam pesan itu selalu ada yang kutunggu darimu.
Yogyakarta, 19 April 2015

Cerpen ini telah dipublikasikan di SOLOPOS (03/05/2015)


Berlangganan update artikel terbaru via email:




Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1


Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel